Surat Buat Guru: Aku Mengkaji Fikih Dasar Dan Menjalankan










Semakin hari, aku semakin menjalankan dan mulai ‘memahami’ apa yang kujalankan; yakni tentang hal-hal dasar yang terlupakan, hal-hal dasar tentang keagamaan yang diabaikan. Aku mulai mengkaji kitab-kitab fikih dasar—haha pelajar filsafat, bekas pondokan, mengkaji fikih dasar! Hehe—dan aku mulai mengaktifkan ‘rasioku’, dan aku dapatkan:

Bahwa sejauh ini aku mengabaikan hal-hal dasar, mengbaikan data-data dasar; aku memang tidak asing dengan kajian hal-hal dasar, tapi ternyata, hal-hal dasar itu tidak tertangkap ‘benar’ dalam cangkang pemikiranku.

Ternyata: aku tidak hafal kitab mabadi fikih!

Tidak hafal, safinatun najah.

Tidak hapal, sulamun taufik.

Tidak hapal, takrib.

Bayangkan, seorang pengkaji filsafat agama, bekas pondokan yang agak lama, tidak hapal kitab-kitab dasar tersebut, padahal setiap hari melakukan shalat, setiap melakukan wudhu, melakukan ibadah-ibadah, yang itu terangkum dalam kitab-kitab tersebut. ternyata tidak hapal! Sungguh, aku ini sangat keterlaluan, dan bodoh yang dalam.

Ternyata, untuk menghafalkan orang membutuhkan hafal secara urutan. Padahal kitab-kitab itu telah berurutan. Harusnya aku hapal! Ternyata tidak. Pikirku, kemana saja aku ini, sampai-sampai aku tidak hapal kitab-kitab yang zaman sekarang mulai diremehkan itu. padahal, sampai sekarang pun, orang-orang juga masih berpedoman dengan kitab-kitab dasar itu. Tapi kok ya, tidak hapal. Sungguh terlalu.

Aku menceritakan ini kepadamu, adalah pengabaranku, bahwa aku, sekarang berada pada jalan ini; mengaktifkan ‘rasio’ bersama pengetahuannya, yang tergoda, menenggelamkan ‘data-data’ dengan alasan: kamu telah mengetahui, padahal belum memahami.

Aku berusaha kencang, menghafalkan data-data—sering juga tergoda, melalaikan data-data. Dan aku menyadari, mungkin, kemunduran ‘umat-islam’—gayaku jan, seakan membicarakan umat. Hehe padahal maksudnya adalah diriku sendiri—karena sejauh ini ‘tidak’ mengaktifkan ‘pemikirannya’, seakan-akan bergaya tahu, tapi males menjalankan apa yang ditahu. Padahal telah mengetahui, bahwa ilmu itu akan bertambah kalau dijalankan. Andai-kata seluruh ‘umat-islam’—gayaku jan, seakan membicarakan umat. Hehe padahal maksudnya adalah diriku sendiri—menjalankan apa yang ditahunya, tentu eksistensi umat islam bakal sibuk dengan keluasan ilmu islam (lha memangnya sekarang tidak sibuk dengan keilmuan islam? secara formal, memang sibuk, karena sekolahan berembel-embel atau berlabel islam banyak, tapi hanya sebagian saja yang ‘benar-benar’ bereksis tentang keilmuan islam: harusnya, semuanya eksis dengan keilmuan islam, sebab ilmu islam itu melekat di dalam dirinya ‘muslim’ sebab setiap muslim-indonesia, ‘harusnya’ ya ‘harusnya’ minimal hapal kitab mabadi fikih. Apalagi di zaman yang ‘sekolahan’ telah berdiri; harusnya dan benar-benar harusnya, dengan gambang hafal mabadi fikih, karena tuntutan ilmu-islam adalah tentang praktek keagamaan. Praktek ibadah, bagi umat-islam, itu wajib.).

Begitulah yang sekarang, agak lebih saya sibukkan, yakni menelurusi tentang keagamaan-islam, tentang syariat. Selanjutnya, tenang, saja, insyaallah saya akan benar-benar mengurusi kuliahku, dan mengasah sekali lagi, lebih dalam tentang kefilsafataanku. Kata-katamu, kali ini menjadi bahan motivasiku: pokoknya aku harus selesai kuliah. Apa-pun aralnya. Berjuanglah, Fik.

Aku mulai memahami, system itu penting dipatuhi. System itu tidak bisa dirombak. Idealis boleh, tapi system jangan ditabrak, Fik. Siap!

2017

Belum ada Komentar untuk "Surat Buat Guru: Aku Mengkaji Fikih Dasar Dan Menjalankan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel