Mempertanyakan ulang Tentang Pengetahuan: UNTUK APA TAHU?






Kita telah melakukan proses sekolah-dasar, telah melakukan proses sekolah lanjutan tingkat pertama, dan melakukan proses sekolah menengah atas. Dan kita telah menjalankan proses waktu tersebut bertahun-tahun; lantas jika ditanyakan, apa bedanya orang yang sekolah dengan tidak untuk zaman seperti sekarang ini, jika tekanannya adalah pekerjaan? Yakni menjadi manusia ‘pekerja’ dan ‘pekerja’; yang terkadang masuk demi masuk kepada suatu perusahan dan menjalankan test-test untuk bekerja sebagai buruh di perusahaan.

Seiring dengan pergeseran tujuan sekolah untuk pekerjaan, tentu, disinilah letak salahnya. Tujuan sekolah teruntuk pekerjaan, bukan teruntuk ‘berpengetahuan’ yang itu adalah menjadi orang yang tahu, yang selanjutnya, tentu akan lebih mudah menjalani hidup; sebab hidup dalam pengetahuan. Bahasa islamnya, orang yang berma’rifat, orang yang berpengetahuan; berpengetahuan adalah yang luas wawasannya terhadap objek-objek yang nyata dan terang. Sebab tawaran pengetahuan yang telah berlalu, sejak kecil adalah tentang sesuatu yang realitas, sesuatu yang benar-benar real.

Memangnya, pelajaran apa yang tidak menyangkut hal-hal realitas? Pelajaran apa yang menjauhkan dari sesuatu yang nyata?

Tentu, secara otomatis orang-orang tatkala berpengetahuan, mempunyai pekerjaan, yakni demi membutuhi eksistensinya sebagai manusia (sandang pangan dan papan) dan pengetahuan ditunjukan untuk esensinya sebagai manusia (yakni makhluk yang berpikir). Namun, orientasi zaman sekarang, lebih terserang kepada kebutuhan yang lain dari diri manusia yakni butuh-hiburan, dan orang-orang sering mengepentingkan hal tersebut dan lalai dengan kebutuhan pokok manusia. hingga kemudian, pengetahuan di rasa adalah tentang proses waktu untuk mendapatkan sesuatu demi memuasi hasrat kebutuhan yang keempat, yakni kebutuhan-hiburan.

Sejenak saya uraikan tentang kebutuhan-hiburan:

Yakni pelampauan terhadap kebutuhan-pokok, sehingga dibutuhkan kebutuhan tambahan, yakni kebutuhan-hiburan. Zaman dulu, hiburan di tempatkan sebagai kebutuhan diwaktu orang-orang mampu mencukupi kebutuhan-pokok, tapi sekarang, orang-orang yang belum cukup untuk membutuhi kebutuhan-pokok telah berbaur dengan sesuatu yang berkaitan dengan hiburan. Dan apa itu wujud dari kebutuhan-hiburan? Yakni, permainan dan sesuatu yang bersifaat candaan.

Dan zaman sekarang, kedua hal tersebut, menjadi sesuatu yang berbentuk keseriusan; hal itu bisa kita lihat dengan maniaknya ‘permainan’ menjadi keseriusan, yang bahkan menjadi sesuatu tentang kepokokaan, dan candaan menjadi sesuatu yang serius dan itu pun menjadi sesuatu yang pokok. Dan begitulah zaman sekarang; sesautu yang sebenarnya adalah permainan, namun menjadi serius; sesuatu yang sebenarnya candaan menjadi keseriusan dan itu tetap menjadi candaan; hingga kemudian, sesuatu yang serius terkesan biasa dan menjadi sesuatu yang akrab dan bahkan menjadi kebiasaan yang sangat-sangat biasa; dan terangnya hal tersebut adalah seperi halnya ‘pengetahuan’ dan juga proses kehidupan. Dan perubahan itu, mampunya diterapkan lewat ‘pengetahuan’, lewat ‘pendidikan’, lewat lembaga pendidikan.

Sekarang, untuk apa pengetahuan di lembaga pendidikan formal itu diadakan?

Agaknya pertanyaan itu, terkesan pertanyaan bodoh, yang bisa dijawab dengan gampang dengan mengatakan:

Pengetahuan yang ada di lembaga pendidikan tentu supaya orang-orang mengetahui, dan tatkala mengetahui maka kehidupannya menjadi mapan dan menjadi sejahtera. Maka kehidupannya menjadi damai dan menjadi lebih baik. Itulah tujuan pokok dari pengetahuan. Selain itu, tentu, pengetahuan itu menjadikan pandai, atau membuang kebodohan. Dan bahkan orang-orang juga tahu, bahwa pertanyaanmu itu adalah pertanyaan laksana orang yang bodoh dan bahkan orang yang tidak berpengetahuan.

Jawabku, ketahuilah, bahwa saya kuliah filsafat, dan di sana adalah mata-pelajaran epistemology, yang itu membahas tentang pengetahuan; tentang sumber-sumber pengetahuan juga tentangi ontology (ilmu tentang keberadaan) dan aksiology (ilmu tentang nilai); yang dari itu kemudian mempertanyakan hal-hal yang dasar, seperti:

untuk apa pengetahuan? Darimana datangnya pengetahuan? Untuk apa keberadaan? Apa itu ada? Mengapa harus teradakan? Mengapa harus diadakan?

Selain itu, tentu kita harus melihat, efek-efek yang terjadi tentang kenyataan yang sebenarnya, tentnag bagaimana orang-orang geger mencari peluang kerja, geger dan berusaha untuk memupuk harta sebanyak-banyaknya, dan menjadi ajang pamer-pameran terhadap ‘kepemilikannya’: bukankah mereka percaya bahwa kepemilikan sesungguhnya adalah milik Tuhan yang maha esa, sebab kita berideologi tentang pancasila. Ataukah kita lalai bahwa kita beriman kepada Tuhan yang maha esa, yang tentunya, bahasa lainnya, Tuhan itu adalah pemilik segala hal-hal yang ada dan kita percaya kepada Tuhan.

Akan tetapi, efek yang terjadi, orang-orang yang berpengetahuan, atau orang-orang yang sibuk dalam ranah-ranah pengetahuan ‘agaknya’ terlalaikan dengan hal tersebut, dan seakan-akan pendidikan diorientasikan kepada nilai-kerja atau nilai-materi; dan terlalalai bahwa tujuan ‘pengetahuan’ adalah supaya tahu; tatkala tahu tentu dia akan paham dengan kehidupan, bahwa hidup memang harus mencukupi ‘kehidupan-individu’ dan tidak mampu melepaskan dari sisi bahwa manusia itu juga mahluk yang sosial.

Sayangnya, hanya sedikit manusia-manusia yang ‘mengetahui’ hal tersebut. Hanya sedikit (menjadi sebagian) yang ‘memahami’ tentang hal tersebut; atau pun jika mereka mengetahui, mereka seakan bersibuk kepada ‘dirinya’ sebagai ‘personal’ dibanding ‘mengangkat’ manusia pada umumnya.

Jika pun hal itu menjadi keumumam, tentu ‘berefek’ pada hal keumuman, sebab kita melihat dan menyaksikan betapa ‘lembaga-pendidikan’ begitu marak dan hampir-hampir jarang yang tidak mengenyam pendidikan. ‘Lembaga Pengetahuan’ begitu menjamur, tapi sayang, efeknya tidak begitu nyata dalam kehidupan; sebab terlalu nikmat dalam ‘hal-hal’ pengetahuan, sehingga keilmuannya mengambang kepada sesuatu yang saya sebut pada ‘tataran epistemology’

Pengetahuan tidak sampai pada sebuah nilai-ilmu = nilai-guna pengetahuan.

Hal itu pun terjadi kepada saya, sebagai personal; sehingga efeknya, saya sering dipertanyakan oleh realitas saya, yakni kerabat-kerabat saya, yang itu berbackrgone, dulu sedikit waktu untuk sekolah, paling banter sekolah kelas 4, dan itu pun sekolah belum formal, dan yang bertanya tentu orang tua saya bersama dengan kerabat-kerabatnya. Yang titik fokus pertanyaan atau penyataannya, laksana sesuatu yang filosofis:

Kalau begitu, apa bedanya orang yang sekolah dan tidak-sekolah?

Tingkah lakumu laksana orang yang tidak berpengetahuan, tidakkah pernah diajarkan sopan-santun?

Padahal, kenyataannya, saya pun mempertanyakan tentang ‘pengetahuan’ saya, yakni, kemana pengetahuan-pengetahuan yang selama ini saya dapatkan? Mengapa saya tidak-sejak dulu mengikatkan pengetahuanku? Mengapa saya tidak menyadari dengan sungguh bahwa tujuan dari menulis itu adalah mengikatkan pengetahuan? Apakah terlalu banyak pelajaran sehingga terlalu payah untuk diterapkan? Apakah terlalu banyak tekanan ‘mata-pelajaran’ sehingga menjadi mentah? Apakah salah gurunya sehingga saya menjadi seperti sekarang ini? Apakah salah orang-tua yang tidak ‘menguji’ pelajaran saya yang didapatkan? Apakah salah sistem-pemerintahkan memberikan kurikulum? Ataukah, salah gurunya yang tatkala mengajarkan adalah mereka tidak benar-benar perhatian dengan muridnya? Atau salah orang tuaku yang tidak mendukungku dalam arti ‘menguji’ pengetahuanku? Atua salah pemerintahan yang kurang baik mengontrol rakyatnya? Atau salah siapa? Dan siapakah yang layak dan mau dipersalahkan dalam hal ini?

Dan pada akhirnya, saya mengabaikan hal tersebut, dan lebih cenderung ‘melatih’ kelalaian atau ketidak-ikatkan-pengetahuan saya, dengan cara menggelontarkan kepada keumuman dengan harapan; kita bersama-sama untuk mengetahui, maka bersamaan dengan hal tersebut, kita bersama-sama ‘paham’ dengan sungguh arti: pengetahuan.

Belum ada Komentar untuk "Mempertanyakan ulang Tentang Pengetahuan: UNTUK APA TAHU?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel