Aman






Hidup itu butuh kenyamanan. Nyaman itu berakar kata dari aman. Situasi atau keadaan yang di rasa aman disebut aman. Dengan aman maka orang itu merasa nyaman. Ketika merasa nyaman, maka orang itu laksana ada keamanan terhadap sesuatu tersebut.



(Sengaja saya mengemas itu dengan permainan kata. Sebabnya, di era modern ini; manusia seringkali berkesalah-pahaman terhadap kata. Bahkan filsuf kontemporer, Habermas, yang lebih dikenal pada aliran Teori Kritis, yakni aliran yang lebih dekat mengarahkan pada filsafat. Juga seringkali Habermas dikatakan sebagai seorang sosiologi kontemporer, sebabnya berdaya diri untuk merealitaskan pemikiran, itulah yang disebut dengan teori kritis. harus dibedakan antara teori kritis dan ilmu kritis. teori kritis dalam hal ini, seringkali berarah filosofis. Hal itu, di zaman keterbukaan ini, bisa ditelusuri pada media-media. Ketik saja, teori kritis. maka akan muncul, inti dari teori habermas adalah supaya menjadi masyarakat yang komunikatif. Pokoknya, tidak salah komunikasi.



Terlebih lagi, di zaman ini, arah pemikiran seringkali disebut logosentrisme. Yakni pemikiran yang berkesibuk pada logo, tanda, bahasa, symbol. Hal ini juga, untuk lebih jauh bisa ditelusuri dengan mengetik: logosentrisme. Searching. Begitulah keadaan zaman. )



Di sini, saya akan membantu untuk merenungkan, atau merefleksikan berhubungan dengan nyaman. Artinya, membantu memikirkan perihal sesuatu yang berkaitan dengan aman:



Manusia di era modern—begitulah kata yang sering menyebutkan; atau bahkan sekarang dikenal dengan istilah manusia jaman now atau manusia kontemporer—semakin sibuk dengan teknologi; dengn bersibuk dengan kehidupan menjadi sarat jalinan dan interaksi. Hingga kemudian, mempengaruhi tentang pola kehidupan itu sendiri. efek utamanya: pola kehidupan menjadi tidak terkendali.



Padahal, kalau kita mengenang ilmu psikologi: hidup ya seperti itu, perputaran yang harus dijalani dan manusia membutuhkan makan untuk bertahan. Membutuhkan teman untuk berinteraksi. Membutuhkan teman untuk saling mempertahankan hidup. Mempertahankan hidup adalah pola untuk kenyamanan, tentu disertai keamanan.



Namun kenyataan di zaman sekarang tidak sesimpel itu. Kenyataan sekarang, di Indonesia khususnya, yang semakin ‘melek’ terhadap teknologi; laksana tergagap gempita menghadapi kehidupan. Arti dari kata melek ialah bahwa dasaran manusia Indonesia, umumnya, ialah manusia yang hidup praktis, alasannya karena alam yang subur. Dengan alam yang subur, maka orang Indonesia tinggal mengejarkan alamnya, lalu mampu bertahan untuk hidup. Itulah umumnya.



Hingga kemudian, orang-orang eropa datang ke Nusantara, yang tujuannya—sering kita mendengar, bahwa tujuan mereka datang mencari rempah-rempah—berdagang; sebagaimana di masa sebelumnya, bahwa Nusantara menjadi pulau perdagangan. Karena memang, di era dulu, perdagangan adalah hal yang wajar bagi kemanusiaan (Baca ulang tentang sejarah-sejarah perdagangan, atau baca tentang sejarah Negeri Indonesia: ingatlah pelajaran di waktu SD sampai SMA) ; dan kedatangannya itu, membawa efek ‘hidup dari eropa’: di era 1600 Masehi, orang-orang telah maju dengan pengetahuannya, telah ‘melek’ perihal sains; sains disini berkaitan dengan teknologi. Namun yang perlu diketahui, di era eropa di Nusantara; orang eropa telah mengalami kepesatan teknolgi, dan bahkan di sebut dengan era globalisasi, era modernisasi. Hal itu ditandai dengan teknologi. Bahkan di saat indonesi belum merdeka, keadaan dunia telah mengalami era modernisasi, era teknologi.



Malah bahkan, di era itu, betapa sulit untuk mencari kenyamanan dan keamaanan untuk hidup. Hal ini tentu fakta. Fakta yang terang di saat dikabarkan: perang dunia. Tentu saja, di era itu, istilah keamanan, kenyamaan bagi kamus-pikiran individu adalah waspada. Sebab musuh ada di dekat, dan akan siap merebut ‘rasa aman’ menjadi ‘rasa was-was’.



Memang, pada sejarahnya, dulu, di Nusantara pun terjadi peperangan, bahkan peperangan untuk perebutan kekuasaan (begitulah sejarah berkata. Begitulah sejarahnya); tapi itu issu kekuasaan, dan tentu saja, tidak semua orang masuk pada ranah kekuasaan, tetap saja ada yang tertinggal, untuk ikut perang. Menjadi orang yang ikut-ikutan belaka. Sekedar mengikuti pergerakan kekuasaan. Namun keadaan sekarang adalah keadaan perdamaian, umumnya (sebab ada juga manusia yang merasa kurang aman; di Negara Palestina dan Negara Israil yang sampai sekarang masih terjadi konflik, masih berseteru). Damai itu temannya aman. Ketika aman, tentu saja berkeadaan damai. Kalau tidak damai pastilah tidak aman.



Zaman sekarang terkesan aman, tapi manusia seringkali dibayangi ketidakamanan. Orang takut kehilangan, orang takut miskin, orang takut dicuri, orang takut dipidanakan, orang takut dikenai undang-undang, orang takut polisi, dan takut-takut yang lain; dan anehnya, seringkali orang malah tidak takut dengan Tuhan. Artinya, melalaikan Tuhan. Itu juga manusia di era modern, alasannya karena manusia semakin mengunggulkan ‘logika’, mengunggulkan akal, sebabnya tekanan zaman menganjurkan orang untuk berlogika, orang untuk berakal: itu sebabnya orang-orang semakin mengunggulkan akal.



Di eropa, kaum postmodern mengatakan: manusia semakin ‘mendewakan’ rasio, itu sebabnya pendewaan yang ada di dalam pemikirannya harus dikritik. Dengan mendewakan rasio, manusia malah lalai dengan kemanusiaan itu sendiri. padahal, sejauh kita amati—tujuan dari kemanusiaan adalah saling aman, saling berharap untuk bertahan aman. Namun kalau keamanan itu membayangi pemikiran kita, tentu saja, kita merasa tidak aman, karena masih dibayangi ketidak-amanan. Itu sebabnya, sering juga, kaum postmodern (Bisa ditelusuri pemikiran-pemikiran postmodern; jangan saja sekelas barat, timur juga harus ditelusuri, sebab mau tidak mau: kita terpengaruh oleh dua arah yang berlaianan itu. ya barat, ya timur. Jadinya kita: tidak barat, tidak timur. Inilah kita: Indonesia) membicarkan perihal percaya. Sebabnya tadi, karena semakin menggunggulkan rasio, jadi percaya itu tipis.



Sebab percaya itu berada di dalam diri, yang kemudian mewujud di luar diri (moral; etika; akhlak), dan ini disebut iman. Bukankah bahasa lain dari keimanan adalah kepercayaan? Sehingga kemudian, bersamaan dengan keimanan maka didapati aman. Syarat-syarat aman: adanya amanah, aminah, amin, imam, aman. Ini serangkian bahasa yang berasal dari arab dan telah diserap menjadi bahasa indoenesia. Akhirnya, tujuan saya menuliskan itu: mari kita aman. Ini tentu ajakan bukan hanya personal, melainkan kita. Yakni tiapan individu, terlebih khusus manusia Indonesia. mari kita imani bahwa kita aman. Bila keadaan tidak aman, mari, kita jadikan suatau keadaan menjadi aman. Cara utama: iman. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Aman "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel