Toriqoh di Wargomulyo



Tariqoh itu artinya jalan. Jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, yang itu harus melalui perantara Mursyid. Mursyid itu orang yang mengarahkan salik. Salik itu orang pejalannya: dan orang yang melalukan salik di sebut suluk.

**

Saya mau menyampaikan begini: 

Toriqoh di Desa Wargomulyo, sekarang ini, acaranya semakin ramai itu juga terdukung oleh kemajuan zaman, yang mana orang-orangnya ‘tergerakkan’ untuk masuk ke tariqoh, selain itu juga karena orang-orangnya mau untuk menjalankan toriqoh. Tentunya, tidak semuanya orang masuk pada toriqoh, yang pasti, di desa wargomulyo itu ada toqiqoh, yang sekarang menjadi Mursyid adalah Kang Sya’ban. Sebelum kang sya’ban, Mursyidnya itu Mbah Parno. Sebelum Mbah Parno Mursyidnya Mbah Benu Kosim, itulah alurnya.

Mbah Benu Kosim itu mursyid pertama di desa wargomulyo. Di zamannya beliau, tentu telah ada orang-orang yang masuk toriqoh, termasuknya mbah parno: di antara orang-orang yang baiat (sumpah setia) itu Mbah Parno. Yang kemudian, Mbah Parno itu di angkat menjadi Mursyid pengganti Mbah Benu Kosim. 

Sejauh saya membaca, juga diceritakan, pengangkatan murysid selanjutnya itu tidak asal-tunjuk, tapi harus ada petunjuk dari yang kuasa, dari Gusti Pangeran. Untuk lebih jauhnya, bisalah dibaca-baca perihal buku tariqoh, yakni tentang pola pengangkatan mursyid selanjutnya: di zaman yang keterbukaan ini, termasuk kitab-kitab yang diterjemahkan, apalagi berkaitan dengan tariqoh, itu banyak. Mengapa banyak? Karena di Nusantara, di indonesia, banyak peminatnya. Tentu buku yang berkaitan dengan toriqoh itu laku pasaran. Artinya laku untuk dibeli. Dengan buku itu, maka bisa ditelusuri bagaimana pola penunjukan terhadap kemursyidan selanjutnya. Namun biasanya: hanya orang yang baru dan berambisi yang menginginkan jabatan sebagai mursyid: mungkin ingin disanjung sebagai orang yang terdepan, atau ingin dipuja lantaran omongannya didengarkan. Ah kembali ke tariqoh di wargomulyo, yakni fakta yang terjadi:

Tariqoh di wargomulyo, yang paling kesohor, tentu saja tariqoh yang itu naqsabandiyah walqodariah, yang sekarang Murysidnya adalah Kang Sya’ban. Dan kang sya’ban itu diangkat menjadi mursyid sebelum Mbah Parno wafat.

**

Ah agaknya saya mau menyampaikan tentang hubungan murid dan guru, yang itu bertalian dengan tariqoh. Ketiga generasi itu, adalah mata rantai, jalinan, yang kemudian bakal mengirimkan kepada guru-guru selanjutnya, artinya tidak terhenti sampai kepada mbah benu kosim, melainkan kepada gurunya mbah benu kosim, kepada gurunya lagi, kepada gurunya lagi, yang berakhir sampai kepada kanjeng nabi muhammad. Begitulah sanat dari ilmu tariqoh. Turun temurun. Dan murid, sebelum dilaksanakan wiridnya (yakni lafad-lafad yang bakal di ucapkan) mengirimkan hadiah al-fatihah kepada gurunya.

Bersamaan dengan itu, maka si murid berdaya diri untuk mengenang guru terdekatnya, guru yang itu dikenal secara nyata. Secara fakta. Sebab murid itu baiat secara nyata; melihat gurunya. Lebih-lebih sebagai pelaku Murysid, pastilah hubungan murid dengan gurunya lebih dekat. Dari seringnya ‘pencarian wajah’—hampir saja saya mengatakan, membayangkan gurunya-- sampai ketemu itu laksana ‘menghadirkan’ sosok guru itu bagi pemikirannya (atau pun hatinya) sehingga berefek, murid itu bakal mengenang kenang wajah gurunya, maka bersamaan dengan itu, ketika melihat anak gurunya, ada rasa sungkan, dan penghormatan. Sebabnya, teringiang juga kepada gurunya. Ah ini menurutku. Artinya, menghormati guru dengan cara menghormati juga anaknya guru. Begitu juga di kitab taklim mutaalim (Sebuah kitab tentang pencari-ilmu yang sangat umum di indonesia dan diajakan di pondok pesantren) adanya penghormatan kepada keluarga gurunya. Kembali ke tariqoh di wargomulyo:

**

Di zaman ini, agaknya para penganut tariqoh adalah yang terbanyak dibanding era sebelumnya (Era Mbah Parno dan Era Mbah Benu Qosim). Hal itu terjadi karena: 



Pertama, keadaan zaman menuntut orang mengetahui tentang keberadaan toriqoh. Hal itu terjadi dengan maraknya kendaran yang berlalu-lintas yang itu berurusan dengan toriqoh. Alasannya, penjemputan orang yang bertoriqoh. Contohnya: ibu saya ikut tariqoh, maka saya menjemput. Di ibu si anu ikut tariqoh, ia juga menjemputnya. Dari orang-orang yang menjemput itu, mengakibatkan ada pembicaraan berkaitan dengan ‘apa yang dilakukan’, pembicaraan kepada tetangga dan kepada tetangga yang lainnya. Juga si anak-anak yang menjemput itu. hingga kemudian menjadi acara keterbiasaan penjemputan. Acara apa? Katanya. Acara toriqohan, jawabnya. Mungkin sekedar perkataan, namun wira-wiri penjemputan itu menimbulkan efek yang bakal terus menerus.



Kedua, keadaan zaman yang semakin ‘lebih’ mapan terhadap pengetahuan islam. tentu jaman ini lebih berbeda di banding dengan zaman sebelumnya: yang mana sebelumnya orang-orang belum begitu ‘terbuka’ benar, dengan keagamaan. Selain itu, acaranya juga biasa-biasa saja; artinya sedikit sekali isu-isu toriqoh ke khalayak ramai. Alasannya, karena orang dulu, berjalan kaki, tentu desas-desus berita toriqoh masih belum menjadi bahan yang layak dibicarakan.



Ketiga, keadaan zaman, berkaitan dengan penurunan moralitas, dan tekanan materialistik, menjadikan orang-orang berupaya mencari ketenangan, kedamaian dengan cara masuk ke tariqoh; sebab urusan toriqoh cenderung kepada urusan batiniah. (untuk poin ini, masih diragukan; sebabnya, bagi kalangan di wargomulyo, kecenderungan orang-orang masuk tariqoh ialah membuat ikatan kepada gurunya. Artinya yang muda-muda atau separuh baya, masih jarang mengikuti kegiatan atau masuk ke tariqoh. Umumnya yang mengikuti adalah orang yang tua. Karena telah tua, maka mereka berdaya diri untuk lebih dekat dengan agama, lebih dekat dengan ibadah. makanya, mengikuti tariqoh: sebab ‘citra’ tariqah sejauh ini ialah tentang konsentrasi kepada ibadah, ibadah lebih gencar, dan lebih mendekatkan diri kepada tuhan.)

Yang keempat, dukungan dari skala nasional (ini menurut pengamatan saya; bahwa dari skala nasional di era semakin maraknya teknologi dan pengetahuan barat yang semakin menekankan tentang objektifitas namun keadaan moralitas semakin menurun: maka tokoh-tokoh toriqoh semakin mengencarkan perihal toriqoh) lebih mensosialisasi tentang keberadaan nasional, sebabnya, keadaan nasional yang semakin hari semakin memprihatikan: pendidikan memang banyak, namun faktanya, ketimpangan sosial atau pelanggaran keagamaan juga banyak, atau bahasa lainnya: penururan moralitas. Maka dari gerakan ini, lebih gencar untuk menawarkan tentang kedamaian, caranya: lewat tariqoh, yang itu, tentu saja, lebih mendekatkan diri kepada gurunya. Dengan mendekatkan diri keapda gurunya, maka besar kemungkinan akan adanya jalinan sopan santun ulang, yakni sopan santun kepada gurunya. (tentu juga ini penangkapan saya, sekilas tentang penangkapan saya.)

**

Tariqoh itu artinya jalan. Jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, yang itu harus melalui perantara Mursyid. Mursyid itu orang yang mengarahkan salik. Salik itu orang pejalannya: dan orang yang melalukan salik di sebut suluk.



2018-03-07

Belum ada Komentar untuk " Toriqoh di Wargomulyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel