Gairah Ilmu


Aku tertawan takjub denganmu. Kau sangat sibuk dengan duniamu, seakan betapa termiskinkan akan pengetahuan. Setiap membuka mata, maka pasti yang kau genggam adalah pena dan buku.

Ini memang era teknologi tapi kau masih menggunakan perbukuan. Mungkin ini metodemu untuk lebih mengerti tentang apa yang sedang kau pelajari.

Sesungguhnya hal itu terjadi adalah sangat wajar buat yang statusnya pelajar. Khususnya untukmu (Sebenarnya untukku juga, sebab belajar tiada selesainya: belajar sampai ajal tiba. Sayangnya aku tidak sepertimu, yang terus menerus berusaha untuk ‘belajar’; aku tidak mendapatkan kegairahan ilmu sepertimu. Yang jelas aku berbeda karakter denganmu, namun aku mengagumimu. Sangat.)

“Alasan apa kamu terus menerus belajar?” kataku. Kau masih menuliskan seperti maping (Atau peta dari apa yang ia pelajari) pada buku tulismu.

“Alasan!” katamu, santai, “Aku tidak mempunyai alasan untuk belajar kecuali ingin mengetahui.”

“Ingin mengetahui?”

“Ya...! Ingin mengetahui.”

“Mengapa harus kamu ketahui?”

“Kok mengapa? Ini tuntutan individu, tuntutan jiwa. Aku hanya merasa sangat terbutuhkan untuk belajar.”

“Tidakkah kamu percaya bahwa sudah banyak orang pandai?” kataku, menggoda.

“Ini bukan soal banyak orang pandai. Saya mengetahui adalah untuk diriku.”

“Apakah sebegitu egoisnya, bila kamu belajar untuk dirimu sendiri?” kataku. Mendesak.

“Ilmu itu, khususnya, untuk tubuhku sendiri. Terlebih lagi, tugasku adalah belajar. Aku berusaha memegang istilah itu. Yakni, statusku sebagai pelajar.”

“Sesungguhnya,” kataku. Ingin mengetahui lebih tentang dirimu. Tentang bagaimana kau mampu bersemangat belajar. “Bisakah diceritakan kejadian yang melatar-belakangi kamu segairah ini akan ilmu?”

Kau membuang napasmu. Panjang.

“Yang mendasar adalah karena anggapanku bahwa diriku sangat tidak mengerti tentang keilmuan. Itu.”

“Maksudku?” pancingku, supaya ia menjelaskan lebih detail. Tapi kau masih terlihat menyusun tabel maping pada buku tulismu. Seakan kedatanganku tidak begitu digubris kecuali dibuatkan kopi yang katamu untuk lebih mengenakkan merokok. Tapi akhirnya kau menutup bukumu. Lalu membenahi dudukmu.

Dan berkata, “Kamu ingin tahu bagaimana sejarahku?” katamu santai.

Aku tersenyum. “Ingin tahu bagaimana kok bisa dirimu menjadi seperti ini? Yang kayaknya hati dan akalmu terbakar keinginan untuk mengetahui.”

Aku mulai gembira. Lidahnya mulai berbicara. Kau sulutkan rokok. Kau menghirup, lalu tersenyum.

“Aku suka gayamu,” katamu,“Mencari tahu dengan alasan individu, dalam arti ingin mengerti tentang bagaimana sesuatu itu tercipta. Mungkin dalam mind-set otakmu telah tercap, ‘bisa jadi dengan semangatmu yang membara dahulu kala kamu tidak punya gairah terhadap keilmuan.’ Kujawab, ‘benar.’ Itulah alasan mengapa aku sekarang mampu termembarakan akan pengetahuan, karena dahulu kala aku tidak mempunyai alasan untuk meraih ilmu.

Setiap mentari menyala. Setiap lonceng sekolah berbunyi. Aku merasa adalah mengikuti perjalanan waktu. Hanya sekedar mengikuti. Aku menulis apa yang guru tulis di white-board. Aku mengerjakan PR tatkala diberi. Aku bolos kalau teman-teman bolos. Aku di hukum tatkala ketahuan melanggar. Tatkala liburan, maka aku turut liburan. Kadang menyendiri, kadang berkomplotan. Yang pasti garis besarnya adalah tetap liburan.

Selama sekolah aku menjalani rutinitas yang dipaparkan orang-orang. Aku persis menjalani sebuah rutinitas dan hanya rutinitas.

Kalau tidak ada PR maka aku menjalankan rutintas yang lainnya, yakni berkumpul bersama teman. Membicarakan suatu pembicaraan yang serampangan. Atau kalau sedang masa-kealiman, maka aku menyepi di Masjid, mulai shalat lalu membaca al-Quran.

Tatkala Fajar mulai menyala. Aku bangun dan menjalankan rutinitas kehidupanku.

Rutinitas itu terus menerus kujalankan. Pikirku, saya sekedar menjalankan rutinitas yang nyata. Apakah kamu apa yang salah dengan perjalananku barusan?” katamu.

Terkesan bagiku sebuah perjalanan-hidup yang biasa.

“Ya, kupikir biasa-biasa saja,” kataku.

“Benar. Memang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa ‘kan. Apakah perlu dilanjutkan ceritanya?”

“Ehmm kupikir aku belum mendapatkan bagaimana kamu meraih gairah dalam keilmuan. Ya, bagaimana gairah akan keilmuan itu tertancap olehmu?” kataku.

“Gairah itu terjadi karena saya menyadari bahwa rupanya sejauh ini saya sekedar menjalankan rutinitas, dan kalau saya pikir-pikir lagi, runititas itu adalah sesuatu yang kosong. Kamu tentu mengetahui apa itu kosong ‘kan?” katamu.

“Kosong tentu sebuah wadah yang tidak ada isinya. Namun kalau dipikir ulang, maka kekosongan itu adalah mempunyai makna: bahwa kamu telah membatasi apa yang disebut kosong, dan bentuk isi dari kekosongan adalah udara. Jika kali ini kamu berusaha mengisi bentuk kekosongan maka sekarang adalah sedikit dan bunyinya klutak-klutuk. Namun, jika sebuah beda telah terisi penuh: maka tatkala digoyah akan menjadi sesuatu yang padat. Dan kepadatan itu bisa menggelinding atau diam di tempat,” kataku. “Hahaha... tapi jika ditarik garis, tatkala kamu menyadari kekosongan maka kamu perlu mengisinya.”

“Ya... begitulah.”

“Artinya bahwasanya gairah ingin mencari dibutuhkan kesadaran diri, dalam arti sebuah pengakuan bahwa dirinya kosong maka penting di isi.”

Kau memanggut.

“Tapi tidakkah istilah kosong sangat kasar. Karena pada dasarnya kamu telah terisi.”

“Itu kan sebuah kata-kata, toh nyatanya sejauh rutinitas itu telah terisi, walau sedikit demi sediki,” katamu.

“Kemudian, bagaimana kelanjutan cerita sehingga kamu bisa mendapatkan kesadaran untuk kegairahan akan keilmuan.”

“Hahaha kamu menjadikanku orang yang spesial. Layaknya acara televisi. Talk show.”

Malam yang serius, mendadak luntur dalam keriangan. Suasana ruang yang biasa hening, mendadak ramai akan kata-kata yang keluar dari dalam pikiranmu.

“Pendek kata, perjalanan waktu,” katamu menyambung cerita. “Saya bertemu orang-orang seni. Seperti tiba-tiba, saya tertaruk hati padanya. Alasannya bebas mengekpresikan diri; ketat mengurai isi hati. Maka sukalah saya dengan ranah-ranah puisi. Kau tentu pahamkan bagaimana jiwa-jiwa penyair? Yang sarat akan sosial dan sangat sibuk akan dirinya sendiri. Sibuk berpetualangan hati. Di sanalah saya mengembara, persis terjebak dalam unsur cinta dan penguakan diri. Di sini, masa hati saya bergejolak yang tak terarah: saya mulai mempertanyakan kerutinitasan, khususnya rutinitas diriku. Terlebih itu, mata saya mulai termanjakan akan buku demi buku penguakan diri, bagaimana kegaduhan yang tercipta di dalam tubuh manusia, yakni sebuah pemikiran. Maka saya terus menerus menyelusuri itu: seperti melarikan realitas ke dalam ranah pemikiran. Ranah ide. Duniaku kali ini lebih super sibuk dalam dunia ide, saya mulai tercampur-baur antara ide dan nyata. Tapi lebih kuat dengan dunia ide. Maka saya terus menerus mematai tentang psikologi karena realitas terus berlangsung, maka pembacaan sampai kepada tubuh-tubuh manusia yang lain. Apakah bisa dimengerti?” katamu, lancar dan cepat.

Aku tersenyum. Memanggut. “Terus?”

“Hingga akhirnya saya pun mempertanyakan tentang diriku. Sungguh, sangat lama saya mempertanyakan diri. Waktu itu, sangat sulit saya menjawab tentang diriku yang sebenarnya. Saya panjang berkutat menjadi jawaban: siapa aku? Saya juga terherankan: mengapa harus mencari tahu siapa aku? Padahal aku adalah aku. Tapi mengapa aku harus mempertanyakan keakuan. Dan kenyataannya, saya pun masih hidup seperti biasa. Agaknya orang-orang tidak tahu tentang pertanyaan itu yang nyantol kepadaku kuat-kuat. Sangat kuat. Maka saya berusaha menguak pertanyaan itu melalaui orang-orang yang kukenal: kutanya-tanyakan persis orang peragu. Menurutmu siapa aku? Kataku sambil menaruhkan tangan di dadaku. Begitu. Ya, kebanyak orang. Hingga pada akhirnya, tatkala kukumpulkan jawaban demi jawaban maka tersimpulkanlah siapa aku. Setidaknya saya tidak mempertanyakan lagi siapa aku, itu membuatku lega.”

“Tapi apa hubungannya dengan gairah ilmu?”

“Apa hubungannya!” katamu. Renyah, “Katamu apa hubungannya dengan gairah ilmu?”

“Ya...”

“Bagiku, setelah mengkombinasi jawaban dari siapa aku: maka aku mulai mengerti ilmu apa yang akan kupelajari, ilmu mana yang kubutuhkan dan ilmu mana yang penting kuterjunkan. Dalam artian, saya mencari ilmu karena kondisiku alias karakterku.”

“Sesungguhnya,” kataku. “Apa tujuan mendapatkan ilmu?”

“Bukannya kamu juga termasuk orang yang dalam naungan ilmu?”

“Aku ingin tahu apa versimu?”

“Apakah menurutmu versimu dan versiku berbeda?” katamu. Malah membuatku kewalahan. Sial.

“Ehmm... tapi aku ingin tahu apa yang mengalasi kamu termembara akan ilmu.”

“Bagiku, mendapatkan ilmu adalah kebahagian. Itulah yang kuharapkan. Kebahagiaan yang seperti apa: tentu karena kapasitas ilmu adalah pada dalam tubuh, orientasi utama adalah kebahagiaan hati, yang kemudian menyelimuti tubuh. Oleh karenanya banyak orang termotivasi untuk meraih ilmu. Ilmu yang seperti apa, ya yang sesuai dengan kapasitas dirinya. Kapasitas seperti apa? Jiwanya. Karakternya. Hingga akhirnya, jika setiap orang hebat dalam karakternya alias jiwanya. Pastinya tujuannya sama, bahagia.”

Aku memanggut-manggut. Setuju. Seolah memahami. “Akhir kata, apa yang mengalasi kamu untuk meraih ilmu? Sedikit saja.”

“Wah... persis talk show banget. Akhirnya: kebutuhanlah yang mengalasi untuk meraih ilmu. Apa itu butuh? Butuh persis tatkala saya lapar, maka saya butuh makan. Dst..”

Sekali lagi aku dibuat manggut-manggut. Terlebih lagi istilah terakhir yang ditawarkan. Seperti diriku yang mendatanginya, adalah soal kebutuhan, kebutuhan akan motivasi. Sekali pun aku bisa membaca lewat buku demi buku berkaitan dengan gairah ilmu. Tapi bertemu langsung dan dialog denganmu sangatlah berbeda. Laksana aku ditawarkan buku demi buku, walau nyatanya pembicaraan kami sedikit sekali yang membicarakan buku. Terlebih lagi, aku pulang dengan perasaan bangga, juga lega, bahwa aku pernah berbicara dengannya. Bertambah pula kekagumanku padanya. Sangat.



Di tulis Juli 2015 diedit 2017


Belum ada Komentar untuk "Gairah Ilmu "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel