Aku Orang Yang Beriman (bagian 2)

Aku orang yang beriman, masih mencari tentang lezatnya iman, lebih dari kelezatan yang kudapati. Sungguh, aku belum benar-benar menyandarakan diri pada yang tunggal. Masih kurasakan kadang begitu kemiskinan: padahal Dia maha tunggal, yang menguasai seluruh amal.

“Aku hanya terharu, bahwa kamu mengaku miskin iman. Padahal sejauh aku memandang kamu cukup iman.”

Cukup belum memenuhi syarat menuju kebahagiaan.

“Aku hanya terharu, bahwa kamu ingin melampaui kemanusiaan.”

Biarlah Allah yang mengetahui. Aku kian percaya, Dia benar-benar Maha Mengetahui.

“Apakah layak bila aku menasihatimu?”

Aku tersenyum. menegakkan wajah ke langit. Mengerakan wajah ke jendela. Mentapi cermin di depan mataku. Aku pejamkan diri.

Ketahuilah, wahai, mata-mataku: apabila aku benar percaya pada-Nya. Sungguh itulah yang dimaksud kaya iman yang sempurna. Tidaklah kuresahkan tentang apa-apa yang terlihat oleh panca-indra. Sebab aku percaya, segala tampakan di sini, adalah sebuah satu-kesatuan yang padu: sayangnya, akalku masih kurang teryakinkan apa itu kesatuan yang padu. Ya, pada akhirnya aku serahkan diriku pada-Nya yang menguasai seluruh keberadaan. Eluhan kemanusiaanku memang layak ditaruhkan pada-Nya. Karena terkadang kata-kata, memburamkan tujuan indah tentang tujuan. Aku ingin menyatakan ini, tiba-tiba diburamkan ‘ini’ yang lain. begitu seterusnya. Dan pada akhirnya, memang, kalimat terindah adalah: la illaha illallah.

Wahai, mata-mataku, ini pembahasan tentang Aqidah: pembahasan tentang keimanan, menepilah dulu wahai kefikihan.

Aku tidak bisa melepas kefikihan, mereka telah menyatu pada bersama tubuh. Aku kenang diriku lebih dalam.

“Apakah dahulu diriku menginginkan tinggi iman? Atau islam yang murni.”

Sejauh aku amati adalah pejalan yang melangkah di jalan, menikmati perjalanan.

“Kamu memang pejalan yang senantiasa berjalan. menikmati perjalanan seakan-akan tidak berjalan.”

Datar diriku, seakan-akan tidak mengaku bahwa aku adalah musafir. Pikirku, “Bagaimana aku menjadi musafir padahal ini juga tanah milik-Nya?”

Agaknya aku dulu memang begitu simpel tatkala di perjalanan. Aku selalu membawa diriku dan ketunggalan diriku. Seakan-akan aku lepaskan tentang darimana asalku. Seakan-akan nama tidaklah penting buatku. Intiku, “Kita adalah makhluk-Nya: apa bedanya, kawan.”

Dan sekarang, aku lebih bringas dan ganas. Aku perhatian terhadap diriku. Terhadap langkahku. Perhatian akan nama. Tentang asalku. Intiku, “Kita bertujuan satu, pada-Nya kita menyerahkan segala sesuatu.”

Oh ibu, bila engkau orang yang berbangga hati, berbangga nama: seberapa bangga engkau melihat puteramu sekarang? Agaknya sekarang kurang begitu mengena. Dan mudah-mudahan kelak engkau menyadari: kita adalah mahkluk-Nya yang dipercayakan untuk kehidupan. Dan kurangkah jelas, ketika orang-orang berkata, “Anak adalah amanah dari Allah yang esa. Anak adalah perhiasan bagi mata. dan sungguh cinta ibu benar-benar melimpah. Wajar saja, disuruh menghormati padanya.”

Oh ibu, kurangkaikan tentang bagaimana cintamu—dan aku diajari tentang bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah melimpahkan cintanya. Begitu juga dengan ibu kepada anaknya. Setulus hati menyayangi anaknya. Entah bagaimana cintanya: aku tak tahu seberapa layak ukuran cintanya. Dan Allah jugalah yang mengenggam jiwamu, ibu. Juga jiwaku, berada dalam genggaman-Nya. Apabila masa telah tiba: maka, kita bakal menjadi sebuah nama. Yang bakal dibicarakan para nama. dan setiap pemilik nama, berada pada kekuasaan-Nya. Dialah yang tunggal, Allah, dari bahasa arab, berfungsi mempersamakan persepsi tentang ‘dia yang tunggal.’

Belum ada Komentar untuk "Aku Orang Yang Beriman (bagian 2) "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel