Rindu

 
Kau ingin menemuinya. Sangat ingin bisa menemuinya. Hatimu sudah tidak komprom untuk segera menemuinya. Sangat ingin menemuinya. Memandang dengan matamu. Dengan matamu. Tidak ada aling-aling. Tidak ada tirai untuk memandangnya.

“Selain itu,”

Kau ingin bersamanya. Selalu bersamanya. Kau telah bosan dengan hidup yang berputar-putar. Lingkaran kehidupan membuatmu bosan. Hukum-Nya membuatmu ketakutan. Tatanan-Nya membuatmu kewalahan. Pokoknya, kau ingin bersamanya. Kau telah bosan dengan percikan rasa dalam hatimu.

Kadang senang, kadang sedih. Kadang gembira, kadang berduka.

Kau ingin bersamanya. Berharap lepas-sudah segala rasa. Meminta tidak mempunyai rasa.

“Lalu,” balasku simpel. Terus mengejar, seoalah-olah ingin mengorek tentang kebuntuhan cara pikirmu.

Katamu, kalau bukan rasa penasaran dalam dirimu tentu kau tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Toh, kebanyakan itu adalah keingianan dirimu dan jawaban itu adalah kehendakmu.

Kau tak bisa melepaskan pertanyaanmu.

“Diam...!” batinmu berteriak. Tapi kau merindukannya.

Ya. Apakah ini adalah perasaan rindu sungguh?

Kau tidak merindukannya. Pokoknya, kau ingin bersamanya. Yang menguasai seluruh alam semesta. Yang menjadikan alam rasa berserta isinya. Kau anggap, tidak ada umpama untuk disandarkan padamu.

Kau bukan mencintainya, tapi kau berharap bisa bersamanya. Kau bukan merindukannya, tapi kau berharap bisa menemuinya.

Supaya hatimu lega. Supaya lega.

Kau memang, tidak pernah lega. Belum lega-lega. Tatkala keinginanmu belum terkabulkan secara nyata. Bila kau katakan kepada orang-orang, dengan mudah mereka mengatakan.

“Sabar. Sabar. Kamu pasti menemuinya.”

Jawaban simpel membuatmu geram.

Agaknya tidak ada jawaban lain selain sabar. Atau memang, sabar adalah tingkatan tertinggi untuk menjawab sesuatu. Sesuatu yang tidak terlihat bagaimana rupanya. Katamu, sabar itu tidak berwujud dan manusia yang mewujudkannya. Sabar itu bukan makluk, tapi sabar ada dalam makluk.

Sampai larut malam. Kau terus saja berpikir tentang keinginanmu. Membuat sketsa dalam kepala. Mengurai kata-kata pada otakmu. Tidak ada yang mengetahui kau berpikir begituan. Manusia tidak bisa melihat pikiran orang lain. Manusia bukanlah komik yang tertera kata-katanya.

Kemisteriusan manusia adalah berada pada otaknya. Hati adalah pusara tentang segala tingkah. Tingkah laku sekarang adalah cermin hatimu. Tatkala kau gembira, wajah atau ekpersi memantulkan kegembiraan. Tatkla kau pusing: tingkah laku, kata-kata ikut menjadi pusing. Dan pusing akan reda bila tidur tiba. Benar-benar hilang bila tidur tidak merasa. Tidak bermimpi. Tidur kosong. Tidak bayang-bayang dalam tidurmu. Sebab mimpi adalah kehidupan kedua yang tidak bisa dihelak. Orang-orang mempunyai mimpi. Tapi mimpi itu tidak perting untuk dikabarkan kepada siapa sapa.

“Apakah baru saja aku bermimpi? Apakah baru saja aku tertidur?”

Ah kau terheran pada dirimu. Tentang pikiran yang merambat dalam otakmu. Bahkan siang bolong begini kau memikirkan tentang Tuhan. Tentang Dia yang maha segala. Tentang cinta dalam hati.

Sesungguhnya cinta tidak pernah tersembunyi. Pikiranmu menyeret tentang pemuda yang jatuh cinta kepada perempuan. Kau tertawa. Kau tersenyum. Kau tidak mempunyai perempuan untuk dicintai.

“Bohong!” batinku menyela. “Kamu mencintai perempuan!” imbuhnya. “Kamu mencintainya.”

Ya, kau mencintainya. Tapi cinta itu adalah selalu misterius bagi dirimu, hanya kau seorang yang mengetahui tentang perasaan cinta. Agaknya, harus dikatakan bahwa kau tidak mencintainya. Tapi kau memikirkannya. Kau merindukannya untuk bertemu. Kau merindukannya untuk sebuah pertemuan.

Siang bolong. Kau dipaksa untuk membayangkan wajahnya. Wajah terindah dengan senyum yang membuatmu gembira.

“Jangan hanya sekadar dalam pikiran. Jangan sekedar dalam pikiran!” batinku kembali protes.

Dengan segera kau menyalakan kendaraan. Menuju ke tempat dia bekerja. Mengintipnya. Sekedar mengintipnya. Dari kejauhan. Tidak terlihat bahwa kau menunggunya. Tidak terlihat bahwa kau merindukannya. Kau terpaku menatap pintu yang tidak ada dirinya. Kau membayangkan sang perempuan berjalan mengampirimu.

“Dia di dalam sedang bekerja. Untuk apa aku menunggunya. Untuk sekedar melihatnya? Untuk apa? Aku jadi heran dengan kejadian hari ini. Apakah ini yang disebut cinta. Atau inilah adalah kerinduan. Ya, aku merindukannya. Tapi tak juga sempat kunyatakan kerinduanku padanya.”

“Sedang apa?” tanya seorang, “Menunggu?” imbuhnya.

“Iya,” balasmu. Dia tukang parkir. “Baiklah, saya parkirkan kendaraan.”

“Aku lihat. Engkau sedang gembira. Dari tadi engkau tersenyum-senyum sendiri,” katanya.

“Ya, aku bahagia. Alasan apa yang membuat kita harus menderita?” balasmu.

Dia tidak membalas. Tersenyum. Dan mendadak dipanggil seorang yang akan keluar dari parkirannya. Sambil berjalan dia berkata, agak keras, “Orang yang jatuh cinta, memang selalu bahagia. Selalu bahagia.”

Kau membalas dengan agak keras, “Alangkah baiknya bila kita selalu jatuh-cinta.”

Kau duduk lepas. Tidak ada sesuatu yang menghiburmu kecuali membayangkannya. Tidak ada sesuatu yang mengembirakan kecuali mengadakannya dalam pikiranmu. Tidak ada. Tidak ada.

Kelihatannya kau duduk santai. Bagai tidak ada pikiran. Bagai tidak terbaca apapun kecuali menunggu sesuatu yang sangat menggembirakan. Gerakanmu tidak bagai menunggu. Tatapanmu tidak bagai mencari. Kau duduk, mengahadap tepat menjurus pintu. Selalu itu. Tak disangka. Seorang perempuan berjalan dari balik pintu. Pintu transaparan. Wajah putihnya. Membuat bibirmu menyedet seketika. Perempuan itu berdiri dan menyedakepkan tangannya. Membalas salam kepada lelaki tua yang melambaikan tangannya.

Kau telah puas melihatnya. Kau telah lega melihatnya. Walau tidak ada kata-kata terbang untuknya. Walau tidak ada aduan mata. Tetap saja membuatmu bahagia.

Ditulis 2013 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Rindu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel