Surat
Sabtu, 21 Januari 2017
Tambah Komentar
âBahwa setiap hari kita selalu mendapatkan surat,â katamu dengan nada serius.
âTapi kita selalu diberi surat,â Tegasmu meyakinkan.
âKamu itu aneh. Seperti Allah yang maha Qohar (memaksa.)â
âBukannya manusia selalu berusaha meniruTuhan?â
âJadi kamu tidak mempercayai asmaul husna, yakni Allah Al-Kohar?â
Kepalaku mengeryit. Memincingkan mata. Mengalihkan pandangan dari langit menuju tubuhmu. Kau pun reflek membalikan tubuh. Kita berpandangan. Serius. Tak ada kata yang terbang, kecuali desauan angin dan pohon-pohon yang digoyang-Nya. Kita terus berpandangan, tak ada kedipan mata, tapi bibir, kemudian merekah bak bunga dan tertawa. Lepas. Dan terdengarlah,
âKadang kita memang lupa bahwa manusia berusaha mengikuti-Nya.â
âYa, benar. Manusia berusaha menjadi-Nya?â
âHah!â kataku, terkejut, seakan-akan seperti mendengar gelegar petir di malam yang terang benderang, âMenjadi-Nya!â
âYa. Berusaha menjadi-Nya. Tidakkah kamu pernah membaca para pujangga menulis, âaku ingin bersama-Nya,â?â
âPernah. Tapi apa kaitannya dengan menjadi-Nya?â
âBegini,â kau mengalihkan jawabnnya, hendak memberikan jawaban yang lebih jelas, dengan analogi yang lebih dimengerti, âTatkala manusia berusaha untuk mendapati kesabaran, maka mereka berusaha untuk menjadi dia yang maha sabar. Tatkala manusia ingin berusaha adil, maka mereka berusaha menjadi Dia yang maha adil. Dan seterusnya.â
Mendengar itu, aku berkata, âSebaiknya kita perbedakaan, manusia kan ingin sabar, manusia ingin adil. Sementara Dia adalah Maha sabar, Maha Adil. Perhatikanlah tentang kata âMahaâ. Pokoknya, manusia itu tidak bisa mencapai âMahaâ, tapi manusia ingin dia sabar, dan dia adil.â
âBegitulah menurutku,â Imbumu seketika.
âInti pokoknya,â kau ingin mengentikan perbincangannya tentang sifat Tuhan. âManusia berusaha meniru sifat-sifat Tuhan, pada asmaul Husna.â
âItu kalau manusi percaya Tuhan,â imbuhnya segera, âBukannya sebagian ada yang percaya dan sebagian yang lain tidak pecaya?â
âBenar. Begitulah Allah yang menjadikan pasangan segala sesuatu,â jawabku kemudian, yang kini telah kupandang langit, memandang bintang-gemintang. Yang kemudian bertanya, âNgomong-ngomong. Besok kita akan kemana?â
âApakah besok kita bisa kemana?â
âMaksudnya?â
âAku tak tahu, apakah besok masih hidup,â jawabmu, nada lemah.
Ya, kata-kata telah mempengaruhinya. Kata-kata adalah kekuataan terbesar yang pernah ada di dunia. Itulah yang dirasakan olehmu tadi. Selepas kau mengaji pribadi kepada Sang Kiai.
Kau memang murid spesial Sang Kiai. Hanya dia seorang yang mengaji secara spesial kepada sang Kiai. Tatkala kau berada di pondok, maka selalu menjadi imam masjid. Masjid adalah patokan kau mengaji padanya. Tatkala Sang Kiai mengimami, maka âSaatnya mengaji padanya,â katamu, dalam hati. Dan sisa-sisa ngaji adalah menjadi bayang-bayang nyata dalam detik-detikmu. Sampai sekarang, dalam setiap langkahmu masih terngiang kata-kata beliau.
âSebagaimana orang-orang mengatakan, jodoh, rezeki, dan mati adalah ketentuan Allah. Bukannya tidak disangka-sangka rupanya jodohnya si anu adalah si ani, padahal mereka terpaut usia yang jauh? Bagaimana bila mendadak hujan tidak turun dari langit, dan sumur-sumur kering: bukannya itu adalah kenyataan bahwa rejeki hilang.
Manusia itu membutuhkan air. Airlah sumber kehidupan. Apabila tidak ada air, maka matilah manusia. Begitu juga dengan mati. Mati itu tidak ada yang menduga. Banyak orang yang muda mati begitu adanya. Taruklah seperti temanmu, yang mendadak mati, padahal bersih dari obat-obatan terlarang dan jarang mengalami sakit. Dan masih banyak teman-temanmu yang lainnya, yang mati karena kecelakaanlah: bukannya kecelakaaan adalah sesuatu hal yang misterius, dan orang tidak akan mengerti bahwa apakah orang itu selamat atau tidak. Terlebih lagi, apakah kamu mengira bakal dipanjangkan usia sampai peot? Siapa yang mengira bisa panjang umur? Tdak ada bisa menduga. Apabila diduga-duga sesungguhnya, mereka sekedar menduga. Dan contoh yang lebih dekat adalah, tatkala kita tidur, dan kemudian kita dibablaskan nyawanya bagaimana? Jadi, bersegeralah mohon ampun kepada allah, mudah-mudahan Allah mengampuni. Ketahuilah, Nak: hidup itu sementara saja. Tidak lama. Sebentar saja. Sekejab saja.â
âKamu kok pesimis begitu?â balasmu membuyarkan lamunanku.
âBukannya itu adalah kenyataan bahwa kita tidak mengetahui bahwa kita akan berlama-lama hidup?â
âAnggap saja kita hidup lama: bukannya hampir kebanyakan orang meninggal di atas 50 tahunan?â
âLantas, siapa yang menjamin kita hidup akan lama?â
âAh sudahlah. Ngomong-ngomong, bagaimana tentang surat tadi. Aku yang dungu ini masih kurang mengerti. Mohon penjelasannya,â katamu renyah membuyarkan pembicaraan tentang mati, Tuhan, dan apa-apa yang telah dibicarakan.
âSebelum menjawab,â katamu, pelan,âSaya mau tanya: menurutmu surat itu seperti apa?â
âKok begitu?â
âIni penting.â
âPenting bagaimana?â
âBegini,â katamu, mulai tidak sabar menjelaskan, âApakah kamu suka mengaji al-quran?â
âIya,â
âHari ini kamu telah membacanya?â
âSudah.â
âMembaca surat apa?â
âYasin, Waqingah, al-Mulk.â
âMembaca surat apa?!â katamu, menegaskan kembali pertanyaannya. Sambil menekankan kata âsuratâ, setekan-tekannya.
âYa, tadi,â jawabku singkat.
âBenarkah kamu membaca surat itu?â
âIyaâ
âMembaca surat?!â
âIya.â
âSiapa yang mengirimnya?â
Aku terkejut. Tubuhku langsung condong menghadapmu. Sementara kau tetap menatap bintang-gemintang. Dan menekan kembali, âLalu, siapa yang mengirimmu surat?â
Aku diam. Termenung. Tersenyum. Dan berkata, âBenarkah saya mendapat surat?â
âBukannya tadi telah mengatakan bahwa kamu membaca surat?â
âTapi,â jawabku, ragu.
âTapi apa? Apakah setiap hari tidak menerima surat? dan setiap hari tidak membaca surat?â
Di tulis 2013 di edit 2017
Belum ada Komentar untuk "Surat"
Posting Komentar