Pondok Zuhud


Kampung Abu Nurikhasf, memang menjadi inspirasi kampung yang lain. Termasuk Masjidnya. Kata yang datang, “Memang, masjidnya tidak begitu indah, tapi sungguh masjid ini membuatku lega.”

“Benarkah,” jawab yang lain.

Dia, Muhammad Khobir, menggukan kepala dan meneruskan, “yang membuat lega adalah bukan karena bangunannya, tapi karena jamaahnya ramai. Itulah yang membuat lega. Aku seakan-akan jumatan tatkala salat dhuhur tiba. Padahal itu bukanlah hari jumat. Tapi ramainya adalah hari jumat.”

“Kok bisa seperti itu?” tanya yang lain penasaran.

“Sebenarnya, aku mendengar itu dari telinga ke telinga. Sudah banyak kampung-kampung lain, terinspirasi dengan kampung Abu Nurikhasf. Uniknya, kampung tersebut selalu mengembelkan namanya. Abu Nurikhasf.

Dia adalah lurahnya. Lurah yang cerdas, disayangi rakyatnya. Aku belum pernah lihat lurah yang seperti itu. Aku melihatnya gembira. Sebabnya, beliau begitu dihormati. Apakah kamu tahu, bahwa beliau pun dihormati secara keduniaan, juga secara agama. Beliau begitu terhormati. Islam seakan-akan benar hidup disana.”

“Ah, kamu Khob, sepertinya tahu benar tentang kampung tersebut,” sapa Aziz.

“Bagaimana kamu bisa mengetahui itu?” tanya Saal menimbrung.

“Aku bermalam di sana.”

“Benarkah?”

“Ya, aku bermalam di sana. Simpelnya, setiap orang yang melancong, di sana, diaku musafir. Di sana, benar-benar dihormati. Di sana benar-benar diketahui, mana yang musafir, mana yang bukan. Katanya, Sang Lurah mengetahui seluruh rakyatnya,” balas Khobair dengan semangat. Tambahnya, “Aku pun pada dasarnya kurang meyakini, benarkah sang lurah mengetahui seluruh rakyatnya. Tapi ketika kutanya-tanyakan dan membanding-bandingkan apa yang dilakukan sang lurah. Dengan cepat aku percaya. Sangat percaya. Bahwa sang lurah mengetahui seluruh rakyatnya.

Aziz, Saal, dan Rohim, serta Mbok Yem, hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan Khobair. Dalam hati Aziz berkata, “Sulit dipercaya mendapati pemimpin yang perhatian seperti itu.” Sementara Rohim berkata, “Semestinya setiap pemimpin harus seperti itu, selalu mengerti rakyatnya. Selalu perhatian terhadap rakyatnya. Harusnya seperti itu.”

“Aku penasaran,” kata Saal, “Bagaimana dengan kecerdasaannya?”

Khobair tersenyum mesra. “Kalau kamu melihat Abu Nurikhasf, maka kamu bakal tidak akan bertanya tentang bagaimana kecerdasaannya. Yang ada, kamu ingin menghormatinya, dan tidak ingin mengganggu apa yang dia lakukan. Yang ada, kamu ingin mengikuti dan melayani apa yang dia inginkan. Sungguh, dia pemimpin yang menggembirakan.”

“Jadi,” Mbok Yem, turut nimbrung sembari menggoyangkan tangannya. Menggerus kacang untuk dibuat pecel. “Kamu tidur dimana, Pak?”

“Oh soal tidur, di sana dimuliakan. Walau pun sederhana, pokoknya di sana bisa makan. Terkadang, hidup di sana, di tempat aku tidur, intinya bisa makan. Aku tidur di Pondok Zuhud. Namanya, Pondok Zuhud. Di sana, orang-orangnya yang mengisi masjid menjadi ramai. Mereka berdiri paling depan. Tapi tidak juga. Pokoknya, saf pertama, di masjid Abu Nurikhasf menjadi rebutan. Bukan rebutan, tapi berlomba-lomba mendapatkan keberkahan. Ah aku merindukan kembali ke sana.”

“Pondok Zuhud,” celetuk Saal seketika. “Bagaiamana itu?”

“Pondok orang-orang yang pikirannya adalah tentang akhirat. Mereka adalah orang-orang lelaki yang mengabaikan tentang dunia. Akan tetapi, meraka sangat taat kepada Abu Nurikhasf.”

“Bagaimana kalau orang ingin ke sana?”

“Katanya dipersilahkan.”

“Benarkah?”

“Benar.”

“Syaratnya?”

“Ada keinginan.”

“Kemudian,”

“Tidak ada kemudian.”

“Jadi, kalau mau kesana bagaimana?”

“Datang saja.”

“Datang!”

“Ya,”

Hingga kemudian, saal bertanya sangat lirih, “Tidakkah ditanya macem-macem?”

Khobair tersenyum renyah. “Tentu tidak. Kalau pun ditanya, katanya dipertanya tentang keakhiratan. Intinya condong ke sana. Dan kamu tahu, siapa yang bertanya. Abu Nurikhasf.”

“Abu Nurikhasf! Memangnya seberapa hebat dia.”

“Tadi telah kukatakan, tatkala kamu melihatnya, maka pertanyaanmu berganti menjadi ketakjuban padanya. Faktanya, dia mendirikan Pondok Zuhud, untuk orang-orang yang condong memikirkan tentang keakhiratan. Selain itu, kalau kamu melihat kampungnya, berada dilingkungan kampungnya, maka kamu akan gembira dengan apa-apa yang meraka kerjakan. Intinya, di sana, islam begitu menyala. Tidak kaku seperti di sini—yang dikit-dikit sibuk soal aliran. Di sana, simpel. Konon, alirannya, bila dikatakan aliran, maka adalah: belajar menjadi ahlu-sunah wal-jamaah. Madhabnya, madhab yang telah diketahuinya. Dicampur baurkan.”

“Waduh, islam apa lagi itu?”

“Kata mereka, Islam-realitas.”

“Islam-realitas!”

“Ya!”

“Bagaimana itu islam realitas?”

“Ah, kamu terlalu banyak bertanya. Aku di sini hanya menyampaikan. Kalau kamu kurang percaya, maka datangi saja ke sana. Tidak usah banyak tanya. Apakah kamu tahu, ketika aku duduk, dan disambangi di antara orang yang tinggal di Pondok Zuhud. Dia menceritakan:

Di sini, ada orang yang sok alim. Ketika itu, Lurah kami, menyambanginya. Dan berkata, “Benarkah kamu alim?” dengan gagah, orang tersebut menjawab, ‘Ya’. Lurah kami, hanya menganggukkan wajahnya tiga kali agukan, sembari tersenyum, dan kemudian undur diri. Tak lama kemudian, orang tersebut semakin akrab ke Masjid. Hingga lama ke lamaan, orang tersebut melepaskan sorban yang ada di lehernya. Tapi tetap, hari-harinya melangkah ke Masjid. Malah bahkan tinggal di sekitar Masjid. Kamu tahu siapa orang tersebut, Nak?”

Aku menggeleng. Dia kemudian menujukan tanganya ke arah dadanya. Aku terharu.

“Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku tatkala dipertanya olehnya?”

Aku menggeleng.

“Sungguh pertanyaan itu melekat padaku. Sampai sekarang. Sampai aku mempertanya kepadamu, Nak. Apakah aku alim, Nak?”

“Ya,” jawabku. “Kamu alim, sangat alim.”

Dia hanya tersenyum gembira. Senyuman yang membuatku gembira. Kemudian, aku bertanya, kenapa Mbah ingin bertanya hal itu kepadaku? Dia tersenyum. Kemudian berkata, “Alim itu adalah julukan dari orang, Nak. Sebenarnya, kita sendirilah yang mengetahui, benarkah kita alim atau tidak. Sungguh Allah Maha Mengetahui.”

Mereka gembira mendengarnya. Juga menghadirkan kerinduan kepada apa yang diceritakan. Merindukan tentang bagaimana sosok Abu Nurikhasf. Merindukan tentang apakah benar apa yang dikatakan Khobair, sayangnya Khobair terkenal dengan kejujurannya. Jadi, mereka sangat percaya. Percaya. Namun, mereka benar-benar merindukan tentang apa yang dikatakan Khobair. Dalam hatinya, mereka berkata, “Aku penasaran dengan apa yang Khobair katakan. Sangat penasaran.”

“Kalau kamu penasaran,” sela Khobair kemudian. Khobair membaca tanda-tanda dari raut wajah mereka. “Datanglah. Insyaallah, hatimu lega.” Dan dalam hati, Khobair meneruskan, “Manusia memang mudah penasaran. Tidak merasa puas,” tutupnya sembari menundukan wajahnya. Mengarahkan matanya ke dadanya. Tersenyum, mengenang kerinduan yang menyala. Ingin juga datang ke tempat yang dikabarkan.

Belum ada Komentar untuk "Pondok Zuhud"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel