Tentang Keadaaan Pembicaraan dan Nasihat Berkata-kata





Taufik, menasihati itu gampang, sebab menasihati itu adalah menujuk-tunjukan ke arah atau pekerjaan sesuatu. Begitulah nasihat yang orang itu bersarat dengan nafsu; namun adalah payah kalau menasihati adalah mengerti kepada siapa yang dinasihati; apalagi pada saat yang luas, pada ruang-ruang umum, maka menasihati keumuman adalah sangat-sangat memperhatikan kepada siapa nasihat itu dilesatkan, dan bagimana keadaan-keadaan orang tersebut itu sedang terjadi. Wal-hasil, untuk menasihati, kita pun harus mengetahui lebih dalam tentang siapa yang akan kita nasihati.

Artinya lagi, engkau janganlah terburu-buru untuk memberi nasihat atau seakan-akan orang-orang meminta dinasihati; bukankah pada akhirnya engkau akan kecewa kalau nasihatmu diabaikan atau kata-katamu tidak direngges dan didengarkan.

Kata-katamu adalah sampiran yang menyebalkan.

Kata-katamu adalah keberadaan yang tidak dibutuhkan.

Kata-katamu adalah angin yang akan berlalu.

Namun, kalau orang tersebut benar-benar membutuhkan nasihatmu, maka secara otomatis, kata-katamu bukanlah sampiran melainkan kebutuhan.

Kata-katamu adalah keberadaan yang diharapkan.

Kata-katamu adalah tahanan angin yang tidak akan berlalu.

Dan untuk mendapati itu, maka engkau harus cerdas-cerdas untuk membaca sesuatu. Harus cerdas-cerdas melatih tentang menahannya kata-kata, tentang menahannya untuk menasihati: bahkan dalam kebaikan atau dalam kebenaran sekali pun.

Hemat kata, itu lebih baik daripada berkata-kata yang tidak bermanfaat.

Diam itu lebih baik dibading engkau berkata-kata yang menyakitkan.

Menjalankan tugas yang engkau mampu lebih baik dibanding mengatur yang itu bukan hakmu mengatur.

Dan sekarang, dimana pun engkau berada. Engkau harus mengerti ‘statusmu’; engkau harus mengerti tugasmu. Dan engkau harus membaca kemampuanmu, dayamu, dan kekuatanmu. Bukankah engkau termasuk golongan orang yang mengetahui keakuanmu? Maka terapkanlah keakuanmu:

Jangan jadikan kata-kata itu menjadi ancaman.

Jangan jadikan kata-kata itu adalah menyakitkan.

Jangan jadikan kata-katamu itu meresahkan.

Kalau bisa, ya, kalau bisa. Dan aku tidak memaksamu harus secepat kilat merubah dirimu, karena hidup adalah proses. Karena hidup adalah berkelanjutan. Karena hidup membutuhkan proses. Begitu juga dengan kata-kata, atau penyampaian kata-kata. maka benar-benar membutuhkan proses.

Lebih utamanya lagi, engkau harus melatih melalui dirimu, melalui aktifitas kedirianmu, aktifitas keseharianmu.

Dimana pun engkau berada. Cobalah, menghemat kata. Cobalah, sedikit bicara. Cobalah jangan memerintah. Cobalah, jangan menyuruh.

Tapi laksanakanlah, laksanakanlah apa-apa yang mampu engkau laksanakan; yang pasti, jangan anggurkan kedirianmu dengan sibuk-sibuk ‘merubah’ atau ‘mengubah’ orang lain; atau menawarkan pengetahuan demi pengetahuan kepada orang lain.

Apalagi menawarkan pengetahuan filsafatmu buat orang-orang desa. Sekarang, cukupilah menawarkan pengetahuamu buat orang-orang desa. Kalau mereka ingin tahu, barulah:

Hujan deraskan pengetahuan sejarahmu.

Hujan deraskan sistematika filsafat.

Hujan deraskan tentang ilmu-filsafat.

Jadilah penyampai yang baik, yang setiap kata-katamu bakal didengar terus menerus. Jadilah penyampai yang handal, yang setiap orang merasa ‘paham’ dengan apa yang engkau jelaskan. Begitulah. Jika tidak ada yang mengharapkan untuk mendengarkamu, belajarlah diam. Bukankah saat ini engkau telah disindir ‘ngetes’? Dan ditegur berulang-ulang tentang sopan! Baiknya, engkau jawab realitas itu dengan kalimat sederhana—aku percaya engkau mampu—dan engkau ingat, bahwa kalimat sederhana bukanlah sesederhana apa yang kamu pikirkan: bahwa kalimat sederhana adalah jurus handal orang-orang bijaksana. Demikianlah.

Belum ada Komentar untuk " Tentang Keadaaan Pembicaraan dan Nasihat Berkata-kata"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel