Meninjau Ulang tentang Kebahasaan dan Realitas Yang Sesungguhnya








Begini: saya mulai mengerti mengapa filsafat di era komporer, ada aliran kuat yakni tentang filsafat-bahasa. Sebab, ternyata, kendala zaman sekarang adalah tentang kepersoalan bahasa, yang kadang, perindividu tidak mengetahui tentang bahasa-bahasa yang diucapkan, seperti pemikir yang terkenal dengan analisis bahasa Ludwig wittgeisten, tentang filsafat bahasa keseharian, atau filsuf-filsuf kontemporer yang berartilan tentang kebahasan, yang kemudian lebih lari condong kepada persoalan hermeunetik.

Sebab zaman sekarang, seringkali orang lalai dengan bahasa-bahasa yang sering digunakan. Mereka menggunakan namun, lalai mengetahui bahasa apa-apa yang digunakan.

Memang, pada dasarnya, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Namun karena seringnya bahasa digunakan untuk berkomunikasi orang-orang mulai tidak mengerti apa yang sebenarnya menjadi soal, karena si penyampai tidak memahami jelas apa-apa yang dikatakan secara menyeluruh, detail, holistic. Tepatnya, tidak memahami. Namun seakan-akan memahami, padahal tidak benar-benar mengerti.

Sementara itu, dalam dunia islam, seringkali ditekankan tentang kepentingan bahasa, yakni ilmu alat; nahwu, shorof, dan bahasa arab. Itu sangat penting, karena dalam dunia islam, harus menggunakan bahasa arab.

Sekali pun itu adalah ilmu alat, tetap saja, kalau tidak memahami, maka yang terjadi simpang siur.

Dan saya tadi berulang-ulang menyebutkan diksi memahami. Jika ditanyakan apa yang sebenarnya hendak saya sampaikan atau bagaimana pemahaman tersebut? Jawabku, orang yang paham adalah orang yang mengetahui apa-apa yang dikerjakan dan apa-apa yang dikatakan. Jika pun keliru terhadpa apa-apa yang telah dipahami, maka berarti salah. Atau bisa jadi, tidak benar-benar paham. Dan begitu adalah makna: orang paham belum tentu paham. Maksudnya, orang yang paham harusnya berusaha mengikatkan diri untuk memahami apa yang telah dipahami. Sebab karkateristik ‘daya-pikir’ manusia mampu saja lupa karena banyaknya informasi yang tertampung dalam pikiran dan ternyata lupa mengesave data tersebut.

Sementara itu, kalau kita berkesibukan dengan bahasa, yang statusnya adalah alat, maka kita akan sibuk pada tataran ide dan lalai terhadap realitas atau kenyataan yang sebenarnya; wal-hasil, dampak utama dari hal tersebut adalah orang-orang seringkali sibuk dengan kebahasaan atau uprek terhadap sesuatu yang berkaitan dengan ide sementara realitas selalu berjalan dan terus saja berputar. Dan realitas membutuhan sesuatu yang itu bersifat ‘nyata’, terbukti secara objektif dan benar-benar ada.

Hingga kemudian, persoalan utama di zaman postmodern ini, tentu tentang keuprekan bahasa, yang kemudian terjadilah miss-comunikasi, laksana kejanggalan sesuatu yang sebenarnya terbentur oleh bahasa. Debat-debat terjadi karena ketidak-seragaman akan paham-bahasa.

Jika diamati secara seksama—benar-benar di amati dalam ranah realitas—maka persoalan yang terjadi karena ketidak-sepahaman terhadap bahasa, tidak keselarasan terhadap bahasa. Maka sungguh, teramat penting untuk menyepahamkan ulang tentang bahasa; penting ditinjau ulang tentang bahasa—siapa itu; yakni perinvidu si pengguna bahasa. Jangan-jangan pengguna bahasa tidak mengetahui apa yang dikatakanya. Jangan-jangan si pelaku (pengguna) bahasa asal-asalan terhadap apa-apa yang ditangkap olehnya; dan sesungguhnya hipotesis semacam itulah, yang diincar oleh filsuf-filsuf kontemperer yang mempersoalkan bahasa; sebab bahasa adalah alat sekaligus sesuatu yang digunakan dalam system kehidupan. 2017

Belum ada Komentar untuk " Meninjau Ulang tentang Kebahasaan dan Realitas Yang Sesungguhnya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel