Apakah Engkau Tahu Apa yang Engkau Sampaikan? Di Zaman Seperti Ini, Untuk Apa Ke-tahu-an?






Sebenarnya saya hendak menyampaikan layaknya kajian-ilmiah, yakni pada satu titik masalah. Tapi zaman mengajakku harus menyertakan dua masalah dalam satu judul. Yakni tentang kepengetahuan. Antara si pemberi tahu dan orang yang dikenai pemberitahuan.

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa tujuan khutbah adalah menyampaikan, mengingatkan, memberi kabar gembira buat orang yang beriman, menakut-takuti orang-orang yang kafir, dan terfokus penyampaian tentang ketakwaan kepada Allah azza wajala—dan saya enggan disinggung tentang apa dan siapa, allah wajalla; sebab zaman sekarang pun banyak orang yang ‘mengetahui’ tentang keallahan, tapi melalaikan pengetahuannya. Bahkan menyangkalnya seakan-akan tidak tahu bahwa tiada tuhan selain allah---

Sebelum lebih lajut—atau memang ini kelanjutanya—kita juga penting mengingat sekali lagi, apa makna:

Menyampaikan

Memberi kabar gembira

Menakut-takuti

Mengingatkan

Yang objeknya adalah Allah azza wajala. Jangan-jangan kita tidak ‘paham’ apa yang dimaksud dengan menyampaikan. jangan-jangan kita sedekar ‘mengetahui’, tapi tidak memahami. Dan bagiku, paham itu berbeda dengan mengetahui.

Jika ada yang bertanya, sesungguhnya untuk paham tentang keallahan membutuhkan ‘pengetahuan’ yang kuat dan kokoh; sementara pengetahuan kami tentang ‘keislaman’ tidak begitu kuat dan kokoh?

Jawabku, sejauh pencarianku tentang keislaman, saya berpikir, bahwa pengetahuan islam tidak ribet-ribet seperti zaman sekarang ini: pengetahuan islam itu realistis dan praktis. Si penyampain islam itu realistis dan praktis. Bukankah sejauh kita ketahui—walau sesaaat atau acak-acakan--- bahwa pengetahuan islam menyangkup pada dua bagian: rukun iman dan rukun islam.

Dan kalau kita membicarakan sejarah, maka: tatkala kesempurnaan iman telah sempurna, maka diperlukan atau dibutuhkan ‘keislaman’ artinya, yang ditekankan untuk mengacu pada islam, adalah penekananya tentang keimanan. Bagaimana orang-orang mendapatkan keimanan? Bagimana orang-orang mengokohkan keimanan.

Sementara, keimanan itu adalah percaya.

Jika dikatakan, bagaimana caranya percaya?

Jawabku, bukankah percaya tinggal percaya; bukankah seringkas itu. dan jika kita mengembalikan kepada sejarah, maka yang ditekankan adalah subjek (atau personal) yang menyampaikan tentang keislaman, yakni kanjeng nabi Muhammad, yang terpupuk dengan sifat-sifat yang sederhana yang dimiliki manusia:

Jujur, amanah, tablig, fatonah.

Bukankah itu semua adalah hal-hal sederhana dalam kehidupan kita dan kita mampu menjalankan itu—namun, jika kita langsung memborong itu menjadi paketan, maka akan teramat berat, karena bagi penelitanku, yang terkuat dari sifat-sifat tersebut adalah tentang kejujurannya. Inilah yang paling utama dari sifat-sifat tersebut, yang tentu gandengan dari kejujuran adalah keamanahan.

Jujur, sejauh kita ketahui selalu ditempatkan pada kata-kata yang terucap. Pada kata-kata yang tersampaikan.

Selanjutnya ini berkaitan dengan pertanyaan dasar, apakah engkau mengetahui apa yang engkau sampaikan?

Artinya, benarkah engkau mengetahui apa yang engkau sampaikan? Jangan-jangan engkau berpikiran menyampaikan sekedar menyampaikan. berpikiran bahwa tujuan dari menyampaikan sekedar menyampaikan. Sekedar itu sepadan dengan menunaikan apa yang dibebankan; karena dirinya telah dibebani untuk menyampaikan, maka tuntutannya harus menyampaikan. dan tujuan saya menyampaikan ini supaya; sebelum menyampaikan kepada keumuman, harus mengetahui dulu apa yang disampaikan: tidak sekedar ambisi atau nafsu diri untuk menyampaikan.

Jika ambisi atau nafsu-diri untuk menyampaikan, maka tentu itu ambisi itu nafsu—dan saya pun enggan menguraikan tentang apa itu nafsu! Apa itu ambisi! Bukankah kita tidak asing dengan diksi tersebut? tentu kita ‘tahu’ dengan makna diksi tersebut—

Oleh karenanya, bersamaan dengan suratku ini: saya ingatkan, bahwa kita harus menyiapkan apa-apa yang akan disampaikan, terlebih lagi, kita adalah orang yang berpengetahuan—ulama, bahasa lainnya, orang yang tahu. Bukankah kita tahu hal-hal tersebut? bukankah kita orang-orang yang berpengetahuan-islam? Sungguh, andaikata kita bukan berpengetahuan islam, maka sungguh sangat tidak mungkin kita berada dalam keadaan orang yang ‘kadang’ didengarkan pembicaraannya. Karena kita berpengetahuan agma-islam.

Namun Untuk Apa Pengetahuan?

Untuk apa pengetahuan yang kita miliki, kalau kita sekedar ‘mengetahui’ tanpa menjalankan pengetahuan kita? Terlebih lagi, pengetahuan islam. Lantas islam seperti apa yang ‘harus’ dan ‘mestinya’ kita sampaikan sehingga menjadi pengetahuan-pengetahuan yang itu berbuah-pengetahuan. Yakni, menjadi perwujudan dari pengetahuan.

Untuk lebih memicu, saya sertakan pertanyaan-pertanyaan:

Untuk apa saya mengetahui ilmu-islam kalau sekedar tersimpan di dalam diri?

Untuk apa saya mengetahui apa yang disampaikan dan rela mendengarkan?

Untuk apa saya mengetahui? Oh sesungguhnya ‘pengetahuan’ itu untuk apa?

Dan sejenak, mari kita lihat ‘kenyataan’ kita:

Ilmu islam itu telah menang, telah merdeka, tapi sangking menangnnya, sangking merdekanya, orang-orang lalai bahwa agama islam itu tentang kenyataan untuk manusia. Kenyataan untuk individu-individu. Kenyataan yang harus dirasai tentang jalinan kehidupan. Kenyataan yang terang benderang tentang kenyataan.

Jika engkau bertanya, apa itu kenyataan yang engkau maksud?

Adalah sesuatu yang nyata buat ‘jangkauan’ individu, yakni perfokusan pada ‘subjek’ (focus pada manusia), sekali pun tawaran teknologi atau kesibukan technology telah ‘mengaburkan’ makna dari realitas, tetap saja, realitas adalah kenyataan yang benar-benar terjadi, yakni lingkungan dekat kita: begitulah realitas kita.

Sementara itu, realitas kita, telah banyak orang yang mengetahui tentang ‘keislaman’; telah banyak yang tahu tentang ‘ilmu’ islam, dan tugas kita menyampaikan apa-apa yang telah mereka ketahui. Menyampaikan, mengingatkan, memberi kabar gembira, juga menakut-takuti: akan tetapi, akan sangat payah, kalau kita sendiri tidak menjalankan apa yang kita ketahui.

Kalau kita sendiri tidak merealitaskan apa yang kita ketahui.

Kalau kita sendiri menolak apa yang kita ketahui—yakni seakan-akan bersikap emoh dengan apa yang kita ketahui—kalau kita sendiri ‘membangkang’ apa yang kita ketahui—kita tahu bahwa itu salah, tapi kita terjang.

Bayangkan, kalau kita sendiri tidak ‘sebaik’ itu menjalankan keislaman, bagaimana orang-orang yang mendengar letupan kita? Bagaimana orang-orang mampu menjadikan kita contoh? Memang, baiknya itu adalah teruuntuk kanjeng nabi Muhammad sebagai contoh utama: tapi penting diketahui, islam itu untuk diri kita, keislaman itu adalah realitas kita. Kalau kita begitu sangat ‘memfokuskan’ penangkapan kepada kanjeng nabi Muhammad—maksud saya terkena pesonanya, kanjeng nabi Muhammad, maka kita sangat-sangat hidup dalam jarak yang jauh: maksud saya, mengapa kita individu tidak semampu daya menjadi ‘kanjeng nabi muhammad’ yang baru, artinya mengikuti bagaimana beliau bersikap dan mengambil keputusan—maka kita bakal lebih sibuk pada ranah-ranah ide, sementara realitas bukanlah seperti atau semudah ide; realitas itu menjalin-jalin, dan realitas itu selalu mengarah pada kemajuan. Terlebih lagi, seperti sekarang ini, realitas semakin cepat dan gesit perkembangannya.

Kenyataan semakin gesit perkembangannya; dan tugasnya ulama adalah mengingatkan, menyampaikan, smemberitahu, dan menakut-takuti kemanusiaan, yang tujuannya tentu supaya manusia itu baik bagi manusia yang lainnya. Supaya manusia itu adil bagi manusia yang lainnya. Supaya manusia itu benar bagi manusia yang lainnya.

Namun, bagaimana kita hendak ‘berkoar’ tentang kebenaran keapda orang lain, sementara diri kita sendiri enggan dikoarkan tentang kebenaran? Atau jangan-jangan kita lalai untuk menyampaikan ‘diri-sendiri’ dan lebih focus menyampaikan kepada ‘orang-lain’? atau jangan-jangan kita lebih focus menyampaikan orang lain yang kita tidak tahu, keorangannya, dibanding menyampaikan yang kita tahu keorangannya?

Atau jangan-jangan kita benar-benar tidak memahami apa-apa yang terjadi; dan kita sekedar menjalankan ‘tugas’ yang dibebani. Sekedar menjalankan ‘apa-apa’ yang terbebani. Yang tujuan utamanya adalah menyelamatkan diri sendiri, menyelamatkan ekonomi sendiri, menyelamatkan pemikiran sendiri: lalai bahwa manusia adalah mahluk satu kesatuan. Lalai bahwa manusia saling membutuhkan.

Terakhir, tulisan saya adalah membuka kedok atau tentang jawaban dengan apa yang saya pertanyakan. Andaikata enggan membaca uraiannya, maka tinggal renungkan tentang apa yang saya pertanyakan: Apakah Engkau Tahu Apa yang Engkau Sampaikan? Di Zaman Seperti Ini, Untuk Apa Ke-tahu-an?

Demikian.

2017

Belum ada Komentar untuk "Apakah Engkau Tahu Apa yang Engkau Sampaikan? Di Zaman Seperti Ini, Untuk Apa Ke-tahu-an?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel