Alamat


“Bagaimana aku bisa ke tempatmu, bila tidak kau tunjukan alamat rumahmu? Bukannya Tuhan telah mengirimkan alamat sampai pada-Nya secara langsung, melalui Kitab-Nya. Sekarang, dimana alamatmu?” pintaku pada sang guru. Tapi sang guru diam. Tidak ada jawaban yang melayang padaku, sebab aku pun tidak mengirimkan pesan lagi untuknya. Hanya kemarin malam waktu kutelefon beliau, sekaligus kutanya tentang alamat rumahnya. Waktu masih di rumah, belum melakukan perjalanan menuju ke tempatnya. Sekedar memberi ucapan, “Insyaallah besok berangkat ke jawa.” Jawabku dari pertanyaannya, “Ada apa?”

Beliau pun membalas dengan senyum yang tidak pernah kutangkat senyummnya. Yang kemudian berkata, “Seperti tidak tahu jadwalku saja. Besok, ya di rumah.”



“Kalau begitu,” potongku segera, “Berikan alamatnya, supaya aku sampai ke sana.”



“Dikirim pesan, ya,” imbuhku seketika.



“Nanti.” Jawabnya singkat.



Sampai pagi ini, tak ada kabar darinya. Kerap kulongoki Handphone: tak ada pesan masuk juga. Dan tatkala malam tiba. Bus mulai terasa dinginnya. AC mobil mulai bekerja. Orang-orang telah membisu. Orang-orang mungkin terlelap karena lelah, atau bibirnya telah selesai untuk berbicara, atau telah selesai percakapannya. Bukannya tatkala di bus, adalah kenyataan pembicaraan bagi orang disampingnya. Seperti kejadianku: yang dipertanya, hendak kemana dan dari mana. Tentang kedudukan, kerja, dan lain sebagainya. Pokoknya, ingin tahu tentang karakter orang di sampingnya. Atau sekedar ingin tahu bagaimana orang di sampingnya.



Aku tak pernah tahu: apakah ia berbohong atau jujur. Bisa saja bohong tentang apa yang dikatakan. Bisa saja mengada-adakan apa yang dibicarakan. Tapi, setelah ditimbang-timbang: dari wajah, gerak-geriknya, orang-orang yang berada di bus adalah orang-orang kelas ke bawah. Walau pada dasarnya tingkatan bus adalah exsecutive class.



Sekarang, itu hanya sebutan belaka. Sebab, pilihan perjalanan bus jarak jauh adalah class excecutive dan patas. Sementara Ekonomi telah tergusur keberadaannya. Malah bahkan sekedar menjadi kenangan pada papan-papan harga jual tiket. Dan yang lebih parah, malah terkadang persediaan untuk class patas adalah teramat sedikit. Wal-hasil, orang-orang bakal memilih excecutive-class.



Namun, di era maraknya teknologi, executive-class dapat dikatakan kendaraan ekonomi, bila dibandingkan pesawat dan mobil pribadi. Tidakkah pernah dipikirkan bahwa kendaraan telah melimpah dan pesawat bak kendaraan yang biasa saja? Sekarang, dengan mudah orang-orang berlalu-lalang dengan pesawat. Di langit, sudah tidak menakjubkan bila melihat pesawat kemudian anak-anak berteriak, “Montor mabur… Montor mabur, jaluk duite.”



Anak-anak yang lugu. Dikira pesawat bakal bisa menjatuhkan uang dari pesawat. Dikira para penumpang mendengar anak-anak berteriak. Sekali pun anak-anak menjerit dan menangis, tetap saja para penumpang duduk santai di dalam pesawat. Bahkan, para penumpang tidak memperhatikan anak-anak. Beginilah kata salah seorang penumpang,



“Jangankan kulihat anak-anak melambai-lambaikan tangannya. Rumah-rumah yang besar sekali pun dari dalam pesawat terlihat seperti rumah mainan anak-anak: kecil. Kecil sekali.”



Kata yang lain, “Jangankan melihat ke bawa. Orang saya tidur di dalam pesawat. Lumayan, bisa istirahat walau 1 jam.”



Kataku, “Di dalam kendaraan: yang kerap kudengar adalah deru mesin, dan sesekali klakson mengeplom.”



Ya, suara emploman terdengar dari belakang bus yang kutumpangi memudarkan angan-angan. Itu adalah bunyian terompet yang keras dan panjang. Entah mengapa ia bunyikan terompet panjang buat bus kami. Maka kulongoklah ke arah sebelah kanan. Kataku, “Ah sudah berlalu.” Maka kubalikan kepalaku. Kusandarkan pada bantal yang tertempel pada kaca bening, yang perlahan-lahan mulai diciumi air. “Apakah ini embun?” tanyaku.



Embun dini hari disoroti cahaya keemasan. Agaknya ini tidak pantas untuk dikatakan pagi, sore adalah lebih pantas untuk waktunya. Sebab, sejauh jalan ini: warna cahaya adalah persis seperti sore. Tapi tidak. sekarang, apa perbedaan antara cahaya pagi dan cahaya sore. Bukannya tatkala pagi tiba matahari perlahan-lahan munculnya persis seperti waktu tenggelamnya matahari? Dan bila matahari terlihat sedikit kejadiannya cahaya adalah seperti sore hari? Ah cahaya, sungguh indah di ufuk sana.



Dari cahaya itu terlihat jelas pohon-pohon yang terus berganti. Mulai dari pohon yang kecil sampai yang besar. Silih berganti. Yang kemudian kukatakan, “Setiap apa-apa mempunyai darah. Pohon pun mempunyai darah.”



“ Ah bukan. Bukan darah. Tapi air.”



“Ya, setiap apa-apa hidup karena air: manusia apabila terluka keluar airnya, tumbuhan juga demikian, hewan juga demikian. tumbuhan yang tumbang, bakal mengeluarkan air. Air itulah sumber hidup tumbuhan. Begitu juga dengan manusia dan hewan. Bahkan pagi, pagi pun diawali dengan air, yakni embun. ”



Dan sampai pagi pun, beliau tidak menjawab tentang alamatnya. Bahkan tidak juga membalas tentang pesan yang kulayangkan semalam. Memang pesanku tidak bertanya tentang alamat, tapi yang lain. Namun, harapanku adalah bahwa kedatangan pesanku adalah sebagai pengingat bahwa beliau akan memberikan alamat. Rupanya tidak ada jawaban juga.



Ya, hingga dhuhur tiba, tidak ada jawabnya. Agaknya, perlu melantunkan, “Menanti sebuah jawaban.”



Namun memang, kedatanganku adalah berpatok ke pondok yang diasuhnya, dan aku pernah nyantri di sana. Tapi tujuan utamaku bukan untuk pondok, tapi beliau. Beliaulah yang kutuju. Selain itu, adalah rencana-rencana yang datang kemudian. Jauh hari pernah kutuliskan sebuah sajak:



Bagaimana kujelaskan tentang maksud kedatanganku

Wahai yang membuatku datang padamu

Logiskah jika kukatakan, “Aku ingin mendatangimu.”?

Ya, aku pun heran kejadianku



Tapi aku begitu tidak sabar menunggu jawabnya. Maka kutelfonlah beliau. Kataku, “Aku telah sampai di Semarang, tadi, sekitar jam 2 nan.”



“insyaallah besok minggu ke sana.” jawabnya.



Yang kemudian kututup telfonnnya. Karena aku pun berkata, “Aku lelah. Tidur di pondok dulu lah.”



Tatkala sampai di pondok, sebagian teman terkejut sekaligus mempertanyaku tentang kejadian-kejadianku yang telah berlalu. Silih berganti, pertanyaannya semacam itu dan sepadan. Tatkala kami sedang asyik berbincang-bincang. Tiba-tiba sebuah pesan datang kepadaku. Adalah dari beliau, “Kaswadi besok ke tempatku.”



Duh betapa bunganya hati. Mendapati kabar yang ditunggu. Yang memang, adalah sebuah rencana besok datang ke tempatnya. Pikirku, “Bagaimana pun caranya. Pasti bisa sampai di sana.” Namun kemudian kubalas dengan, “Iya, nanti Kaswadi dicari.” Dalam hati pun aku berkata, “Dan dialah menunjukan sendiri jalan termudah bagiku menuju ke tempatnya. Memang. segalanya, adalah penting untuk sabar.”

**

Belum ada Komentar untuk "Alamat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel