Santri di Zaman Postmodern
Minggu, 15 Januari 2017
Tambah Komentar
Apa itu zaman postmodern? Yakni, zaman sekarang: para filsuf sering mengatakan bahwa zaman yang sekarang ini—tentang melejitnya sains, tentang melesatnya sains, buktinya adalah alat-alat teknologi; televise, transportasi, dan internet—, zaman yang melampaui status modern. Beginilah sekarang, tepatnya zamannya: filsuf postmodern, Jean Baudrillard, mengungkapkan bahwa sekarang eranya simulasi, hiperrealitas.
Lantas, bagaimana kondisi santri di zaman postmodern? Di zaman yang serba canggih, serba jaringan, dikatakan bahwa di zamannya internet: kebenaran atau kepalsuan adalah seimbang. Jadi bagaimana status kondisi santri di zaman seperti ini.
Jawabnya, santri tetap selayaknya santri, yang sesuai dengan zamannya. Santri-santri tetap saja menggunakan alat-alat canggih, menggunakan alat-alat canggih, memakai produk-produk sains: santri pun tidak bisa lepas dari zaman ini, karena mereka juga berada pada zaman-ini, santri menikmati televise, menikmati transportasi, menikmati telekomunikasi. Hanya saja yang perlu santri ketahui:
Untuk meningkatkan itu, santri harus kembali pada tradisi hapalan—sekalipun dahulu juga, telah hapalan, ada hapalan al-quran, fikih, atau alat. Namun, tetap hapalan ini adalah upaya yang harus diseriuskan oleh santri, sebab nantinya, bersamaan dengan ‘hapalan’ dan bahkan hafalan itu diaktifkan: maksud diaktifkan adalah digunakan nalarnya sesungguhnya, sehingga santri benar-benar hafal terhadap apa yang dihapalnya. Dalam hal ini saya menamakan:
Nilai Hapalan
Nilai hapalan adalah bahwa santri harus benar-benar lanyah terhadap suatu teks yang dihapal, setelah itu barulah dikoneksikan dengan ‘nalar’ supaya hapalan tidak sekedar hapalan-burung-beo namun hapalan yang terlaksana. Dan tentu, ringkas tuntutannya:
Hapallah secara teks, segeralah
Selanjutnya ‘mengertikanlah’ teks, jangan terburu untuk memahami sebelum menghapal
Dan kemudian, pahamilah teks, sehingga benar-benar mengerti apa yang dihapalkan.
Ilmu menjadi sesuatu yang real, menjadi sesuatu yang nyata, tidak sekedar pandai hapalan, namun kosong pengamalan. Kosong praktek. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan, hapalkanlah tentang fikih, fikih yang sealiran dengan masa-kecil, atau fikih yang sesuai dengan lingkungan umum: oleh karenannya kitab fikih yang dihapalkan adalah kitab fikih yang umum. Mengapa demikian? Karena ulama-ulama pun berbeda-beda aliran, biasanya geografi mempengaruhi pola-pikir manusia: indonesianya, umumnya, kitab fikihnya adalah mabadi fikih, madhabnya Imam syafi’i.
Jika mabadi fikih telah lanyah, maka meningkatkan pada fikih selanjutnya. Dan ingatlah, proses tersebut bukanlah proses yang sebentar dan bukanlah proses yang ringan. Proses tersebut membutuhkan kedisiplinan dan ketekunan. Ringkas kata, kalau hapalan mempunyai nilai, maka keislaman bakal semakin kokoh dan menuju puncaknya.
Selanjutnya, sistematis:
Mengenakan jalur sistematis sangat penting. Hapalan tersistematis sangatlah penting. Jangan meloncat-loncat. Turutilah perkataan guru—guru yang mana—guru yang membukan dirimu tentang pengetahuan dan sesuai dengan zamannya. Kenalilah, sistematis ini sangat penting, sebab di zaman-informasi, kita bisa mendapatkan informasi kapan-saja, dan dimana-saja, padahal yang kita laksanakan adalah ‘realitas’ yang sekarang terjadi: banyaknya informasi bisa jadi menawarkan godaan. Oleh karenanya, tetaplah focus kepada apa yang dihapalkan, secara sistematis. Sekali lagi—untuk hal ini, sistematis, jangan dianggap remeh, sekalipun kayaknya hal ‘kecil’ namun ini sangat berpengaruh: keislaman sekarang, pastilah kembali ke hal-hal dasar, oleh karenanya tetaplah bernaung pada sistemasis.
Terakhir. Tanpa gadget?
Saya tidak sepenuhnya yakin, bahwa santri bakal meninggalkan gadget, namun ada juga keyakinan bahswa sangria pun bisa menjalani hidup tanda dengan gadget, mereka sibuk dengan teks demi teks, mereka sibuk menghafalkan banyak data. Namun, tidak bisa dipungkiri karena sekarang adalah masanya gadget, maka setiap santri yang membaca harus mengerti:
Status dirinya adalah pelajar
Harus ada pelajaran yang ditekuni
Harus konsentrasi pada pelajaran
Dan keberadaan teknologi adalah mendukung untuk keperluan keislaman, apa itu keperluan agama islam, adalah tentang tompangan kehidupan yang mau tidak mau harus dioleh sebaik-baiknya.
Keberadaan teknologi tidak bisa dicegah, sekarang zaman postmodern. Santri berada dalam zaman postmodern: mau tidak mau harus menikmati, kalau tidak menikmati, tentunya pasti, menikmati. Soal menikmati tidak langsung: tetap saja, inilah zamannya, tidak bisa diubah. Dengan tawaran hal tersebut, diharapkan santri mampu melejitkan semangat pengetahuannya, tujuannya untuk dirinya sendiri, umumnya, untuk kemanusiaan muslim yang berada di indeonesia, dan lebih umum adalah untuk umat islam. Demikian…
Lantas, bagaimana kondisi santri di zaman postmodern? Di zaman yang serba canggih, serba jaringan, dikatakan bahwa di zamannya internet: kebenaran atau kepalsuan adalah seimbang. Jadi bagaimana status kondisi santri di zaman seperti ini.
Jawabnya, santri tetap selayaknya santri, yang sesuai dengan zamannya. Santri-santri tetap saja menggunakan alat-alat canggih, menggunakan alat-alat canggih, memakai produk-produk sains: santri pun tidak bisa lepas dari zaman ini, karena mereka juga berada pada zaman-ini, santri menikmati televise, menikmati transportasi, menikmati telekomunikasi. Hanya saja yang perlu santri ketahui:
Untuk meningkatkan itu, santri harus kembali pada tradisi hapalan—sekalipun dahulu juga, telah hapalan, ada hapalan al-quran, fikih, atau alat. Namun, tetap hapalan ini adalah upaya yang harus diseriuskan oleh santri, sebab nantinya, bersamaan dengan ‘hapalan’ dan bahkan hafalan itu diaktifkan: maksud diaktifkan adalah digunakan nalarnya sesungguhnya, sehingga santri benar-benar hafal terhadap apa yang dihapalnya. Dalam hal ini saya menamakan:
Nilai Hapalan
Nilai hapalan adalah bahwa santri harus benar-benar lanyah terhadap suatu teks yang dihapal, setelah itu barulah dikoneksikan dengan ‘nalar’ supaya hapalan tidak sekedar hapalan-burung-beo namun hapalan yang terlaksana. Dan tentu, ringkas tuntutannya:
Hapallah secara teks, segeralah
Selanjutnya ‘mengertikanlah’ teks, jangan terburu untuk memahami sebelum menghapal
Dan kemudian, pahamilah teks, sehingga benar-benar mengerti apa yang dihapalkan.
Ilmu menjadi sesuatu yang real, menjadi sesuatu yang nyata, tidak sekedar pandai hapalan, namun kosong pengamalan. Kosong praktek. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan, hapalkanlah tentang fikih, fikih yang sealiran dengan masa-kecil, atau fikih yang sesuai dengan lingkungan umum: oleh karenannya kitab fikih yang dihapalkan adalah kitab fikih yang umum. Mengapa demikian? Karena ulama-ulama pun berbeda-beda aliran, biasanya geografi mempengaruhi pola-pikir manusia: indonesianya, umumnya, kitab fikihnya adalah mabadi fikih, madhabnya Imam syafi’i.
Jika mabadi fikih telah lanyah, maka meningkatkan pada fikih selanjutnya. Dan ingatlah, proses tersebut bukanlah proses yang sebentar dan bukanlah proses yang ringan. Proses tersebut membutuhkan kedisiplinan dan ketekunan. Ringkas kata, kalau hapalan mempunyai nilai, maka keislaman bakal semakin kokoh dan menuju puncaknya.
Selanjutnya, sistematis:
Mengenakan jalur sistematis sangat penting. Hapalan tersistematis sangatlah penting. Jangan meloncat-loncat. Turutilah perkataan guru—guru yang mana—guru yang membukan dirimu tentang pengetahuan dan sesuai dengan zamannya. Kenalilah, sistematis ini sangat penting, sebab di zaman-informasi, kita bisa mendapatkan informasi kapan-saja, dan dimana-saja, padahal yang kita laksanakan adalah ‘realitas’ yang sekarang terjadi: banyaknya informasi bisa jadi menawarkan godaan. Oleh karenanya, tetaplah focus kepada apa yang dihapalkan, secara sistematis. Sekali lagi—untuk hal ini, sistematis, jangan dianggap remeh, sekalipun kayaknya hal ‘kecil’ namun ini sangat berpengaruh: keislaman sekarang, pastilah kembali ke hal-hal dasar, oleh karenanya tetaplah bernaung pada sistemasis.
Terakhir. Tanpa gadget?
Saya tidak sepenuhnya yakin, bahwa santri bakal meninggalkan gadget, namun ada juga keyakinan bahswa sangria pun bisa menjalani hidup tanda dengan gadget, mereka sibuk dengan teks demi teks, mereka sibuk menghafalkan banyak data. Namun, tidak bisa dipungkiri karena sekarang adalah masanya gadget, maka setiap santri yang membaca harus mengerti:
Status dirinya adalah pelajar
Harus ada pelajaran yang ditekuni
Harus konsentrasi pada pelajaran
Dan keberadaan teknologi adalah mendukung untuk keperluan keislaman, apa itu keperluan agama islam, adalah tentang tompangan kehidupan yang mau tidak mau harus dioleh sebaik-baiknya.
Keberadaan teknologi tidak bisa dicegah, sekarang zaman postmodern. Santri berada dalam zaman postmodern: mau tidak mau harus menikmati, kalau tidak menikmati, tentunya pasti, menikmati. Soal menikmati tidak langsung: tetap saja, inilah zamannya, tidak bisa diubah. Dengan tawaran hal tersebut, diharapkan santri mampu melejitkan semangat pengetahuannya, tujuannya untuk dirinya sendiri, umumnya, untuk kemanusiaan muslim yang berada di indeonesia, dan lebih umum adalah untuk umat islam. Demikian…
Belum ada Komentar untuk "Santri di Zaman Postmodern"
Posting Komentar