Mengulang filsafat
Rabu, 17 Oktober 2018
Tambah Komentar
Ketika kita hendak mengkaji filsafat, haruslah diketahui bahwa filsafat itu berasal dari kata philos dan shopos. Kata itu berasal dari bahasa Yunani, maka belajar filsafat secara tidak langsung bakal mengkaji yang itu berakar pada keyunanian, setidaknya bakal diarahkan pada sejarah yunani, mengetahui tentang tempat yunani tersebut. sampai-sampai menciptakan sesuatu yang itu disebut dengan filsafat—untuk zaman sekarang, informasi itu telah banyak diuraikan. Artinya diuraikan adalah telah banyak yang menguraikan tetnagn sejarah keyunaniannya; apalagi ilmu ini adalah ilmu yang berjarak cukup lama—namun sebenarnya kajian filsafat itu tidak hanya terbatas pada yunani, hanya saja, secara akademisi pastilah bakal dikiblatkan pada Yunani.
Di Cina juga ada filsafat. Kok bisa? Karena di cina juga banyak ahli pikir (orang yang merenungkan tentang hal-hal keberadaan)namun secara kajian (atau keilmuan) seringkali yang digunakan adalah dari yunani. Alasan utamanya ialah karena cara yang digunakan, sebagiamana yang dikatakan prof lin dalam bukunya, sejarah filsafat cina, metode yang digunakan berasal dari intuitif, rasa, alasan utamanya karena letak geografisnya. Hal-hal yag berkaitan dengan rasa maka itu menjadi sangat subjektif, hingga kemudian, filsafat di cina laksana membentuk kepribadian, malah bahkan membentuk keagamaan; semacam tradisi keagamaan. Dan di Yunani, senantiasa diarahkan pada data objektif, yakni sesuaut yang berkaitan dengan akal. itulah yang menjadi dasar untuk pengkajian, lebih-lebh itulah yang diunggulkan pada filsafat. Akal senantiasa menjadi orientasi utama. Akal atau berpikir itulah yang menjadi landasan untuk berpikir.
Sudah pasti, kalau mengkaji filsafat, maka harus siap dengan kajian akal, atau bahasa lainnya, berhubungan dengan ‘pikir’, nah aktivitas berpikir biasanya disebut degan ‘mikir’.
Hingga kemudian, eprjalanan waktu, setelah filsafat mulai membuat cabang-cabang ilmu—artinya sebelum itu, di yunani, seluruh pengetahuan itu ditampung dengan filsafat. Hingga kemudian menyacabang-cabang atau bahkan sampai meranting-ranting. Kajian sosial, sekarang menjadi ilmu sosial. Lalu dari ilmu-sosial itu terpecah lagi menjadi ilmu sosiologi, sejarah—bahkan filsafat pemikiran pun kajian tersendiri. Ada juga yang mengajarkan filsafat sosial, filsafat manusia, filsafat lingkungan, filsafat pendidikan, filsafat politik dan lainnya, hal itu untuk melihat lebih jauh berkaitan dengan objek yang disasarkan.
Sekali pun seperti itu, kajian dasarnya masih sama: filsafat. Berpikir. Berpikir yang mendalam tentang objeknya (sosial: maka jadinya, filsafat sosial. Politik: maka jadinya, filsafat politik); dan sebelum itu, maka berpikir itu harus sistematis dan teratur, yang pasti (nah saya sudah menggunakan yang pasti. Berarti kemutlakan) bahwa mengkaji filsafat, pastilah menggunakan sesuaut yang itu disebut akal.
Pertanyaannya: apakah sejauh ini kita tidak menggunakan akal?
Jawab, “menggunakan! Namun tidak kita tidak benar-benar menjadi orang yang itu benar-benar menggunakan akal!”
Tanya, “Bagaimana tandanya orang itu belum benar-benar menggunakan akalnya? Padahal biasanya kebijaksanaan itu orientasinya adalah orang yang tidak berhukum, melainkan sebelum dikenai hukum. Artinya ketika semua orang harus berfilsafat, berarti semua orang laksana orang yang belum mempunyai keputusan hukum, dan kemudian ketika ia menjalani sesuatu barulah ia mengerti sesuatu yang ditetapkan.”
Jawab, “harus dibedakan. Mana yang memegang hukum terhadap teguh. Ataukah ia sekedar menggunakan hukum untuk kepentingan sesuatu, atau ia benar-benar menjalankan sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Yang pasti begini: andai ia telah menggunakan hukum, pastilah ia harus mengerti lebih kencang perihal hukum.”
Tanya, “jadi setiap orang harus mengerti hukum?”
Jawab, “harus!”
Tanya, “kalau tidak!”
Jawab, “maka harus mengerti! Karena dibutuhkan untuk menjadi suatu ketetapan yang akan dijalaninya. Jika ia ragu terhadap ketetapan hukum di dalam pikirannya: inilah pentingnya mengkaji filsafat. Yakni menjadi orang yang bijak terhadap apa-apa yang berkaitan dengan kehukuman.”
Tanya, “Saya kok semakin tidak megnerti tentang filsafat!”
Jawab, “Kan masih belajar. soal hidupmu, realitasmu. Tetap jalanlah sebagaimana hidupmu, realitasmu. Dan baiklah. Begitu.”
2018
Di Cina juga ada filsafat. Kok bisa? Karena di cina juga banyak ahli pikir (orang yang merenungkan tentang hal-hal keberadaan)namun secara kajian (atau keilmuan) seringkali yang digunakan adalah dari yunani. Alasan utamanya ialah karena cara yang digunakan, sebagiamana yang dikatakan prof lin dalam bukunya, sejarah filsafat cina, metode yang digunakan berasal dari intuitif, rasa, alasan utamanya karena letak geografisnya. Hal-hal yag berkaitan dengan rasa maka itu menjadi sangat subjektif, hingga kemudian, filsafat di cina laksana membentuk kepribadian, malah bahkan membentuk keagamaan; semacam tradisi keagamaan. Dan di Yunani, senantiasa diarahkan pada data objektif, yakni sesuaut yang berkaitan dengan akal. itulah yang menjadi dasar untuk pengkajian, lebih-lebh itulah yang diunggulkan pada filsafat. Akal senantiasa menjadi orientasi utama. Akal atau berpikir itulah yang menjadi landasan untuk berpikir.
Sudah pasti, kalau mengkaji filsafat, maka harus siap dengan kajian akal, atau bahasa lainnya, berhubungan dengan ‘pikir’, nah aktivitas berpikir biasanya disebut degan ‘mikir’.
Hingga kemudian, eprjalanan waktu, setelah filsafat mulai membuat cabang-cabang ilmu—artinya sebelum itu, di yunani, seluruh pengetahuan itu ditampung dengan filsafat. Hingga kemudian menyacabang-cabang atau bahkan sampai meranting-ranting. Kajian sosial, sekarang menjadi ilmu sosial. Lalu dari ilmu-sosial itu terpecah lagi menjadi ilmu sosiologi, sejarah—bahkan filsafat pemikiran pun kajian tersendiri. Ada juga yang mengajarkan filsafat sosial, filsafat manusia, filsafat lingkungan, filsafat pendidikan, filsafat politik dan lainnya, hal itu untuk melihat lebih jauh berkaitan dengan objek yang disasarkan.
Sekali pun seperti itu, kajian dasarnya masih sama: filsafat. Berpikir. Berpikir yang mendalam tentang objeknya (sosial: maka jadinya, filsafat sosial. Politik: maka jadinya, filsafat politik); dan sebelum itu, maka berpikir itu harus sistematis dan teratur, yang pasti (nah saya sudah menggunakan yang pasti. Berarti kemutlakan) bahwa mengkaji filsafat, pastilah menggunakan sesuaut yang itu disebut akal.
Pertanyaannya: apakah sejauh ini kita tidak menggunakan akal?
Jawab, “menggunakan! Namun tidak kita tidak benar-benar menjadi orang yang itu benar-benar menggunakan akal!”
Tanya, “Bagaimana tandanya orang itu belum benar-benar menggunakan akalnya? Padahal biasanya kebijaksanaan itu orientasinya adalah orang yang tidak berhukum, melainkan sebelum dikenai hukum. Artinya ketika semua orang harus berfilsafat, berarti semua orang laksana orang yang belum mempunyai keputusan hukum, dan kemudian ketika ia menjalani sesuatu barulah ia mengerti sesuatu yang ditetapkan.”
Jawab, “harus dibedakan. Mana yang memegang hukum terhadap teguh. Ataukah ia sekedar menggunakan hukum untuk kepentingan sesuatu, atau ia benar-benar menjalankan sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Yang pasti begini: andai ia telah menggunakan hukum, pastilah ia harus mengerti lebih kencang perihal hukum.”
Tanya, “jadi setiap orang harus mengerti hukum?”
Jawab, “harus!”
Tanya, “kalau tidak!”
Jawab, “maka harus mengerti! Karena dibutuhkan untuk menjadi suatu ketetapan yang akan dijalaninya. Jika ia ragu terhadap ketetapan hukum di dalam pikirannya: inilah pentingnya mengkaji filsafat. Yakni menjadi orang yang bijak terhadap apa-apa yang berkaitan dengan kehukuman.”
Tanya, “Saya kok semakin tidak megnerti tentang filsafat!”
Jawab, “Kan masih belajar. soal hidupmu, realitasmu. Tetap jalanlah sebagaimana hidupmu, realitasmu. Dan baiklah. Begitu.”
2018
Belum ada Komentar untuk "Mengulang filsafat"
Posting Komentar