Efek Mengaji Era Internet
Jumat, 20 Januari 2017
Tambah Komentar
Sekarang, orang-orang bisa mengoneksi dengan siapa-pun, makna hidup telah bergeser menjadi ‘serba-jaringan’ terlebih lagi, dukungan maraknya ‘gadget’ maka semakin merajalela tentang komunitas technology, kesibukan dengan technology, mesin dimana-mana, colokan dimana-mana, mati lampu sudah geger. Geger karena kapasitas bateri tidak mencukupi. Ngaji bertemu guru, mulai ‘meredup’ alasannya, karena saat bertemu bisa disentuh perasaannya, marah yang tak terbalas, dan terlebih lagi, kalau ‘belum’ menemukan guru yang cocok, maka si murid, kabur, karena dia ‘tergeregah’ mau mengaji, akhirnya dia membuka internet.
Mencari guru yang setidaknya ‘diksi’ atau tema yang dia mau dipahami, lau dia ‘klik’, maka terbukalah apa yang dia mau.
Bisa juga, karena dia ‘mendadak’ hendak tobat, maka dia mencari guru untuk mengaji: karena tatkala mendatangi guru ngaji malu, sebab sebelum ini belum mengaji, wal-hasil dia membuka internet. Maka efeknya:
1. TIDAK SISTEMATIS
Sebagaimana fisafat zaman postmodern, adalah serta acak, atau lompatan pemikiran, maka para pengkaji juga melompat-lompat. Si murid sesuka hati mencari apa yang dia mau. Pelajarannya melompat ke sana kemari.
Apakah salah?
Jawabku, memangnya salah. Toh sejauh ini, realitas-manusia mendapatkan pengetahuan adalah meloncat-loncat: buktinya, begini—mengaji itu berdurasi waktu, paling mentok 2 jam. Lalu selanjutnya digunakan untuk apa? Tentu tidak untuk mengaji semua, digunakan untuk yang lain. Nah, waktu kegiatan yang lain itulah, yang kemudian mempengaruhi ‘pola-pikir’ dan pertambahan pengetahuan. Wal-hasil, pengetahuan yang didapatkan si murid, bertambah-tambah. Tambahan yang tidak sistematis. Sistematis kalau dia mengaji-realitas, selain itu, sembarang-sembarang.
2. ATURAN SENDIRI
Bersamaan dengan ketidak-sistematisan, maka si murid membuat aturannya sendiri. Sesuka dia mau membuat aturan. Mengaji adalah milik aturannya sendiri. Sebab dia tidak mempunyai guru: guru adalah sesuatu yang bersifat sistematis. Guru adalah sesuatu yang sifatnya formal. Entah itu formal kelas, atau formal pondok pesanteren. Selanjutnya, bebas—bebas dalam arti, ‘aturan’ si murid sendiri. Kalau mau mengaji, kalau tidak, ya tidak mengaji. nilai sudah tidak berarti, yang penting ilmu.
3. MENJELMA KOMUNITAS
Sekali pun ini ranah individualis, kalau si murid cocok, maka si murid esok akan datang lagi, menjenguk lagi, mencari lagi—begitulah. Akhirnya, menjadi komunitas. Komunitas yang mengarahkan untuk pertemuan dengan tujuan yang sama: yakni, komunitas yang bertujuan sama.
Apakah salah?
Jawabku, memangnya sejak dulu tidak terbentuk komunitas. Sejak dulu telah dikotak-kotakan kok. Sejak dulu memang seperti itu. komunitas para penulis-kapur, guru. Komunitas tani, para petani. Komunitas pasar, orang-orang pasar. Komunitas sampah, tukang-tukang sampah. Komunitas kebaikan, orang-orang baik. Komunitas sakit, orang-orang di rumah sakit. Hanya saja, zaman sekarang lebih runyam komunitasnya, lebih meledak, lebih rumit, lebih banyak, lebih fantastis. Lebih.. lebih… inilah yang namanya: hiper. Melampaui.
4. MENURUTI KEMAUAN SENDIRI
Wal-hasil, itu semua karena adanya ‘kemauan’ sendiri. Ngaji pun kemauan sendiri. Tema ngaji tentang kemauan sendiri.
Apakah salah?
Jawabku, memangnya seperti itu salah. Bukannya sejak dulu orang mengaji juga harusnya didasari kuat oleh ‘kemauan’ sendiri, sehingga murid semangat untuk mencari ilmu, dan sibuk dengan dunia keilmuan. Sibuk dengan komunitas keilmuan. Sibuk dengan apa yang dia mau. Akhirnya dia bekerja dengan apa yang dimau. Akhirnya bekerja dengan gembira. Akhirnya, mati juga. Haha
5. ETIKANYA BEBAS
Sebenarnya inilah tema yang pokok dipersoalkan, tatkala mengaji era internet, etikanya, atau akhlaknya, bebas. Artinya bebas, tentu terserah si murid, sebab si murid tanpa adanya pengawasan dari guru. Maka si murid bisa sambil tidur-tiduran. Bisa samba rebahan. Bisa sambil jegang. Bisa sambil makan. Bahkan bisa sambil jalan.
Apakah hal itu salah?
Lantas baiknya bagaimana:
Si murid harus duduk yang rapi.
Si murid tidak boleh sambil tiduran.
Si murid duduknya harus menghormati guru.
Si murid tidak boleh mendengarkan sambil berjalan.
Si murid tidak boleh sambil makan.
Lantas baiknya bagaimana? Dan apakah hal itu salah? Lha medianya itu kecil: haruskan si murid duduk tahiyat akhir. Atau duduk bersila.
“Kamu sedang apa? Khusuk banget!”
Jawabnya, ssttt… saya sedang mengaji!
Apakah begitu?
*baca: mengaji era internet
Belum ada Komentar untuk "Efek Mengaji Era Internet "
Posting Komentar