Meditasi dan Nafas Puisi: Ahmad Yulden Erwin


Ahmad Yulden Erwin


Meditasi dan Nafas Puisi 


Saya mengenal Ahmad Yulden Erwin di Facebook, setelah saya dikonfirmasi menjadi temannya. Alasan saya berteman karena dua hal, pertama ia suka dengan tema Meditasi lalu (kedua) mengekpresikan dirinya melalui puisi. Sebab saya juga begitu, saya suka dengan tema ‘meditasi’ dan mengekspresikan diri-individu melalui kata.

Saya berteman (Di Facebook) sekitaran 2008 atau 2009 Masehi. Di saat saya masih getol-getolnya menyukai tema meditasi (walau pun pembacaan saya agak tersembunyi. Walau pun disisi lain saya pun mengoleksi buku-buku yang berisikan tentang ‘meditasi’) untuk bahan bacaan, dan merangkai kata untuk mengekrpesikan pikiran, sementara ketubuhan saya agak disibukkan dengan ‘teater’ serta organisasi dan juga tentang keperpondokan. Di saat itulah saya mulai mengadd Ahmad Yulden Erwin.


Teman-teman saya, dulu, yang mendominasi adalah teman-teman diluar kefaktaan saya. Diluar jangkauan kenyataan saya, dan mereka adalah para seniman. Saya menyukainya karena seakan bagiku, mereka itu adalah orang yang jujur menangkap tentang realitas yang ada. mereka adalah orang yang perhatian dengan lingkungan sekitar. Dan mereka adalah orang-orang yang banyak sibuk bermain dengan pikiran. Dan temanya adalah simpel: tentang kebaikan. Dan diantaranya itu, adanya Ahmad Yulden Erwin, dan saya tertarik dengan apa-apa yang diujarkan, yang dikeluarkan melalui Facebooknya. Ia semacam idealis yang kokoh dan sarat dengan renungan (walau pun yang lain juga begitu.); lebih-lebih dasaran yang diangkat adalah dari kecinaan, atau filsafat kecinaan. Dan saya menyukai itu.



Alasan saya menyukai, sebab bahasanya tidak begitu kaku dibanding orang-orang yang beragama islam itu menyampaikan (dilalah juga, saya waktu itu menemui orang-orang yang terkesan kaku menyampaikan); bahasa tekstualnya mengarahkan individu untuk ‘sadar’ diri dengan statusnya. Sekurang-kurangnya begitu (Seperti halnya filsafat cina pada umumnya. Filsafat cina—sebenarnya bisalah disearching sendiri— kecenderungan pemikirannya senantiasa berhubungan dengan alam dan pemahaman diri, yang berefek pada seni. Hal itu bisa dilacak dari kebudayaan cina yang sarat akan keindahan. Dan melihat filsafat cina, tentu saja melihat tentang kesejarahan filsafat cina; jangan terburu membaca yang kekinian, sebab di era ‘meleknya’ ilmu pengetahuan di abad pertengahan itu –sekurang-kurangnya begitu—, ketika ‘akal’ mulai diunggulkan, yang didengungkan oleh Rene Descartes, pada pada proses itu, ketika terjadi ‘kolonialisasi’ cina pun kena dampaknya. Dan cina pun turut berubah).

Dan saya mengikuti apa-apa yang dipostingkan Ahmad Yulden Erwin (mengikuti yang kurang-lebih saya mengawasi apa-apa yang dipostingkan Ahmad Yulden Erwin) terlebih khusus perihal kemeditasiannya ini. Malah bahkan, kadang, saya masuk di kolom komentarnya. Satu hal yang paling teringat ialah dialog tentang murid dan guru, atau semacam praktek Zen (soal pengertian zen dan seluk beluk zen, bisalah disearching sendiri kalau hendak mengetahui).

Saya lupa secara pasti bagaimana dialog itu, yang jelas, adanya semacam murid yang bertemu gurunya. Dan mereka duduk bersama, berhadap-hadapan. Lalu si murid bertanya, si guru menjawab sedikit. Ketika si murid protes, maka si guru bakal memukulnya.

“Tak!” pukul gurunya dengan kayu tipis ke jidat si murid.

“Tapi, bla.. bla.. bla…” kata si murid.

Dan si guru dengan cepat langsung memukulnya. “Tak!”

Ketika si murid berkata lagi. “Tak!” pukul gurunya.

Si murid duduknya mulai meleot. Tidak konsentrasi menikmati semesta dan udara.

“Benahi dudukmu!” ucap si guru.

“Tapi, bagaimana engkau,” protes si murid.

“Tak!” Pukul si guru.

Saat si murid pikirannya bertanya-tanya tentang ini-itu dan bla-bla-bla tentang kehidupan.

“Tak!” Si Guru memukul lagi. “Benahi dudukmu,” katanya.

Sesaat lamanya, ketika si murid itu telah siap dan duduknya, dan pikirannya telah siap menerima dunia yang memang begini adanya. “Kembalilah ke alammu yang sebenarnya.” Kata si guru.

Kira-kira begitulah yang saya ‘kenang’ tentang dialog dengan Ahmad Yulden Erwin ini. Saat itu, saat saya masih di Semarang, yang juga membaca: Pikiran Pemula, Pikiran Zen. Membaca bisa jadi sekedar lintasan belaka, namun bila pembacaan itu dipraktekan dan seakan adanya interaksi dengan ‘penulis’, maka dari teks menuju pertemanan.

Selain dialog tersebut; ada juga yang teringat tentang dialogku dengannya, yakni berhubungan dengan kata kunci: Mbuh.

Mbuh atau embuh. Adalah jawaban kekosongan ketika ditanya. Pengabaian terhadap sesuatu. Ketidak-tahuan yang tidak menawarkan jawaban dan pikirannya santai, sebab ketika ditanya:

“Embuh,” jawabnya.

Mbuh adalah bahasa jawa kasar, ngoko. Kata ini seringkali diucapkan ketika ada yang bertanya dan si penjawab tidak mengetahui jawabannya. Tidak mengetahui secara pasti, jawabannya.

Atau bisa jadi, kata ‘Mbuh’ difungsinkan menjadi pengakhiran kata ketika berbicara banyak tentang sesuatu lalu diakhiri dengan jawaban: Mbuh ding!

Semacam keraguan untuk menjawab. semacam ketidakpastian untuk menjawab. semacam kemasalan untuk berpikir. semacam keenganan untuk berdialog. Semacam keenganan untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya.

“Mbuh! Mbuh! Mbuh! Mbuh! Mbuh!”

Dan pengaruh kuat kata ‘Mbuh’ ini adalah memikirkan diri sendiri yang itu berhubungan dengan diri-diri yang lain; memikirkan diri sendiri bersamaan dengan jalinan kemanusiaan. memikirkan diri sendiri untuk menyibukkan dirinya terhadap ‘tugas’ yang dibebankan. Memikirkan diri sendiri dan berdaya untuk ‘profesional’ terhadap apa yang dikerjaan.

Kata ‘Mbuh’ ini adalah lanjutan dari dialog ‘Tak! Tak! Tak!”. Jika dialog “Tak!” berdaya diri untuk mengajari cara, dan ‘Mbuh’ adalah pelaku dari apa yang telah mengejarkan. Telah menjadi namun berinteraksi dengan manusia lain, dan tergoda juga dengan ‘urusan-urusan kemanusiaan’ lagi.

Kira-kira itulah yang begitu mengena (teringat) tentang kepermeditasian dengan Ahmad Yulden Erwin. Selain itu, tentu saja perihal ‘puisi’.

Saya pun turut menyertainya. Hingga kemudian, disuatu ketika, ketika saya bertanya-tanya tentang puisi (dulu saya tidak ada kepentingan tentang keperpusian, sekurang-kurangnya begitu. Atau apa-pun itulah tentang puisi; menulis puisi adalah upaya untuk ‘mengekpresikan diri’, pikiran, membaca diri, namun saya, teks tidak seperti apa yang ada di dalam pikiran) saya mendapati jawaban darinya:

Puisi adalah Nafas 


Itu adalah jawaban dari Ahmad Yulden Erwin. Tentu saja, uraiannya mbelandang kemana-mana dan tentang kefaktaan. Namanya juga nafas (ambegan) pastilah mbelandang kemana-mana terlebih khusus pada kehidupan itu sendiri. bahkan, kayaknya, saya masih ‘ingat’ bahwa beliau pun pernah menyoalkan istilah ‘Nafas’ atau ‘Napas’. Menggunakan F atau P. Dia memang sibuk juga perkara bahasa, bahkan kalau sekarang ini, uraiannya tentang bahasa kadang ngeri sekali. Malah bahkan terbaca cukup ‘asyik’ sekali; sepersis dia itu bergelar ‘Profesor’ linguistic, dan upyek perihal bahasa.

Dan ketika dia memasuki ‘keilmuan’ tentang ‘linguistik’ yang kental dan sarat ‘keilmuan’—amatilah Facebook-facebook terakhirnya, banyak sekali berhubungan dengan bahasa. Dan ketika orang awam membaca: pasti seakan-akan teorinya rumit sekali. Untuk memahami itu, harus orang yang terbiasa berpikir dalam perihal bahasa. Memang kesannya sederhana dan biasa, tapi dari ‘sederhana’ dan biasa itulah, orang-orang besar itu mengkajinya. Para filsuf, atau deretan para filsuf eropa, pun membahas tentang sesuatu yang terkesan sederhana dan biasa: tentang waktu, tentang ada, tentang alam, tentang nilai, tentang bahasa, tentang-tentang yang lain. Dan dia berhipotesis, “Inilah mengapa ‘sastra’ di kaji di eropa. ‘sastra’ menjadi bahan kajian.”

Walau pun disisi lain, dia pun mengatakan, bahwa puisi indah itu bukan Koran ukurannya. Sebab mind-set utama, atau kesan-kesan peniliannya pada umumnya adalah koran terkesan menjadi ukuran. Saya setuju. Dan kembali tentang ‘kenangan’ saya dan berhubungan dengan puisi adalah nafas.

Entah mengapa jawaban dari Ahmad Yulden Erwin itu begitu mengena buatku. Sampai sekarang. Ketika puisi itu menjadi nafas yang sesungguhnya secara fakta; dan modal dari puisi adalah kata. dan upaya kata adalah mewujudkan secara fakta, hingga kemudian, kata itu kurang penting. Jadilah puisi itulah nafas yang sesungguhnya.

Bukan lagi puisi menjadi teks, namun puisi adalah tubuh dan seluruh pergerakan tubuh. Rangkaian kata yang keluar adalah puisi. Ujaran bisa jadi adalah puisi. Ahaha ah mbuhlah.

Itulah ‘pengalamanku’ bertemenan dengan Ahmad Yulden Erwin. Dahulu kala, ketika saya di Semarang, dan teman-teman facebook saya adalah para seniman nasional. Dari teman-teman yang para seniman nasional itu, saya putuskan, dulu, untuk memblokir facebook. Sebab kefaktaan saya pun waktu itu tidak mendukung, terlebih lagi, kefaktaan berpikir saya yang tidak menentu.

Saya butuh dunia baru. Dunia fakta dan bekas-bekas pemikiranku yang seperti dulu.

Secara kefaktaan saya, dilalahnya saya digiring untuk kuliah lagi di Lampung. Perlahan-lahan, saya berkenalan lagi (di Dunia Maya, di facebook) dengan Ahmad Yulden Erwin.

Dan saya mengerti rumahnya, saya mengerti tata letak rumahnya. Dan saya pernah berjumpa dan dialog denganya, sekali, ya sekali, walau sebenarnya tidak-jauh-jauh amat, tapi saya pernah berjumpa dengannya, sekali.

Waktu itu, saya perjalanan pulang dan dia hendak pergi. Menunggu kendaraan. Dilalahnya saya mengetahui itu. Saya terkesan ‘lucu’ dengan pemandangan ini: seorang sastrawan nasional yang jumlah pertemanannya banyak, masak tidak ada yang tahu tentangnya, atau bahkan berhenti untuk menemaninya. Dia itu sastrawan nasional dan temannya banyak.

Saya berhenti dan saya mengetahui dirinya. Dirinya, tentu saja, kurang mengetahui tentangku. Siapalah aku ini? saya bukanlah sastrawan (Sekali pun saya suka sastra dan menulis juga) nasional.

“Saya membonceng sastrawan nasional. Asyik!” batinku yang lain. tapi lidahku dengan polos bercerita, waktu itu, saya masih menyukai eksistensialis dengan tokoh Soren Kiekegaard. Dia tentu mengetahui, saya katakana perihal kesukaan itu saja. kayaknya tidak membicarakan lebih, saya tahu siapa yang saya ajak bicara ini. Sayangnya, pertemuan kami itu ringkas sekali. Pendek sekali. Jadi, tanpa banyak kata: kecuali perkenalan tentang Soren Kiekegaard.

Pada kesempatan yang lain (ini kali kedua), saya melihat tentangnya, di Taman Budaya Lampung (atau entahlah namanya apa? Saya kurang perduli terhadap hal itu), waktu itu ada tamu juga Joko Pinorbo. Beliau, bercerita tentang keperpuisian dan menulis puisi. Saya menunggu beliau bercerita: puisi adalah nafas dan tentu uraiannya bakal kemana-mana, bahkan sejarah kehidupan itu sendiri. Kayaknya saya tidak mendengarkan itu. dan beliau membacakan puisinya: Hal atau Perihal. Saya gembira saja mengawasinya.

Dan terakhir kali, saya mengetahuinya (Sekedar mengawasi/atau menjadi penonton/atau turut gembira), dia semakin eksis dengan keperpuisiannya. Mulai berkeliling dan membicarakan tentang keperpuisian dan bahkan melatih tentang keperpuisian. Dan kepertemaan utama dari puisinya, menurutku, masih seperti Ahmad Yulden Erwin yang saya ketahui: Meditasi dan Nafas Puisi!

Dan saya menulis ini, upaya mengenang sekaligus upaya ‘pemahaman’ tentang fakta-fakta yang sesungguhnya; penghampiran diri, keterpengaruhan dan ketersalingan.

Salam.

Belum ada Komentar untuk "Meditasi dan Nafas Puisi: Ahmad Yulden Erwin "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel