Pondok Zuhud
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Kampung Abu Nurikhasf, memang menjadi inspirasi kampung yang lain. Termasuk Masjidnya. Kata yang datang, âMemang, masjidnya tidak begitu indah, tapi sungguh masjid ini membuatku lega.â
Dia, Muhammad Khobir, menggukan kepala dan meneruskan, âyang membuat lega adalah bukan karena bangunannya, tapi karena jamaahnya ramai. Itulah yang membuat lega. Aku seakan-akan jumatan tatkala salat dhuhur tiba. Padahal itu bukanlah hari jumat. Tapi ramainya adalah hari jumat.â
âKok bisa seperti itu?â tanya yang lain penasaran.
âSebenarnya, aku mendengar itu dari telinga ke telinga. Sudah banyak kampung-kampung lain, terinspirasi dengan kampung Abu Nurikhasf. Uniknya, kampung tersebut selalu mengembelkan namanya. Abu Nurikhasf.
âAh, kamu Khob, sepertinya tahu benar tentang kampung tersebut,â sapa Aziz.
âBagaimana kamu bisa mengetahui itu?â tanya Saal menimbrung.
âAku bermalam di sana.â
âBenarkah?â
âYa, aku bermalam di sana. Simpelnya, setiap orang yang melancong, di sana, diaku musafir. Di sana, benar-benar dihormati. Di sana benar-benar diketahui, mana yang musafir, mana yang bukan. Katanya, Sang Lurah mengetahui seluruh rakyatnya,â balas Khobair dengan semangat. Tambahnya, âAku pun pada dasarnya kurang meyakini, benarkah sang lurah mengetahui seluruh rakyatnya. Tapi ketika kutanya-tanyakan dan membanding-bandingkan apa yang dilakukan sang lurah. Dengan cepat aku percaya. Sangat percaya. Bahwa sang lurah mengetahui seluruh rakyatnya.
Aziz, Saal, dan Rohim, serta Mbok Yem, hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan Khobair. Dalam hati Aziz berkata, âSulit dipercaya mendapati pemimpin yang perhatian seperti itu.â Sementara Rohim berkata, âSemestinya setiap pemimpin harus seperti itu, selalu mengerti rakyatnya. Selalu perhatian terhadap rakyatnya. Harusnya seperti itu.â
âAku penasaran,â kata Saal, âBagaimana dengan kecerdasaannya?â
Khobair tersenyum mesra. âKalau kamu melihat Abu Nurikhasf, maka kamu bakal tidak akan bertanya tentang bagaimana kecerdasaannya. Yang ada, kamu ingin menghormatinya, dan tidak ingin mengganggu apa yang dia lakukan. Yang ada, kamu ingin mengikuti dan melayani apa yang dia inginkan. Sungguh, dia pemimpin yang menggembirakan.â
âJadi,â Mbok Yem, turut nimbrung sembari menggoyangkan tangannya. Menggerus kacang untuk dibuat pecel. âKamu tidur dimana, Pak?â
âOh soal tidur, di sana dimuliakan. Walau pun sederhana, pokoknya di sana bisa makan. Terkadang, hidup di sana, di tempat aku tidur, intinya bisa makan. Aku tidur di Pondok Zuhud. Namanya, Pondok Zuhud. Di sana, orang-orangnya yang mengisi masjid menjadi ramai. Mereka berdiri paling depan. Tapi tidak juga. Pokoknya, saf pertama, di masjid Abu Nurikhasf menjadi rebutan. Bukan rebutan, tapi berlomba-lomba mendapatkan keberkahan. Ah aku merindukan kembali ke sana.â
âPondok Zuhud,â celetuk Saal seketika. âBagaiamana itu?â
âPondok orang-orang yang pikirannya adalah tentang akhirat. Mereka adalah orang-orang lelaki yang mengabaikan tentang dunia. Akan tetapi, meraka sangat taat kepada Abu Nurikhasf.â
âBagaimana kalau orang ingin ke sana?â
âKatanya dipersilahkan.â
âBenarkah?â
âBenar.â
âSyaratnya?â
âAda keinginan.â
âKemudian,â
âTidak ada kemudian.â
âJadi, kalau mau kesana bagaimana?â
âDatang saja.â
âDatang!â
âYa,â
Hingga kemudian, saal bertanya sangat lirih, âTidakkah ditanya macem-macem?â
Khobair tersenyum renyah. âTentu tidak. Kalau pun ditanya, katanya dipertanya tentang keakhiratan. Intinya condong ke sana. Dan kamu tahu, siapa yang bertanya. Abu Nurikhasf.â
âAbu Nurikhasf! Memangnya seberapa hebat dia.â
âTadi telah kukatakan, tatkala kamu melihatnya, maka pertanyaanmu berganti menjadi ketakjuban padanya. Faktanya, dia mendirikan Pondok Zuhud, untuk orang-orang yang condong memikirkan tentang keakhiratan. Selain itu, kalau kamu melihat kampungnya, berada dilingkungan kampungnya, maka kamu akan gembira dengan apa-apa yang meraka kerjakan. Intinya, di sana, islam begitu menyala. Tidak kaku seperti di siniâyang dikit-dikit sibuk soal aliran. Di sana, simpel. Konon, alirannya, bila dikatakan aliran, maka adalah: belajar menjadi ahlu-sunah wal-jamaah. Madhabnya, madhab yang telah diketahuinya. Dicampur baurkan.â
âWaduh, islam apa lagi itu?â
âKata mereka, Islam-realitas.â
âIslam-realitas!â
âYa!â
âBagaimana itu islam realitas?â
âAh, kamu terlalu banyak bertanya. Aku di sini hanya menyampaikan. Kalau kamu kurang percaya, maka datangi saja ke sana. Tidak usah banyak tanya. Apakah kamu tahu, ketika aku duduk, dan disambangi di antara orang yang tinggal di Pondok Zuhud. Dia menceritakan:
Di sini, ada orang yang sok alim. Ketika itu, Lurah kami, menyambanginya. Dan berkata, âBenarkah kamu alim?â dengan gagah, orang tersebut menjawab, âYaâ. Lurah kami, hanya menganggukkan wajahnya tiga kali agukan, sembari tersenyum, dan kemudian undur diri. Tak lama kemudian, orang tersebut semakin akrab ke Masjid. Hingga lama ke lamaan, orang tersebut melepaskan sorban yang ada di lehernya. Tapi tetap, hari-harinya melangkah ke Masjid. Malah bahkan tinggal di sekitar Masjid. Kamu tahu siapa orang tersebut, Nak?â
Aku menggeleng. Dia kemudian menujukan tanganya ke arah dadanya. Aku terharu.
âApakah kamu tahu bagaimana perasaanku tatkala dipertanya olehnya?â
Aku menggeleng.
âSungguh pertanyaan itu melekat padaku. Sampai sekarang. Sampai aku mempertanya kepadamu, Nak. Apakah aku alim, Nak?â
âYa,â jawabku. âKamu alim, sangat alim.â
Dia hanya tersenyum gembira. Senyuman yang membuatku gembira. Kemudian, aku bertanya, kenapa Mbah ingin bertanya hal itu kepadaku? Dia tersenyum. Kemudian berkata, âAlim itu adalah julukan dari orang, Nak. Sebenarnya, kita sendirilah yang mengetahui, benarkah kita alim atau tidak. Sungguh Allah Maha Mengetahui.â
Mereka gembira mendengarnya. Juga menghadirkan kerinduan kepada apa yang diceritakan. Merindukan tentang bagaimana sosok Abu Nurikhasf. Merindukan tentang apakah benar apa yang dikatakan Khobair, sayangnya Khobair terkenal dengan kejujurannya. Jadi, mereka sangat percaya. Percaya. Namun, mereka benar-benar merindukan tentang apa yang dikatakan Khobair. Dalam hatinya, mereka berkata, âAku penasaran dengan apa yang Khobair katakan. Sangat penasaran.â
âKalau kamu penasaran,â sela Khobair kemudian. Khobair membaca tanda-tanda dari raut wajah mereka. âDatanglah. Insyaallah, hatimu lega.â Dan dalam hati, Khobair meneruskan, âManusia memang mudah penasaran. Tidak merasa puas,â tutupnya sembari menundukan wajahnya. Mengarahkan matanya ke dadanya. Tersenyum, mengenang kerinduan yang menyala. Ingin juga datang ke tempat yang dikabarkan.
Belum ada Komentar untuk "Pondok Zuhud"
Posting Komentar