NGAJI MABADI FIKIH: RUKUK, Kenanglah Masa-Kerajaan: Turunkan Kepalaku Pada Sang Raja.





Apa yang dibaca tatkala rukuk?

Bacalah—menggunakan bahasa arab—yang artinya: Maha Suci Allah yang Maha Besar dan saya memuji kepada-Mu (Subhanallah robbi al-‘adimi wabihamdih), diulang tiga kali selanjutnya I’tidal.

Penting dikabarkan, kalau yang kita kaji adalah madhab Imam Syafi’I, maka tatkala rukuk, begitulah lafadnya, jika ada yang berbeda maka ringkas kata itu bukan madhab imam syafi’I, itu madhab yang lain, yang pasti jangan begitu dipersoalkan, sebab banyak hadis yang bunyinya tidak hanya itu saja, yang utama itu adalah menunaikan ibadah, mengerangkengkan ibadah, menguatkan ibadah—kalau kita sudah mengkaji tentang kitab-kitab hadist dan banyak mengkaji kitab-kitab hadis, maka tentu kita akan mudah menanggapi hal-hal yang berbeda, dan suatu perbedaan adalah rahmat. Sebab, sebeda-bedanya orang terhadap ‘bacaannya’ tetap mereka masih membaca. Jika pun dipersoalkan, maka letaknya ada pada suatu kajian keilmuan—yang pasti, jalankanlah ibadah, kuatkanlah ibadah dan ingatlah, bahwa tujuan utama ibadah adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, bersyukur dan menikmati.

Di zaman sekarang, di zaman pengetahuan telah ‘agaknya’ berkuasa, pengetahuan yang mbalarah, orang-orang yang tahu banyak, ruang-ruang diskusi banyak, kalau mau berdebat lebih, maka ada tempatnya, yakni tempat keilmiahan. Apakah di sini adalah ruang-keilimahan, tentang objektifitas data; jawaban saya? Tujuan saya menyampaikan ini adalah mengingatkan tentang apa yang telah kita ketahui. Begitu. Berupaya mengonfirmasi pengetahuan yang telah kita dapati.

Saran saya: jangan geger kalau ‘bacaannya’ berbeda, mereka itu juga punya dalilnya. Yang pasti, tetaplah ibadah. Begitu. memang baik, kalau lafatnya sama. Jawabku, kalau kita di desa, bisa saja lafatnya sama, karena gurunya sama. Lha kalau di kota? Orangnya kan macem-macem, dari sini, sana, sananya lagi, sininya lagi, sana yang jauh, sana yang lebih jauh.

Sementara itu, para pengajar, atau murid, bisa saja ‘mulai’ mendapat asupan dari pengetahuan yang mbelarah. Zaman sekarang, zaman technology, zaman informasi, orang-orang mulai gampang belajar sendiri, mulai gampang ‘mengambil’ pengetahuannya sendiri. Sekiranya cocok, di pakai. Kalau gak cocok, gak dipakai.

Jika digurunya: siapa gurumu? Internet.

Apakah salah kalau gurunya internet?

Jawabku, tidak-salah, yang pasti harus ada guru realitas, harus ada yang menjadi hakim dari pengetahuannya. Harus ada yang mengontrol tentang ‘perkembangan’ pengetahuan di dalam dirinya. Tujuan lagi, supaya tidak gumede, atau merasa ‘besar’ dengan pengetahuan yang didapat, padahal ‘imu’ itu sangat luas, sangat banyak, semakin orang menyukai ilmu, maka semakin bodohlah ia mengaku. Karena memang sangking banyaknya ilmu. Sudah.

Kembali ke kitab.

Tentang rukuk. Zamannya kanjeng nabi itu masih bersekitaran dengan zamannya kerajaan, yakni kekuasaan mutlak yang dipimpin oleh raja. Perkataan raja adalah sabda, yang harus dituruti. Dan untuk bertemu dengan raja, maka harus ada tata kramanya, harus ada tindak-tanduknya, yakni menghormati raja. Marilah kita kenang film-film yang berkaitan dengan kerajaan. Perhatikan tatkala mereka masuk dan bertemu dengan sang raja. Pasti ada kata-kata yang disampaikan: ada juga, yang: mohon maaf tuanku, sembah tuanku, hormat raja, lapor gusti, atau yang lainnya. Yang pasti, ingat suatu kejadian dimasa kerajaan: nah, dalam islam, maka begitu, dan raja yang disembah oleh islam itu adalah raja yang menguasai rajanya manusia. Yang menciptakan langit dan bumi, yang menguasai setiap jiwa manusia, itulah yang disembah oleh orang muslim. Dalam proses itu, tatkala rukuk membacanya:

Maha Suci Allah –Allah itu wajib disucikan: suci dari dugaan kita, suci dari seluruhnya—yang maha besar—melampaui apa-pun, besarnya tidak terhingga, salah jika ‘menyerupakan’-Nya, kita tidak boleh menyerupakan-Nya, yang pasti, Dia maha besar layak diagungkan—dan berserta pujian kepada-Nya—mensucikan, mengagungkan dan memuji; inilah makna dari rukuk.

Begitulah arti lafat rukuk, dalam madhab imam syafi’i.

Rabbi zidni ‘ilma warzuqni fahma. Amin.

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: RUKUK, Kenanglah Masa-Kerajaan: Turunkan Kepalaku Pada Sang Raja."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel