Di Sekitar Masjid



“Jadi kita ingin meniru kampung Abu Nurikhasf?”

“Iya.”

“Bagaimana dengan Masjid yang mepet dengan rumah masyarat?” kata Anas kemudian.

“Kita bisa secara iuran membeli rumah yang paling dekat denganya.”

“Mana mungkin,” sambut Robit. “Darimana kita mendapatkan uang untuk hal tersebut? Atau mana mau orang yang disampingnya akan dibeli!”

“Kita harus meniru gaya kampung Abu Nurikhasf: di sana, dibeli demi kepentingan bersama. Tawar dulu, orang yang dekat dengan Masjid. Paling dekat, kemudian kita membelinya.”

Kampung Abu Nurikhasf memang menjadi bahan pembicaraan dan bahan acuan untuk menciptakan rakyat rukun dan sejahtera. Mengadakan agama sewajarnya saja. Begitulah tendensi kuat Kampung Abu Nurikhasf, tapi rupa-rupanya, kenyataan yang terjadi adalah kampung yang kuat dengan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah. Begitulah, kalau orang bertanya madhab apa: maka jawabnya adalah madhab ahlu sunnah wal-jamaah. Siapa imamnya? Tentu: orang tertinggi di kampung tersebut. Bila dikaitkan tentang agama, maka orang-orang yang beragama itulah petingginya. Dan pemimpin hanya memutuskan tentang keagamaan, tentang kesepakatan bersama.

“Jadi, kita penting mendirikan bangunan di dekat mushola?”

“Iya.”

“Siapa penghuninya?”

“Tentu, orang-orang yang ingin terus menerus ibadah.”

“Tapi siapa?”

“Orang yang ingin.”

“Tapi siapa?”

“Percayalah, di kampung Abu Nurikhasf, tidak ditarget siapa yang ingin tinggal. Orang-orang itu laksana datang dengan sendirinya untuk tinggal. Mereka menyerahkan harta keduniaan di ganti dengan ingin terus menerus ibadah.”

Kampung Abu Nurikhasf menjadi ukuran. Orientasi pembicaraan yang tidak berkenti. Sebabnya, adalah tentang kesejahteraan rakyat, dan berkaitan dengan orang-orang sekitar. Tidak tentang melulu tentang keduniaan, namun dapat dikatakan tentang keduniaan: karena berbasis desa keahlian. Terlebih lagi, benar-benar menyandarkan pada prinsip meniru Nabi. Termasuk pembuatan pondok.

“Jadi, bagaimana kita tahu bahwa orang-orang adalah orang yang getol terhadap akhirat.”

“Eist, jangan gegabah terlebih dulu. Orang-orang yang bakal datang adalah orang-orang yang kemungkinan besar bakal berdiri di saf salat paling depan. Jadi, jangan bicarakan dulu tentang akhirat. Tapi, bagaimana menjadi akhlaknya?”

“Intinya kita mau mendirikan lembaga di sekitar Masjid, begitu?” sambut Anas seketika.

“Yup...”

“Kalau tidak ada orangnya?”

“Ya, kita-kita yang mengisi.”

“Waduh,”

“Kalau bukan kita siapa lagi?”

“Seingatku, di kampung Abu Nurikhasf, siapa yang ingin tinggal adalah orang-orang yang ingin melepaskan tentang keduniaan. Bosan dengan aktifitas keduniaan. Selalu seperti itu.”

“Kalau semua orang masuk bagaimana?”

“Percayalah, di kampung Abu Nurikhasf tidak semua orang mau berada di sana.”

“Jadi, kalau kita mendirikan pondok di samping Masjid. Ah kok mendadak aku pusing sendiri,” kata Anas seketika. Menggaruk rambutnya. Mengambil gelas kopinya. Lalu menyeruputnya.

“Begini, Nas. Di kampung Abu Nurikhasf, ada sosok yang hebat. Ya, itu, Abu Nurikhasf sendiri. Sementara di tempat kita... Lagian, di sana juga ngajinya ketat. Sehabis magrib mengaji. Sehabis subuh mengaji. Jadi, maklumlah kalau ada tempat di sampingnya.”

Mereka yang membicarakan kampung Abu Nurikhasf bingung sendiri bagaimana hendak memulainya. Apakah langsung mendirikan pondok, atau bagaimana. Faktanya, kampung Abu Nurikhasf ketat dengan dunia islam.

“Konon, awalnya di sana, diperketat dengan mengaji.”

“Eits, jangan salah kamu. Awalnya adalah tentang pengiringan keahlian.”

“Ah kalian sok tahu,” balas Hobair seketika.

“Jadi awalnya bagaimana?”

“Aku juga tidak tahu,” balas Hobair cepat.

Memang, tatkala membicarakan kampung Abu Nurikhasf adalah penting membuka sejarahnya. Penting mengetahui kronologis tentang pembentukan. Tidak bisa diduga-duga dan ingin praktek seperti apa adanya. Ya, alangkah baiknya jika langsung mengharapkan tentang pondok zuhud di sekitar Masjid atau mushola kampung Abu Nurikhasf, tapi adalah berkala. Secara bertahap kampung Abu Nurikhasf bisa mendirikan. Tidak langsung.

Orang-orang terus saja membicarakan kampung Abu Nurikhasf sembari geleng-geleng takjub. “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa?” selalu seperti itu dan bibirnya nyedet karena tersenyum. Gembira, juga iri. Juga ngenes terhadap mereka sendiri.

Mereka adalah kaum beragama. Sudah selayaknya praktik seperti kampung Abu Nurikhasf. Hanya dengan mendatangi kampung Abu Nurikhasf bisa mengetahui sejarah berdirinya Pondok Zuhud. Memang sepertinya hanya sekedar pondok. Tapi rupanya, tidak sekedar pondok.

Kampung Abu Nurikhasf, memang bagai diwajibkan salat fardu. Tepatnya, terbiasa dengan salat fardu. Dari hal sepele itu, maka terciptalah pondok Abu Nurikhasf.

Awalnya, ketika orang-orang yang mengisi pondok adalah orang-orang yang renta, atau orang-orang yang ingin salat di sekitar pemimpinnya, Abu Nurikhasf. Ketika dhuhur, mereka senantiasa berada di Masjid, karena tidak ada rasa ingin pulang, maka mereka rebahan di serambi Masjid. Melihat hal tersebut, maka dibuatkan pondok istirahat. Itulah awalnya. Lambat laun. Tidak sekedar menjadi pondok istirahat. Lambat laun, orang-orang begitu sangat mencintai ibadah, ingin memasrahkan diri kepada Tuhan. Mereka tinggal di pondok Zuhud. Sebab di sana, disediakan makan secukupnya. Sebab prinsip mereka adalah dunia adalah gudang godaan. Awalnya, sang pemimpin tidak menghendaki hal tersebut. Tapi, apalah daya: sang pemimpin yang luas pengetahuannya, menyadari hal tersebut. Wal-hasil, tetap harus dilindungi, apalagi mereka adalah orang-orang yang taat.

Di tambah lagi, acara Masjid yang tidak ada henti-hentinya tatkala magrib. Ya, tatkala magrib diacarakan buka bersama. Mereka itulah berbuka di sana. Mereka cukup puas dengan apa yang ada. Mereka, adalah benar-benar orang yang patut diacungi jempol menanggapi tentang dunia yang hina dina ini. Namun, tanpa pemerintahan, tanpa ada campur pemerintahan, tentu mereka tidak bakal ada—sebab, mereka dan pemerintahan adalah saling menyaling.

“Katanya rumah sang pemimpin tidak disekitar Masjid.”

“Awalnya memang tidak. Tapi ketika sang pemimpin menua, dia pindah di sekitar Masjid.”

“Apakah sudah semestinya setiap pemimpin rumahnya pindah di sekitar Masjid?”

“Katanya sih, tidak. Yang ada, adalah sang imam adalah sekitar Masjid.”

“Bukannya pemimpin juga termasuk imam.”

“Ingat, disana itu pemimpin berusaha seadil-adilnya kepada rakyatnya.”

“Dia tidak sekedar mengimami masjid agung desa, tapi juga mushola demi mushola.”

“Jadi, intinya bagaimana? Kok malah membicarakan yang lainnya.”

“Intinya, masih direncanakan: apakah kita akan mendirikan pondok di sekitar masjid?”

“Agaknya harus.”

“Harus!” balas Anas terkejut.

Mereka, para peronda, sibuk memeta-petakan kronologis bagaimana dengan Kampung Abu Nurikhasf. Mereka menggambar-gambarkan degan pena seadanya. Sembari merangkaikan cerita. Dalam hati, mereka hanya terkagum sendiri dengan Abu Nurikhasf. Ada juga yang batinnya berkata, “Aku ingin melihat secara langsung bagaimana dengan Abu Nurikhasf. Benar apa gak sih yang diceritakan.”

Belum ada Komentar untuk "Di Sekitar Masjid"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel