TAKJUB: Membaca: Menghidupkan Yang Telah Mati



“Ada sesuatu yang aneh padaku?” katamu selepas magrib malam jumat kepadaku, dengan nada terburu, seakan-akan gerak-gerikmu menunjukan ‘benar’, bahwa keanehan telah terjadi kepadamu. Dari itu bersegeralah kukatakan,

“Tenanglah, tenang!” jawabku sambil mengarahkan kepala kepadanya.

Tapi kau tetap dalam keadaan yang tergesa-gesa. Ya, seakan-akan keadaan itu kau benar-benar ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Penting sekali. Maka aku tinggalkan saja, kau di ruang tamuku, sambil kukatakan, “Tunggulah sebentar, aku ke belakang sebentar,” turutlah kau dengan langkahku.

Turutlah kau ke dapur, merebus air dan mempersiapkan teh untuk pembicaraan.

Katamu, “Entah mengapa hari-hari ini, aku begitu sangat dekat dengan orang-orang yang telah tiada.”

“Nah, intonasi bicara begitu ‘kan enak didengar!” jawabku.

“Sory… hari-hari ini aku memang merasakan benar efek dari membaca.”

“Maksudnya bagaimana?”

“Rupanya, sekarang-sekarang ini aku selalu membaca orang-orang yang telah mati,” jawabmu nyeplos tanpa prolog, tanpa embel-embel kata lain. Maka, kutunggu saja kau berbicara lagi. Pikirku, “Ia belum selesai bicara, biarkanlah ia berbicara tentang apa yang ingin di sampaikan!”

“Bahkan koleksi buku-bukuku 99 %, pengarangnya telah mati. Berarti jika aku kerap berinteraksi: aku berinteraksi dengan orang-orang yang mati!”

“Bukannya seharusnya begitu?”

“Memang benar, seharusnya begitu: tapi entahlah, mengapa baru sekarang aku benar-benar merasakannya.”

“Maklum sajalah,” jawabku singkat.

“Maklum bagaimana?” tanyanya kemudian.

“Bukannya kamu benar-benar menjiwai pembacaan adalah baru-baru dekat ini?”

“Ya..!”

“Wajarlah jika kamu merasai hal-hal semacam itu: sebab seorang pembaca, belum tentu paham benar terhadap apa yang dibaca. Bisa jadi, mereka membaca adalah sekeda membaca, artinya Cuma memberlalu-lalangkan terhadap apa yang dibacanya. Maksudnya tidak benar-benar diresapi terhadap bacaannya.”

Kau terdiam, mendengar penjelasanku, sambil melihat teh yang diracik, sambil bersama melangkahkan kaki menuju ruang tamu, dan meletekkan cangkir teh di meja.

“Lihatlah buku ini,” kataku meneruskan di depan lemari buku yang terletak diujung ruang tamu.

“Bacalah,” imbuhku.

Kau pun mengikuti saranku, “Sekarang, apa yang kamu bayangkan?”

“Aku bagai berinteraksi dengan sang penulis! Aku bagai dekat dengannya: seakan-akan ia sedang mengguruiku. Seakan-akan kami sedang duduk bersama di suatu tempat. Seakan-aka adalah murid spesialnya. Seakan-akan aku berusaha menggambarkan bagaimana dengan wajahnya. Seakan-akan apa yang disampaikan adalah didedikasikan untukku saja. Memang, luar biasa dengan buku,” katamu dengan intonasi menggebu, yang seakan-akan kau menyampaikan pengalaman membacamu sejauh ini.

Bahkan kau menambahkan, “Jadi, sejauh ini, koleksimu, juga koleksiku adalah mengoleksi orang-orang yang telah mati, dan memindahkan di rumah kita?”

“Benar, sebab, mungkin, kita mencintai orang-orang terdahulu, atau lebih tepatnya menyukai sejarah maka pembacaan kita adalah pembacaan orang-orang mati, artinya kita seakan-akan mengadakan orang-orang yang telah mati—dan itu apabila diceritakan kepada orang, belum tentu mereka sepakat bahwa kita mengadakan orang yang telah mati. Kalau kita tidak menerangkan hal tersebut.”

“Jadi, pentingkah kita menerangkan orang-orang selain kita! Sebenarnya penting. Namun, jangan salah, di lingkungan kita adalah orang-orang yang membaca, di lain sisi, banyak dilingkukangn kita yang mengetahui isyarat sebagai berikut, “Apabila ingin mengetahui Allah, maka bacalah Al-quran,”

Mungkin,

Orang-orang tidak meresapi terhadap anjuran tersebut. Orang-orang sekedar membaca ini-itu menurut ayat-ayat Al-Quran. Memang sah-sah saja, akan tetapi, apabila mereka benar-benar mengetahui kandungan al-quran, tentu lebih meresapi dan merasakan benar bahwa ia interaksi kepada Allah. Bukannya kita tahu, bahwa Al-Quran adalah kalam dari-Nya?”

Kau menambahi, “Maka dari itu penting untuk belajar!”

“Betul sekali,” jawabku singkat.

Ketika kau menambahi dan baru sampai pada, “Oleh karena itu…” mendadak kami mendengar tangisan dekat rumah—rumahnya yang terbatasi dari 2 rumahku, yang lama ke lamaan suara itu terdengar kerasnya. Tangisan histeris adalah mengundang hati untuk gelisah. Maka kau berkata, “Mari kita ke sana…”

“Tenanglah, mari berusaha tenang!”

“Ketika mendengar tetangga menjerit, kamu masih bilang ‘tenang’?”

“Sesungguhnya aku masih belajar untuk tenang dan berusaha tidak terkagum dengan apa-apa yang terjadi,” jawabku, menenang-tenangkan diri, sesungguhnya aku pun masih gundah mendengar jeritan di dekat rumahku. Namun degan segera kuimbuhi, “Bukannya kematian adalah sesuatu yang bakal terjadi? Bukannya kesedihan selalu menyertai bila manusia mendapatkan bahagia?”

“Benar, tapi…”

“Tidak ada tapi-tapian,” kejarku.

“Sekarang,” imbuhku, “Mengapa kita tidak berusaha belajar bersabar sedikit saja?”

“Asli! Saya masih belajar bersabar,” jawabmu.

“Bukannya kesabaran itu akan dicoba apabila terdapat masalah? Dan bukankah teriakan itu adalah sebuah masalah?”

“Benar sekali katamu,” jawabku melemah, seakan-akan berusaha keras menerima alasan logis. Namun, derapan langkah yang terdengar menimbulkanku untuk berkata, “Dengarlah, derapan langkah tersebut! Pantaskah jika kita menilai bahwa saat ini ia sedang terburu-buru?” sehingga terdengarlah salam.

“Silahkan masuk,” jawabku.

“Disini saja,” jawabmu terburu dan meneruskan, “Sampaikan pada ayahmu, bahwa istri dari tetangga, meninggal!”

“Innalihi wa innalhirajingun… insyaalah kusampaikan,” jawabku seketika,  kau pamit undur diri, dan kemudian kukatakan kepadamu, sambil berjalan menuju ruang mushola bapak berada, “Bukannya benar apa dugaanku? Terlebih lagi, kutanyakan padamu.. Bagaimana pendapatmu terhadap kematian?”

Kau berkata, “Kematiannya adalah lumrah, dan syukurlah kalau ia telah meninggal!”

Aku hanya memanggut diam, dan dalam hati mengatakan, “Alhamdulilah telah di wafatkan yang parah dengan penyakitnya, kukira ia telah merasakan bagaimana sakit di usia muda dengan waktu yang tidak sedikit.”

Dan mereka berjalan, keluar rumah dengan santainya. Pikirannya telah terarah, bahwa kematian adalah biasa. Apalagi bagi seorang aktif membaca, sekedar menjadi kenangan adalah biasa, mungkin, bagi si yang meninggal itu tidak akan betah bertahan lama untuk menjadi kenangan.

Mungkin,

Akan terkenang 50 tahun kedepan. Atau 100 tahun, atau seribu tahun namanya akan pudar, tinggal menjadi nama. Kalau, kiamat belum datang.

Sebab katanya, “Bisa jadi kiamat sudah dekat,”

Mungkin,

Mereka bisa berjalan santai karena yang meninggal bukan siapa-siapa kecuali tentangga rumah. Entah ketika meninggal ibunya, ayahnya atau istrinya: masihkah ia tidak terkagum dengan kejadian tersebut? Sebab saat ini, mereka masih sekedar berprinsip, “Upaya tidak kagum terhadap sesuatu, sebab sesuatu itu (disini—dunia) akan sirna dari kita, atau umur kita yang sirna duluan.”

Ditulis 2013 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "TAKJUB: Membaca: Menghidupkan Yang Telah Mati"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel