Kiriman Kitab Majmu’ Ibnusina Kubro Fi Ulumil Ruhaniyah
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Aku terganggu dengan sebuah kata dari guruku tatkala aku bercerita, aku pun saat ini mengaji kitab majmuk ibnusinakubra fi ulumil ruhaniah—katanya, minta dicopykan lalu dikirimkan:
Kata hatiku, mengapa harus dicopykan dan ingin membaca? Tidakkah di sana tidak-ada? Tidak adakah yang menjual? Terlebih lagi: untuk apa mengaji kitab ini—saya pun sebenarnya tidak mengetahui, mengapa harus mengaji kitab ini? Kitab yang terkesan, payah terlebih lagi, sulit dipraktekkan. Batinku, bagaimana kitab ini bisa berjalan olehku kalau tidak ada praktek dari diriku:
Untuk memahami ‘ilmu’ maka ilmu itu harus dipraktekkan. Ilmu itu harus dilaksanakan, tidak sekedar ‘ngangkrak’ di dalam kitab. Tidak sekedar menjadi sebuah ‘teks’. Lantas apa yang saya dapatkan dari kitab ini? adalah tentang gambaran tentang transenden, tentang komunikasi diluar-nalar, tentang sesuatu yang jauh dari jangkauan pengetahuan.
Baiklah kusebutkan pengarangnya adalah Ibnu Sina, ahli filsafat juga terkenal dengan ahli-pengobatan, teks utamanya diterjemahkan dan menjadi pedoman buat orang-orang eropa kala itu: lalu dia mengarang tentang ilmu ini, yang sarat, dengan sesuatu yang ‘tidak-masuk’ di akal:
Kajian hal-hal mistis.
Kajian hal-hal sihir.
Kajian hal-hal yang aneh.
Kataku, beginilah dunia islam-sesungguhnya—tingkat idealisme yang sangat tinggi, tentang jalinan manusia dengan mahluk-mahluk yang lain, tentang para malaiakat, tentang para jin, para setan.
Aku yang mengambil jurusan filsafat, terlebih lagi, pola-pikirku yang cenderung kepada sesuatu yang bersifat rasio, kini harus dipertemukan dengan kajian yang transenden. Dan aku harus meyakini: kuat-kuat meyakini, bahwasanya ‘ada malaikat’ ada jin, adalah mahluk-mahluk lain di dunia ini.
Memang sejak dulu aku percaya akan hal itu, namun diriku tidak tergiring untuk mengenali lebih jauh tentang hal itu. tidak berusaha untuk memahami hal tersebut, karena ‘cangkang’ pemikiran manusia telah digariskan untuk memahami sesuatu yang itu sesuai dengan dirinya, sesuai dengan kemampuannya. Sejauh ini, arah keislamanku adalah tentang al-quran, dan al-quran tentu ada sesuatu tetang malaikat dan sebangsanya. Namun orientasi al-quranku adalah tentang pemahaman menyeluruh tentang al-quran dan tawaran realitas ke-al-quranan.
Baiklah kulerai begini:
Tatkala manusia berusaha memahami al-quran, maka kajian al-quran akan dilerai lagi:
Apakah dia akan mengkaji secara syariatnya?
Tentang hukumnya?
Tentang kisahnya?
Tentang tajwidnya?
Tentang bacaannya ‘bahasanya’?
Tentang tafsirnya?
Tentang hafalan al-quran?
Al-quran itu telah menjadi kajian yang luas. Dan orientasi saya adalah tentang hafalan, tentang kepuitisan dari al-quran: tentang kebahasaan al-quran. Itu sebabnya, keislaman saya cenderung kepada hal tersebut: al-quran menjadi pondasi kuat dari diri saya—pondasi yang terus menerus disempurnakan—yang basic orentasinya, hafalan, kepuitisan al-quran dan kebahasaan al-quran. Maka ilmu-ilmu yang lain adalah untuk memperkuat itu:
Kajian filsafat adalah gabungan daya untuk lebih jeli memahami al-quran, yang terhapal, dan lebih terpuitiskan, dan selanjutnya mendapatkan ‘kebahasan al-quran’
Kajian sejarah adalah penguatan tentang penangkapan al-quran.
Kajian budaya adalah tentang penyampaian keputisaan tersebut.
Wal-hasil, kecenderungan, menggunakan rasio, kental dengan hal-hal rasio, maksudnya: berusaha menggabungkan satu sama lain tentang isi al-quran, yang itu demi tujuan awal.
Dan sekarang, saya harus dihadapkan pada sesuatu yang bersifat jauh dari jangkauan nalar, jauh dari jangkauan pemikiran—sebenarnya ini mudah, saya hanya sekali lagi harus percaya bahwa memang benar adanya: tentang sihir, tentang malaikat, dan ada ilmu-ilmu tentang ‘keajaiban’-‘keajabian’ yang lain.
Harusnya aku tidak cemas dan galau terhadap tersebut. Indonesia telah terbiasa dengan namanya ‘kanugaran’, ‘aji-ajian’ dan ‘dukun’, sihir.
Selanjutnya, saya mengonfirmasikan apa katamu, dan kutanyakan pada guruku:
kitab niki (Majmu Ibnu Sina kubra fi ulumil ruhaniyah) tumbase teng pundi? Rencang kulo anjeng tumbas?
(kitab ini belinya dimana? Teman saya mau membeli?)
Jawabnya, kalau mau dipoto copy, kalau beli di pringesewu (kabupaten) tidak ada.
Lalu sesaat kemudian. Dia berkata, yang intinya, ‘kitab ini harus mempunyai guru, sebab ada barokah dari guru.’ Begitulah katanya. Yang batinku:
“Benar, kalau tidak mempunyai guru. Dikhawatirkan seorang murid akan melampaui batas. Si murid akan bertindak yang tidak-tidak. Sebab kitab ini, isinya memang tidak untuk main-main. Bisa kacau kalau digunakan orang yang sarat ambisi, sarat akan nafsunya—lha saya: sejauh ini, saya pun belum menikmati kitab ini, nikmat dalam arti masih bertanya-tanya: mengapa saya harus mengaji kitab ini? mengapa harus saya? Kupikir saya orangnya sangat rasional, kupikir—
Sebab saya terganggu dengan mengirimkan kitab ini, maka untuk menghilangkan ‘ketergangguan’ aku kirimkan kitab itu— sekali pun aku masih bertanya-tanya: mengapa beliau meminta dikirimkan! Mengapa harus dariku? Mengapa! Bukankah dia berada di jawa—bukankah kalau mau, dia tinggal konfirmasi kepada Kiai lain, yang sekiranya mempunyai pengetahuan tentang kitab tersebut: dan mengapa harus ‘aku’?
Jawabku, aku tak perduli tentang hal tersebut, yang kuperdulikan adalah bahwa saya lebih ‘menjalin dengannya.’ Itu saja.
2017
Belum ada Komentar untuk "Kiriman Kitab Majmu’ Ibnusina Kubro Fi Ulumil Ruhaniyah"
Posting Komentar