Mendekontruksi Gelar Kanjeng Nabi Muhammad: “Percaya”





Kita telah mengetahui bahwa Muhammad bin Abdullah mendapatkan gelar ‘al-amin’, yakni orang yang dapat di percaya. Kita telah mengetahui dengan pasti yang dimaksud dapat dipercaya adalah tentang dirinya yang memang selaras pernyataan dan perkataan pada pola-pola masyarakat sekitarnya. Mengikuti ‘aturan-aturan’ yang ada disekitarnya; sehingga dirinya dapat di percaya.

Bukannya sesuatu teks ‘dipercaya’ waktu itu adalah tentang realitas-yang-sebenarnya? Dikatakan, realitas-yang-sebenarnya adalah tentang keadaan yang sebenarnya di daerah kakbah waktu itu, Yakni orang-orang yang hebat dalam kata-katanya, hebat dalam persyairan, hebat dalam diplomasi.

Dijelaskan, mengapa hebat dalam kata-katanya? Sebab di sekitar kakbah adalah tempat ‘bertemunya’ umat-umat nabi ibarahim, yang mengadakan ibadah di mekah, dari daerah-daerah jazirah arab; maka disitu orang-orang disekitar kakbah laksana menjadi tamu buat orang-orang yang mendatanginya; dan tatkala menjadi tuan rumah, maka harus memperkuat tali kekeluargaannya, tujuannya demi mempertahankan ‘tamu’ tamu yang ada; sebab tamu-tamu datangnya tidak sendiri-sendiri, melainkan berkelompok-kelompok untuk menunaikan haji; sebab mereka datang, maka penduduk pribumi harus pandai berkata-kata. Tujuannya berkata-kata; tentu merayu untuk mendapatkan sesuatu, yakni mendapatakan tentang ‘ekonominya’.

Bersamaan dengan hebat kata-kata, maka disitulah muncul gaya-gaya bahasa, yang kemudian di sebut dengan syair-syair, atau kata-kata yang indah-indah. Kata-kata indah adalah kata-kata yang tersusun bersajak, entah itu berakhiran a a a a atau ab ab atau a a bb: dan tatkala menyusun itu, maka orang harus bermain imajenasi sekaligus merangkai kata-kata; maka disini orang-orang akan mengetahui mana yang berdusta dan mana yang bermain fantasi.

Dalam kondisi bahasa seperti itulah Kanjeng Nabi Muhammad menjalani kehidupan hari-hariannya. Yang tentu mempengaruhi dirinya untuk berkata-kata; lantas, bagaimana dengan sesuaut yang dipercaya atau sampai-sampai beliau disebut orang yang dipercaya?

Tentu, beliau sangat hati-hati berkata-kata, sangat hati-hati mengeluarkan kata-kata. sangat hati-hati untuk mengungkapkan sesuatu. Sehingga putusan yang keluar dari dalam dirinya dari bibirnya adalah tentang sesuatu yang sangat dijaga—hal ini yang memperkuat mengapa beliau sangat ditunjuk menjadi orang yang terpercaya.

Dia hemat berkata-kata, dan lebih memilih kata-kata apa yang keluar dari dalam dirinya.

Dia hemat menyimpulkan, dan lebih memilih membicarakan sesuatu yang telah dibenarkan oleh realitas.

Dia menjaga ‘tradisi’ yang ada, dan lebih mengatakan apa yang telah dibenarkan olehnya.

Dan dia juga, menjaga apa-apa yang dia katakan: membuktikan apa-apa yang telah diucapkan pada dirinya: sehingga lamat-lamat, kalau terus menerus dijalankan maka akan menjadi ‘label’ buat dirinya, yakni orang yang dipercaya.

Kemudian, karena mendapatkan pengakuan tentang ‘kepercayaan’, maka dia menjaga apa-apa yang telah diberikan untuknya, dan terus menerus dilatihnya, terus menerus di asah, sehingga ketika ‘wahyu’ datang kepadanya, maka dia tetap menjadi ‘keakuannya’ yakni tentang label ‘kepercayaan’ dirinya; mempercayai apa yang diucapkannya. Sekali pun orang-orang tidak percaya, tetap saja dia mempertahankan apa-apa yang diucapkan, karena label itu ‘telah’ melekat dalam dirinya.

Masalah kita: sering kali kita ‘terjebak’ untuk mengagungkan Kanjeng Nabi secara berlebihan, maksudnya mengagumi tapi jarang meniru, sekali pun kadang kita tahu bahwasanya kita harus meniru, namun seringkali salah ‘paham’ terhadap peniruan mana yang seharunya ditiru.

Kita seringkali ‘terjebak’ untuk menunaikan sesuatu ‘ajarannya’ namun lalai tentang esensi dari ‘ajaran’ tersebut; lalai bagaimana ‘kesifatan’ kanjeng nabi? Lalai bagaimana sifat-sifat dasar kanjeng nabi?

Kita seringkali ‘mengagungan’ sesuatu yang itu adalah penampakan-penampakan (eksistensi) yang disebut dengan keagamaan, namun lalai bahwa klaim ‘agama’ didasari dengan esensi yang kokoh; landasan yang kokoh, yakni pada sisi ‘keakuan’ dan menjaga ‘keakuan’. Sekali pun zamannya semakin berkembang, tetap saja, watak-watak manusia begitu; dan tawaran agama-islam adalah menjadikan manusia selayaknya manusia.

Apakah menurutmu tawaran islam adalah bukan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia? Ingatlah, keberadaan syariat adalah sebagai bukti kecintaanmu kepada sesuatu yang disebut keimanan. Keberadaan keislaman itu adalah sebagai wujud dari keimanan. Tawaran islam itu bukan tentang untuk ‘ketuhanan’ namun dispesialkan untuk ‘kemanusiaan’: bahasa lainnya, tuhan tidak harus dibela, tapi belalah kemanusiaan, belalah kemanusiaanmu, dengan cara saling-menyalinglah memanusiakan manusia sebagai manusia: bukankah itu tawaran islam? menjadikan prinsip yang sama, yakni beriman kepada Allah, yang menguasai semesta raya, dan kita adalah bagiannya. Kamu adalah bagian dari semesta. Kamu adalah tertitik pada Negara. Tertitik lagi, pada kabupaten, tertitik lagi pada kecamatan, lalu desa, lalu tertitik pada Rukun Tetangga, tertitik kepada dirimu:

Untuk itu, tetaplah engkau meniru kanjeng nabi sabagaimana watak alami sisi kemanusiaannya, yakni, tentang kepercayannya; yakni tentang ucapan yang keluar dari dalam dirimu: bahkan status becandaan, status guyonan, status abal-abal, itu sangat-sangat mempengaruhi tentang sesuatu yang disebut percaya.

Sekarang, bagaimana aku bisa mempercayaimu, Fik? Kalau engkau menawarkan sesuatu yang itu tidak selaras dengan apa yang engkau ucapkan!

Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Fik? Jika engkau tidak berdaya diri untuk jujur kepada dirimu sendirimu!

Maka dari itu, latihlah secara realitasmu tentang kejujuranmu. Latihlah. Jika engkau ingin dipercaya orang, maka engkau harus ‘menjaga’ apa-apa yang engkau ucapakan. Jika engkau ingin dipercaya: mengapa engkau ingin dipercaya? Sungguh ‘rasa’ percaya itu adalah hal yang manusiawi untuk mempermudahkan keduniaanmu, Fik.

Dan ingatlah, godaan tentang kepercayaan itu menugrub cepat dalam ‘hidupmu’; yakni tentang anak-anakmu, teman bermainmu, dan lain-lain; bukan berarti aku menyuruhmu untuk diam, tidak! Aku menyuruhmu menjalankan peran sebagaimana dirimu; yang pasti jangan ‘berdusta’, dan engkau mengetahui cara bagaimana tidak berdusta, sungguh engkau adalah orang yang ‘hebat’ dalam berkata-kata: engkau mampu menghindari sesuatu untuk diklaim sebagia dusta.

Jika engkau ‘menyamarkan’ tentang kalimatmu, maka ‘klaimmu’ tentu bukan sepenuhnya menjadi orang yang dipercaya, namun klaimmu tentu adalah sesuatu yang ‘samar’.

Jika engkau ‘bermain keras’ dalam kata-kata, maka tentu, klaimmu adalah tentang kata-kata.

Namun ingatlah, realitas adalah sebagaimana realitas yang terjadi; hidupmu adalah realitas yang sesungguhnya. Dan engkau mengetahui, di zaman seperti sekarang ini, makna realitas yang sesungguhnya itu bagaimana? maka tetaplah, kanjeng nabi Muhammad itu sebagai pacuan utama; dan yang paling diutamakan adalah tentang ‘penjagaan’ dirinya terhadap kata-kata. Dan aku tidak mengajarmu untuk begitu fanatic terhadap focus utama kanjeng Nabi Muhammad, ingatlah proses ilmu yang engkau dapatkan; maka tetaplah engkau sandarkan kepada gurumu. Jangan lalaikan tentang guru-gurumu, dan awas: engkau boleh saja bercermin kepada gurumu, namun cermin sempurna adalah kanjeng nabi Muhammad.

Ketahuilah, sesungguhnya gurumu pun mencermin kepada kanjeng nabi Muhammad, karena ternyata ‘keadaan’ atau ‘telah’ ditakdirkan manusia itu adalah pribadi yang unik, maka gurumu tidak bisa mirip ‘plek’ dengan kanjeng nabi Muhammad. Namun untuk dirimu, tetaplah tancapkan kuat-kuat, sifat-sifat dasar kanjeng nabi Muhammad: aku yakin engkau mengetahui, sangat-sangat memahami, hanya saja, ya hanya saja: sejauh ini engkau menolak apa yang engkau ketahui, engkau menyangkal apa yang engkau pahami. Maka janganlah males untuk menjalankan apa yang engkau ketahui dan apa yang engkau pahami.

Rabbi zidni ilma warzuqni fahma. Amin.

Belum ada Komentar untuk " Mendekontruksi Gelar Kanjeng Nabi Muhammad: “Percaya” "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel