Surat


“Bahwa setiap hari kita selalu mendapatkan surat,” katamu dengan nada serius.

“Benarkah!” jawabku, “Tapi aku tidak mendapatkannya. Sungguh! Tidak ada yang mengirimkanku surat.”

“Tapi kita selalu diberi surat,” Tegasmu meyakinkan.

“Kamu itu aneh. Seperti Allah yang maha Qohar (memaksa.)”

“Bukannya manusia selalu berusaha meniruTuhan?”

“Ah, ngawur saja kamu.”

“Jadi kamu tidak mempercayai asmaul husna, yakni Allah Al-Kohar?”

Kepalaku mengeryit. Memincingkan mata. Mengalihkan pandangan dari langit menuju tubuhmu. Kau pun reflek membalikan tubuh. Kita berpandangan. Serius. Tak ada kata yang terbang, kecuali desauan angin dan pohon-pohon yang digoyang-Nya. Kita terus berpandangan, tak ada kedipan mata, tapi bibir, kemudian merekah bak bunga dan tertawa. Lepas. Dan terdengarlah,

“Kadang kita memang lupa bahwa manusia berusaha mengikuti-Nya.”

“Ya, benar. Manusia berusaha menjadi-Nya?”

“Hah!” kataku, terkejut, seakan-akan seperti mendengar gelegar petir di malam yang terang benderang, “Menjadi-Nya!”

“Ya. Berusaha menjadi-Nya. Tidakkah kamu pernah membaca para pujangga menulis, ‘aku ingin bersama-Nya,’?”

“Pernah. Tapi apa kaitannya dengan menjadi-Nya?”

“Begini,” kau mengalihkan jawabnnya, hendak memberikan jawaban yang lebih jelas, dengan analogi yang lebih dimengerti, “Tatkala manusia berusaha untuk mendapati kesabaran, maka mereka berusaha untuk menjadi dia yang maha sabar. Tatkala manusia ingin berusaha adil, maka mereka berusaha menjadi Dia yang maha adil. Dan seterusnya.”

Mendengar itu, aku berkata, “Sebaiknya kita perbedakaan, manusia kan ingin sabar, manusia ingin adil. Sementara Dia adalah Maha sabar, Maha Adil. Perhatikanlah tentang kata ‘Maha’. Pokoknya, manusia itu tidak bisa mencapai ‘Maha’, tapi manusia ingin dia sabar, dan dia adil.”

“Begitulah menurutku,” Imbumu seketika.

“Inti pokoknya,” kau ingin mengentikan perbincangannya tentang sifat Tuhan. “Manusia berusaha meniru sifat-sifat Tuhan, pada asmaul Husna.”

“Itu kalau manusi percaya Tuhan,” imbuhnya segera, “Bukannya sebagian ada yang percaya dan sebagian yang lain tidak pecaya?”

“Benar. Begitulah Allah yang menjadikan pasangan segala sesuatu,” jawabku kemudian, yang kini telah kupandang langit, memandang bintang-gemintang. Yang kemudian bertanya, “Ngomong-ngomong. Besok kita akan kemana?”

“Apakah besok kita bisa kemana?”

“Maksudnya?”

“Aku tak tahu, apakah besok masih hidup,” jawabmu, nada lemah.

Ya, kata-kata telah mempengaruhinya. Kata-kata adalah kekuataan terbesar yang pernah ada di dunia. Itulah yang dirasakan olehmu tadi. Selepas kau mengaji pribadi kepada Sang Kiai.

Kau memang murid spesial Sang Kiai. Hanya dia seorang yang mengaji secara spesial kepada sang Kiai. Tatkala kau berada di pondok, maka selalu menjadi imam masjid. Masjid adalah patokan kau mengaji padanya. Tatkala Sang Kiai mengimami, maka “Saatnya mengaji padanya,” katamu, dalam hati. Dan sisa-sisa ngaji adalah menjadi bayang-bayang nyata dalam detik-detikmu. Sampai sekarang, dalam setiap langkahmu masih terngiang kata-kata beliau.

“Sebagaimana orang-orang mengatakan, jodoh, rezeki, dan mati adalah ketentuan Allah. Bukannya tidak disangka-sangka rupanya jodohnya si anu adalah si ani, padahal mereka terpaut usia yang jauh? Bagaimana bila mendadak hujan tidak turun dari langit, dan sumur-sumur kering: bukannya itu adalah kenyataan bahwa rejeki hilang.

Manusia itu membutuhkan air. Airlah sumber kehidupan. Apabila tidak ada air, maka matilah manusia. Begitu juga dengan mati. Mati itu tidak ada yang menduga. Banyak orang yang muda mati begitu adanya. Taruklah seperti temanmu, yang mendadak mati, padahal bersih dari obat-obatan terlarang dan jarang mengalami sakit. Dan masih banyak teman-temanmu yang lainnya, yang mati karena kecelakaanlah: bukannya kecelakaaan adalah sesuatu hal yang misterius, dan orang tidak akan mengerti bahwa apakah orang itu selamat atau tidak. Terlebih lagi, apakah kamu mengira bakal dipanjangkan usia sampai peot? Siapa yang mengira bisa panjang umur? Tdak ada bisa menduga. Apabila diduga-duga sesungguhnya, mereka sekedar menduga. Dan contoh yang lebih dekat adalah, tatkala kita tidur, dan kemudian kita dibablaskan nyawanya bagaimana? Jadi, bersegeralah mohon ampun kepada allah, mudah-mudahan Allah mengampuni. Ketahuilah, Nak: hidup itu sementara saja. Tidak lama. Sebentar saja. Sekejab saja.”

“Kamu kok pesimis begitu?” balasmu membuyarkan lamunanku.

“Bukannya itu adalah kenyataan bahwa kita tidak mengetahui bahwa kita akan berlama-lama hidup?”

“Anggap saja kita hidup lama: bukannya hampir kebanyakan orang meninggal di atas 50 tahunan?”

“Lantas, siapa yang menjamin kita hidup akan lama?”

“Ah sudahlah. Ngomong-ngomong, bagaimana tentang surat tadi. Aku yang dungu ini masih kurang mengerti. Mohon penjelasannya,” katamu renyah membuyarkan pembicaraan tentang mati, Tuhan, dan apa-apa yang telah dibicarakan.

“Sebelum menjawab,” katamu, pelan,”Saya mau tanya: menurutmu surat itu seperti apa?”

“Kok begitu?”

“Ini penting.”

“Penting bagaimana?”

“Begini,” katamu, mulai tidak sabar menjelaskan, “Apakah kamu suka mengaji al-quran?”

“Iya,”

“Hari ini kamu telah membacanya?”

“Sudah.”

“Membaca surat apa?”

“Yasin, Waqingah, al-Mulk.”

“Membaca surat apa?!” katamu, menegaskan kembali pertanyaannya. Sambil menekankan kata “surat”, setekan-tekannya.

“Ya, tadi,” jawabku singkat.

“Benarkah kamu membaca surat itu?”

“Iya”

“Membaca surat?!”

“Iya.”

“Siapa yang mengirimnya?”

Aku terkejut. Tubuhku langsung condong menghadapmu. Sementara kau tetap menatap bintang-gemintang. Dan menekan kembali, “Lalu, siapa yang mengirimmu surat?”

Aku diam. Termenung. Tersenyum. Dan berkata, “Benarkah saya mendapat surat?”

“Bukannya tadi telah mengatakan bahwa kamu membaca surat?”

“Tapi,” jawabku, ragu.

“Tapi apa? Apakah setiap hari tidak menerima surat? dan setiap hari tidak membaca surat?”

Di tulis 2013 di edit 2017

Belum ada Komentar untuk "Surat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel