Tentang Para Penyampai Agama
Kamis, 11 Oktober 2018
Tambah Komentar
Tentang Para Penyampai Agama - “Pak, bagaimana tanggapanmu terhadap para penyampai agama era sekarang? Era media? Saya masih terpikirkan begini:
Mengapa mereka dengan mudah menyampaikan tentang agama? Apakah mereka tidak takut salah dengan apa yang disampaikan? Apakah mereka benar-benar paham dengan apa yang disampaikan? Mengapa mereka begitu berani menyampaikan perihal keagamaan padahal secara fakta, mereka masih labil terhadap kondisi dirinya tatkala ditempa masalah tentang dunia?
Pokok masalahnya, diatas, apa tanggapanmu terhadap hal itu? Sering yang terjadi: mereka memungut satu hadist lalu disebarkan. Memasang ayat alquran lalu disebarkan. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka menafsirkan hadist, padahal pengetahuan mereka, dangkal. Pelaksaan hadistnya, tidak karuan. Selain itu, mereka juga menafsir al-qur’an, padahal membacanya saja, belepotan. Mereka manafsirkan al-quran dengan akalnya: al-quran diakal-akali, dicocok-cocokkan. Terakhir, saya mau tahu apa pendapatmu tentang hal itu?
**
Alah, Fik, kamu selalu terbawa perasaan terhadap agama. Santai saja dengan apa yang terjadi. Itu telah masanya. Kita tidak bisa menghentikan aktifitas mereka. Kita tidak bisa menghelak bahwa mereka ingin menyampaikan. tatkala kamu memperdebatkan mereka, artinya menanyakan mereka dengan pertanyaan-pertanyaanmu diatas, maka jadilah, kamu seperti mereka juga, karena kamu tidak tepat kepada siapa kamu tanyakan. Lha pikiran mereka, tujuannya menyampaikan.
Ingatlah hermeunetik, fik. Tentang teks. Tentang makna-makna teks. Tentang Semiotik, ilmu tanda-tanda, ingatlah itu. yang lebih penting, ingatlah tujuan mereka menyampaikan:
Satu, mereka ingin menyampaikan karena mereka ingin menyampaikan.
Dua, mereka ingin menyampaikan karena ingin mengingatkan.
Tiga, mereka menyampaikan supaya pengetahuan-islamnya bertambah
Empat, mereka menyampaikan karean terbawa arus penyampaian
Kelima, mereka menyampaikan untuk memotivasi dirinya
Keenam, mereka menyampaikan untuk lebih mengingat kepada Allah
Ketujuh, mereka menyampaikan untuk tanggapan realitas
Kedelapan, mereka menyampaikan karena ingin eksis
Kesembilan, mereka menyampaikan karena ingin dianggap soleh,
Tanggapan saya, ya. Santai-santai saja. Memang sudah masanya. Apa-pun ada baik dan buruknya. Ya kan? Coba sekarang, apa yang terjadi kepada orang-orang umumnya tatkala mendapatkan dari mereka. Pendek kata, mereka teringatkan tentang keagamaan. Bukankah itu bagus?
Itu telah menggejala, dari tubuh orang-orang muslim. Kita tidak bisa menyangkalnya.
Soal kapasitas keilmuannya, kenapa harus dipeributkan? Kenapa harus diresahkan? Kamu ingat perkataanku: “Paham belum tentu paham.” Terlebih lagi, mari kenang sejarah islam pada masa Kanjeng Nabi:
Apakah orang-orang yang hapalnya al-quran sedikit tidak boleh membaca al-quran? Hapal qurannya sedikit sekali, apakah tidak boleh membaca al-quran?
Pahamilah, mengapa al-quran diturunkan secara bertahap, bukan waktu yang sebentar dan sekaligus! Dengan memahami kejadian itu, maka kamu akan teringat tentang kejadian masa kini: bukankah masa kini juga begitu? Orang-orang menyuplik ayat demi ayat. Mereka mengingat-ingatkan ayat demi ayat. Kalau kamu jeli, ambillah ayatnya saja, jangan tafsirnya, lalu dari ayat itu kamu bisa menghapalkan al-quran. Hehe menghapal sambil menerapkan. Tentu, tetaplah mengaji hadist, kenalilah mengaji hadist itu tujuannya untuk memperindah akhlak kita.
Jangan resah dengan penyampai agama. Kamu juga silahkan, kalau mau. Jangan galau terhadap hal itu. Biarkan mereka menyampaikan. Ambil baiknya, tinggalkan buruknya. Kalau kamu merasa tidak-layak untuk menyampaikan agama, karena ilmumu kurang, maka kamu harus belajar super-ektra supaya kamu layak.
Pertanyaannya, siapa yang menyatakan kelayakan tersebut? Adakah hakim tentang kelayakan orang menyampaikan agamanya? Kiai besar sekali pun tidak bisa menghelak orang-orang untuk menyampaikan agama, lha wong tujuannya Kiai mengajar adalah untuk menyampaikan agama.
Kalau kamu mau menyampaikan. Sampaikanlah! Anggap saja, kamu anak kecil pada masa Kanjeng Nabi, atau menjadi pedagang pada masa Kanjeng Nabi. Sambil berdagang, jangan lupa shalat, jika ada orang yang bertanya, kenapa kamu shalat? Jawabnya, saya menghambakan diri kepada pengusa semesta raya ini.
“Siapa itu?” balasnya.
“Allah!”
“Siapa dia?”
Jawabmu, “Ya tadi, dia itu yang mengusai semesta.”
Bagaimana fik? Apakah kamu tertarik menyampaikan? Namun, menurut saya, kamu telah menyampaikan. Sudah menyampaikan agama. Apa buktinya saya berkata seperti itu: kamu mengerjakan shalat, kamu azan, kamu berbicara tentang agama, dan kamu belajar di ruang yang berlandaskan keagamaan. Jadi, tenang saja. Oke.
Mengapa mereka dengan mudah menyampaikan tentang agama? Apakah mereka tidak takut salah dengan apa yang disampaikan? Apakah mereka benar-benar paham dengan apa yang disampaikan? Mengapa mereka begitu berani menyampaikan perihal keagamaan padahal secara fakta, mereka masih labil terhadap kondisi dirinya tatkala ditempa masalah tentang dunia?
Pokok masalahnya, diatas, apa tanggapanmu terhadap hal itu? Sering yang terjadi: mereka memungut satu hadist lalu disebarkan. Memasang ayat alquran lalu disebarkan. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka menafsirkan hadist, padahal pengetahuan mereka, dangkal. Pelaksaan hadistnya, tidak karuan. Selain itu, mereka juga menafsir al-qur’an, padahal membacanya saja, belepotan. Mereka manafsirkan al-quran dengan akalnya: al-quran diakal-akali, dicocok-cocokkan. Terakhir, saya mau tahu apa pendapatmu tentang hal itu?
**
Alah, Fik, kamu selalu terbawa perasaan terhadap agama. Santai saja dengan apa yang terjadi. Itu telah masanya. Kita tidak bisa menghentikan aktifitas mereka. Kita tidak bisa menghelak bahwa mereka ingin menyampaikan. tatkala kamu memperdebatkan mereka, artinya menanyakan mereka dengan pertanyaan-pertanyaanmu diatas, maka jadilah, kamu seperti mereka juga, karena kamu tidak tepat kepada siapa kamu tanyakan. Lha pikiran mereka, tujuannya menyampaikan.
Ingatlah hermeunetik, fik. Tentang teks. Tentang makna-makna teks. Tentang Semiotik, ilmu tanda-tanda, ingatlah itu. yang lebih penting, ingatlah tujuan mereka menyampaikan:
Satu, mereka ingin menyampaikan karena mereka ingin menyampaikan.
Dua, mereka ingin menyampaikan karena ingin mengingatkan.
Tiga, mereka menyampaikan supaya pengetahuan-islamnya bertambah
Empat, mereka menyampaikan karean terbawa arus penyampaian
Kelima, mereka menyampaikan untuk memotivasi dirinya
Keenam, mereka menyampaikan untuk lebih mengingat kepada Allah
Ketujuh, mereka menyampaikan untuk tanggapan realitas
Kedelapan, mereka menyampaikan karena ingin eksis
Kesembilan, mereka menyampaikan karena ingin dianggap soleh,
Tanggapan saya, ya. Santai-santai saja. Memang sudah masanya. Apa-pun ada baik dan buruknya. Ya kan? Coba sekarang, apa yang terjadi kepada orang-orang umumnya tatkala mendapatkan dari mereka. Pendek kata, mereka teringatkan tentang keagamaan. Bukankah itu bagus?
Itu telah menggejala, dari tubuh orang-orang muslim. Kita tidak bisa menyangkalnya.
Soal kapasitas keilmuannya, kenapa harus dipeributkan? Kenapa harus diresahkan? Kamu ingat perkataanku: “Paham belum tentu paham.” Terlebih lagi, mari kenang sejarah islam pada masa Kanjeng Nabi:
Apakah orang-orang yang hapalnya al-quran sedikit tidak boleh membaca al-quran? Hapal qurannya sedikit sekali, apakah tidak boleh membaca al-quran?
Pahamilah, mengapa al-quran diturunkan secara bertahap, bukan waktu yang sebentar dan sekaligus! Dengan memahami kejadian itu, maka kamu akan teringat tentang kejadian masa kini: bukankah masa kini juga begitu? Orang-orang menyuplik ayat demi ayat. Mereka mengingat-ingatkan ayat demi ayat. Kalau kamu jeli, ambillah ayatnya saja, jangan tafsirnya, lalu dari ayat itu kamu bisa menghapalkan al-quran. Hehe menghapal sambil menerapkan. Tentu, tetaplah mengaji hadist, kenalilah mengaji hadist itu tujuannya untuk memperindah akhlak kita.
Jangan resah dengan penyampai agama. Kamu juga silahkan, kalau mau. Jangan galau terhadap hal itu. Biarkan mereka menyampaikan. Ambil baiknya, tinggalkan buruknya. Kalau kamu merasa tidak-layak untuk menyampaikan agama, karena ilmumu kurang, maka kamu harus belajar super-ektra supaya kamu layak.
Pertanyaannya, siapa yang menyatakan kelayakan tersebut? Adakah hakim tentang kelayakan orang menyampaikan agamanya? Kiai besar sekali pun tidak bisa menghelak orang-orang untuk menyampaikan agama, lha wong tujuannya Kiai mengajar adalah untuk menyampaikan agama.
Kalau kamu mau menyampaikan. Sampaikanlah! Anggap saja, kamu anak kecil pada masa Kanjeng Nabi, atau menjadi pedagang pada masa Kanjeng Nabi. Sambil berdagang, jangan lupa shalat, jika ada orang yang bertanya, kenapa kamu shalat? Jawabnya, saya menghambakan diri kepada pengusa semesta raya ini.
“Siapa itu?” balasnya.
“Allah!”
“Siapa dia?”
Jawabmu, “Ya tadi, dia itu yang mengusai semesta.”
Bagaimana fik? Apakah kamu tertarik menyampaikan? Namun, menurut saya, kamu telah menyampaikan. Sudah menyampaikan agama. Apa buktinya saya berkata seperti itu: kamu mengerjakan shalat, kamu azan, kamu berbicara tentang agama, dan kamu belajar di ruang yang berlandaskan keagamaan. Jadi, tenang saja. Oke.
Belum ada Komentar untuk "Tentang Para Penyampai Agama"
Posting Komentar