Jalinan Guru dan Murid: Eksistensi
Rabu, 01 Februari 2017
Tambah Komentar
“Selamat datang di dunia ‘kesadaran’, oh cintaku; bukannya sesungguhnya apa yang kau bicarakan adalah sesuatu yang sangat sederhana? Laksana sebuah titik. Hanya titik. Tapi ketika itu, kau berada di dalam titik yang besar, semakin hari semakin membesar lingkaran titik itu, sampai-sampai kau lupa bahwa sebenarnya titik itu ya hanya titik. Tidak ada titik-titik lain kecuali itu hanya titik.
Bukannya ini pelajaran yang sederhana cintaku? Sangat sederhana ‘kan? (Memang benar yang membuat tidak sederhana adalah keberadaan yang disebut ‘akal’ itu. Hehehe Betapa dahsyat bukan sesuatu yang bernama ‘akal’ itu?)”
***
Bukannya ini pelajaran yang sederhana cintaku? Sangat sederhana ‘kan? (Memang benar yang membuat tidak sederhana adalah keberadaan yang disebut ‘akal’ itu. Hehehe Betapa dahsyat bukan sesuatu yang bernama ‘akal’ itu?)”
***
Selamat malam, cintaku.
Kepadamulah aku ceritakan diri, yang memang tatkala aku bersama yang lain tidak bakal menjadi pelaku utama untuk menjadikan cerita. Demikianlah karakarterku.
Kau paham tentu dengan diriku yang seperti itu. Senantiasa seperti itu, sekali pun aku banyak kata kepada yang lain. Awalnya aku pasti lebih mencari keakuannya yang kemudian mengeluarkan percikan keakuakuanku yang itu digandeng dengan sejarah dan referensi-referensi terhadap subjek yang bakal kudatangi.
Aku selalu mendatangi, persis seperti dirimu. Tapi kau kini adalah tong sampah buat pemikiranku. Hanya disinilah aku curahkan diriku.
Tatkala siang menyala, atau segala perkumpulan terhadap manusia—aku menjadi dirinya yang seakan mensuprot mereka melalui berbagai cara (Entah menghelak, menolak, menyangkal atau memberitahu secara gamblang)
Kali ini aku tersadar. Keterselubungan keinginan yang mengerikan dari diriku. Adalah menguasaimu dengan cara aku mendengar ceritamu yang kemudian mensuprotmu; atau setidaknya kau bakal mendengarkan nasihatku karena aku telah mendengar cerita tentang dirimu, tentang hatimu, tentang kenyataanmu.
Sesungguhnya, yang sangat membuatku tersadar adalah karena aku selalu tidak menyadari keberadaanku; seakan selalu diriku tidak ada, walau tatkala aku bersamamu selalu kuceritakan tentangku, tentang hatiku, tentang kenyataanku—tapi gelegatku, gelegat samar yang tidak jelas.
Terheranlah bukan main. Tatkala malam menyala.
Tatkala aku sekali lagi memperhatikan aktifitasku. Sekali lagi meneliti tentang bagaimana perlajuan gelegat diriku. Aku samar bagi diriku. Apakah kau pernah merasakan itu, cintaku? Kau samar bagi dirimu tapi sangat nyata bahwa itulah dirimu. Ya! Bagaimana aku mengungkapkan istilah itu dengan mudah dan kalimat yang paling mudah untuk diterima?
(Kau mungkin tersenyum sambil mengernyitkan keningmu dan memincingkan matamu, padaku, seakan ingin membaca alasanku. Padahal kau telah mengetahui. Kau mungkin seakan pura-pura tidak mengetahui demi alasan: aku mengungkapkan alasanku; atau kau ingin mendengar ceritaku)
Baiklah.
Aku benahkan dudukku. Aku santaikan gelegat tubuhku. Aku konsentrasikan akalku; menuju data demi data tentang diriku, yang memang sejauh ini telah kucari secara terpisah dan lamat-lamat. Dan berpikir, aku berharap kau dengan tabah mendengar ceritaku.
Suatu malam yang biasa. Tergeletaknya buku demi buku. Komputer yang menyala. Terdengar iringan musik yang kusuka. Pendek kata, ketika aku mulai suntuk dengan apa-pun yang terjadi. Di masa aku benar-benar tertekan dengan kenyataanku. Sangat tertekan; sampai-sampai aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan dan bahkan aku tidak tahu apa yang aku pikirkan.
Kau mungkin paham, bahwa tekanan itu berasal dari aktifasi akalku; karena didera ketidak-tahuan yang dalam. Yakni, sesuatu yang seakan-akan diriku tidak mengetahui apa yang seharusnya aku kerjakan untuk mensejahterakan akalku?
Padahal aku telah melaksanakan ritual keagamaan (Pikirku, supaya hati tenang) tapi rupanya, aku mentah terhadap agama. Aku merasa bodoh juga dalam hal itu. Yang kemudian, aku ukurkan pada kenyataanku; aku seakan-akan lupa bagaimana menghadapi siang.
Sesekali kutanyakan; apa yang akan kulakukan di siang yang nyala? Dan apa yang kulakukan di pagi buta? Sementara kuliah belum masuk juga. Dan apa yang akan kulakukan untuk mendapatkan uang? Demi mempertahankan keberadaanku; apakah aku akan menjadi kuli bangunan? Atau aku melamar menjadi tukang penjaga toko? Atau apa-pun itu yang pasti aku bekerja, tidak menganggur. Tidur dan menikmati malam-malam yang sunyi. Sepi dan sendiri. Apa!
Sungguh! Sial benar diriku. Seakan terasakan kemiskinan yang dahsyat terhadap apa yang kujalani. Aku tak mengerti tentang semua itu, kecuali aku menyukai dunia-pemikiranku.
Rupa-rupanya. Kali ini aku sangat menyadari bahwa aku didera oleh dunia-pemikiranku. Terjebak dalam alur kepemikiranku. Dunia ide. Ide yang kacau. Semrawut. Tidak jelas. Bercampuran dan macam-macam. Sial.
Aku mengutuk diriku dan merasa kasihan pada ragaku. Sangat kasihan. Terlihat benar kebodohan yang nyata. Meringis aku penuh bela sungkawa.
Aku raupkan wajahku; berharap bening menceritakannya padamu. Tidak terkacaukan akan dunia pikiranku. Dan terluruskan akan maksud perkataanku.
Tapi malam ini (Sesungguhnya telah malam-malam yang berlalu, mungkin kiranya sebulan lamanya, atau bahkan lebih) telah kusadari bahwa aku benar-benar asing dari ragaku. Terjebak dalam siklus keakuanku—lupa bahwasanya ada raga yang menyelimutiku. Padahal raga itu kubawa dimana-mana, bahkan aktifitasku seperti biasa. Sangat biasa. Tidak ada yang istimewa. Spesial. Biasa saja. Monoton seperti yang lainnya.
Geli sendiri aku menceritakannya. Mengungkapkan apa sebenarnya terjadi padaku. Karena ini memang biasa, sederhana. Sangat sederhana.
Seakan baru tersadar bahwa rupanya sejauh ini aku tidak percaya pada diriku. Aku selalu ragu akan apa yang kupikirkan. Aku menyoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu disoalkan. Mensuprot sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu disuportkan. Mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikatakan.
Pikirku, bagaimana sedari dulu aku mau maju? Kalau aku sendiri tidak menginginkan maju; malah inginnya mundur dan menarik kebelakang, bersama kenangan dan kenangan. Sementara tubuhku, bersama waktu selalu maju. Maju dan maju.
Bayangkan, aku kuliah semakin maju. Tangga tingkatnya semakin tinggi. Tapi kadang aku masih bertanya tentang hal-hal yang dasar kembali! Sial bukan. Tapi kali ini, kusampaikan padamu, oh cintaku. Kutitipkan padamu, engkaulah yang pertama membaca kesaksianku:
Aku percaya kepada diriku; yang juga akan kutumbuhkan kepada para pendahuluku, merengguk ilmunya, dan meneruskan perjuangan yang gagal direalitaskan. Perlahan aku jelaskan diriku padaku (Kupikir sejauh ini; aku tidak menjelaskan diriku pada ragaku, bahkan kepada mataku—kau tahu, isi laptopku adalah sangat rahasia bagi mataku, sekali pun aku sangat paham apa yang ada dalam isi laptopku. Kukira, malam ini, akan kurapikan data-data dan menjelaskan pada mataku, siapa diriku sesungguhnya)
(Dan kau mungkin ingin mendengar langsung dari mulutku, supaya lebih terang maksud tujuanku. Sabarlah; setelah itu, esok, aku akan menyambangimu dan menceritakan ringkas diriku. Tapi perlulah kau tahu isi akalku, supaya pertemuan kita tidak habis diungkap tentangku.)
Demikianlah dariku. Padamu, kukabarkan keakuanku.
**
“Siapa dia?” kata seorang tamu, yang melihat lembaran kertas yang tegeletak bebas di atas meja.
“Oh dia muridku.”
“Muridmu?!” katanya terkejut.“Pakai cinta-cintaan?”
Kau tersenyum. Santai.
“Romantis sekali,” katanya lagi. “Murid spesial ya...”
“Ah tidak juga. Dia sendiri yang menspesialkan.”
“Maksudnya,” tamu itu merasa terharu. “Dia sendiri yang menspesialkan.”
“Dia yang berpikir bahwa dia spesial dariku. Akhirnya terwujudlah spesial dariku.”
“Ah begitu saja ribet, Pak. Tinggal katakan ya... hehehe”
Kau tersenyum.
Lalu apa yang akan engkau sampaikan kepadanya.
“Aku terima curhatanmu. Sudah tak baca. Aku mengerti. Selamat berjuang, itu kataku di telephone.”
“Kok seperti itu,” si tamu merasa aneh.
“Lha memang seperti harusnya seperti apa?” katamu memancing. Kau memang seperti itu gayanya, santai dan memancing seseorang mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan. Maka si tamu dengan cepat mengatakan.
“Balaslah dengan adil. Barangkali ia akan lebih bahagia dan gembira membaca suratnya.”
Kau memahami maksud dari si tamu itu. Maka segeralah kau mengatakan.
“Selamat siang, cintaku,” katamu, “Apakah kau ingin mendengar apa yang hendak kusampaikan?”
Si tamu tersenyum. “Bukankah baiknya di balas secara pribadi?”
“Dia mulai membuka hati. Membuka diri. Tidak perlu memakai topeng lagi,” jawabmu.
Si tamu pun tersenyum. Mengangguk-anggukan kepalanya. Mendengarmu dengan takdim dan sangat diperhatikan tiapan detail katanya.
Selamat datang di dunia ‘kesadaran’, oh cintaku; bukannya sesungguhnya apa yang kau bicarakan adalah sesuatu yang sangat sederhana? Laksana sebuah titik. Hanya titik. Tapi ketika itu, kau berada di dalam titik yang besar, semakin hari semakin membesar lingkaran titik itu, sampai-sampai kau lupa bahwa sebenarnya titik itu ya hanya titik. Tidak ada titik-titik lain kecuali itu hanya titik.
Bukannya ini pelajaran yang sederhana cintaku? Sangat sederhana ‘kan? (Memang benar yang membuat tidak sederhana adalah keberadaan yang disebut ‘akal’ itu. Hehehe Betapa dahsyat bukan sesuatu yang bernama ‘akal’ itu?)
Karena titik itulah banyak orang yang berputar-putar mencari titik, mencari sadar diri. Itu banyak orang, cintaku. Kukatakan, banyak. Tidak engkau seorang, tapi banyak. Aku adalah bagiannya. Seandainya kau lebih giat terhadap membaca tentang keakuan manusia; tentunya kau lebih cepat menyadari; tapi rupanya, oh cintaku, hanya saja kau kepayahan mencari itu, bukankah kau merasa sulit mencari itu? Karena sesungguhnya yang ingin kau nikmati adalah bagaimana kau menikmati setiap napas dan seluruh organ hatimu sendiri alias pengalaman individu—kau semestinya tahu bahwa setiap orang bakal berbeda pengalamannya karena beberapa faktor: lingkungan, tempat dan waktu. Keadaan itulah yang membuat pengalaman berbeda-beda. (Sambil berkata lirih kukatakan) Walau sesungguhnya tetap sama; pengalaman adalah pengalaman.
(Apakah kau sedang tersenyum karena rangkaian bahasaku seperti itu? Tersenyumlah. Bergembiralah. Jangan buatkan hatimu di dera oleh tipu-muslihat ragamu yang menawarkan bunga-bunga kesenangan; ingatlah (Kataku sambil berkata lirih lagi) titik adalah titik. Kalau kau menyatakan titik, pasti seperti itu; kalau kau amati titik maka kau akan melihat lingkaran. Kalau kau terjebak dalam lingkaran, kau tahulah apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, selamat datang di dunia kesadaran, cintaku.)
Terakhir, apakah kau setuju dengan ini: sesuatu yang sederhana sesungguhnya memiliki kerangka yang itu bukanlah sederhana,” Tutupmu, yang mengudarkan lewat lisan. Kesannya memang untuk muridnya itu, tapi apalah daya, si tamu itulah yang mendadak menjadi murid itu. Tersenyum payah. Tapi gembira.
“Saya juga setuju, Pak. Sesuatu yang sederhana sesungguhnya memiliki kerangka yang itu bukanlah sederhana,” tutup sang tamu. Yang kemudian malah bertanya, apa yang akan dilanjutkan kemudian setelah menemukan kesederhanaan: menikmati, jawabnya.
Lalu, kata si tamu lagi.
Menghadapai, jawabnya.
Lalu, kata si tamu lagi.
Berjuanglah, katamu lagi.
Lalu, kata si tamu.
Di jawab lagi dengan bahasa sederhana.
Lalu, kata si tamu perlahan persis menjadi muridnya, karena kelagiannya.
Selepas sampai rumah. Si tamu itu malah penasaran akan murid yang mengirim surat itu. Siapa dia? Mengapa dia curhat begitu? Ah mengapa aku harus memikirkannya? Bukannya aku penting memikirkan diriku. Ya, dirikulah yang mesti dipikirkan. Sialnya. Aku tak lega hati sebelum mengetahui secara pasti, siapa murid itu; oh perasaan macam apa ini? Ya Allah tenangkanlah diriku dari godaan akalku.
Segeralah ia menyalakan komputernya. Rencana menulis surat buat sang guru itu, meniru si murid yang suratnya di taruh di meja gurunya itu.
Selamat malam, (oh cintaku) oh diriku.
Ditulis, 2015, diedit 2017
Belum ada Komentar untuk " Jalinan Guru dan Murid: Eksistensi"
Posting Komentar