Kiai ‘Tanpa’ Kitab di Rumahnya


Di zaman informasi sekaligus teknologi, bisa jadi—dan tidak dimungkinkan—kiai pun mampu tanpa kitab. Kitabnya telah diringkas dalam segepok technology yakni laptop atau notebook atau computer. Di dalam computer itu ada kitabnya, maktabah syamilah, beraratus-ratus kitab berada di sana. Sementara kitab nyatanya, sangat sedikit, sedikit sekali, mampu dihitung dengan jari.

Si Kiai membeli kitab karena memang harus membeli.

Terpaksa harus membeli.

Karena adanya mengaji realitas, maka harus membeli.

Itu pun dulu, waktu mengaji, yang harus membawa kitab.

Wal-hasil, cobalah dipikirkan: berapa banyak kitab yang dimiliki si kiai tatkala berbekal kitab tatkala mengaji di pondok. Tatkala mengiktui system yang ditawarkan pondok, terlebih agi, si kiai tersebut mempunyai pemikiran:

Di pondok ada perpustakaan, dibanding duitnya membeli kitab, lebih baik untuk makan.

Saya bisa meminjam kitab di perpustakaan, tidak harus diabsai, tidak harus dicoret-coret,

Yang pasti saya membawa kitab, sah, kalau mau oret-oret maka merobek selembar kertas kosong; atau meringkas tentang apa-apa yang dibacakan Pak Kiai.

Atau,

Kitab ‘nyata’ ngaji bersama Pak Kiai adalah ‘pelengkap’ pengesahan bahwa saya mengaji. Telingaku berisik tatkala dipertanya:

“Kitabmu mana?”

“lha kitabmu mana?”

Saya berpikir, pikiran mereka, di zaman serba canggih ini, seakan mengaji harus membawa kitab, harus menyangking kitab. Terlebih lagi, kalau saya mengaji menggunakan ‘tablet’ atau handphone—yang harganya mahal— lagi-lagi, lidahnya berujar:

“Ngaji kok pakai handphone!”

“Kitabmu mana!”

“Ngaji kok pakai ‘tablet’! Kamu tahu, dengan itu ‘pikiranmu’ bisa kemana-mana, sebab ‘tablet’ menawarkan fitur-fitur yang bermacem-macem. Bisa-bisa, kalau kamu ‘tidak’ senang hati, atau suasana hatimu lagi jenuh, kamu lebih memilih bermain-game. Dasar.”

Dibanding digegeri hal itu, maka saya lebih memilih mengaji tanpa kitab, tanpa apa-apa, sekedar mendengarkan apa yang disampaikan Pak Kiai, yang sebelum itu, aku telah membuka kitab tersebut, telah mengecak-kecaknya, telah mengaris besar apa yang akan disampaikan, akhirnya, apa yang akan disampaikan, benar-benar sebuah tradisi mulang.

Dia mengulang apa yang dipelajari.

Saya pun mengulang apa yang telah saya pelajari sendiri.

Beberapa tahun kemudian, saya tinggal di tempat yang jarang ada orang berpengetahuan agama, akhirnya saya pun di tuding menjadi kiai dadakan, alasannya sederhana, karena rajin ke masjid. Wal-hasil, dituding. Lalu orang-orang memanggilku dengan julukan kiai. Tatkala salah serombongan itu datang kepada saya, berkata:

“Lha kitab-kitabmu mana?”

Jawabku, ini saya lagi membaca kitab, di laptop—komputer, gadget, handhone—: di sini, layaknya perpusatakaan. Beribu-ribu kitab ada, bab apa? Pasti ada.

Tentang rukun iman.

Rukun islam.

Tafsir.

Macam-macam tafsir.

Hadist.

Fikih.

Komplit.

Bentuknya kecil, tapi isinya banyak, inilah zaman sekarang, zaman teknologi, zaman serba ‘instans’, zaman kemasan, kehidupan menjadi padat, dan ringkas, dunia laksana terlipat oleh ‘kemajuan’ teknologi. Dunia laksana dilipat oleh ‘bekas-bekas’ pemikiran manusia, orang hebat membuat ‘memori’ yang dipindahkan ke dalam computer. Computer, laptop, handphone itu laksana ‘kenangan-kenangan’ yang ditampung. Inilah zaman sekarang.

“Apakah kamu tidak punya kitab?”

Punya, sedikit, sedikit sekali, bisa dihitung pakai jari. Lihat itu, kitab-kitab yang mengaji di pondok pesantren dan itu pun adalah kitab-kitab yang umum, kitab-kitab yang wajib untuk dilakukan mengaji.

“dunianya memang sudah seperti itu, maka kita tidak bisa mencegah. Omong-omong, apakah pantas seorang kiai tidak mempunyai kitab?”

Jawabku, di zaman seperti sekarang ini bukan penting kitabnya, tapi bagaimana ‘isi’ kitab itu dijalankan. Sayangnya, di zaman teknologi ini, di zaman informasi ini, harusnya semakin banyak kitab berserakan, harusnya semakin banyak orang menjalankan ilmunya, langgar tidak sepi, masjid tidak sepi. Namun, saya berpedoman: di zamannya kanjeng nabi itu orang-orang juga tidak mempunyai kitab, tapi kuat hapalannya. Itulah yang saya terapkan.

Bukankah berjalannya diriku adalah tentang perjalanan ‘kitab’ yang meresep dalam diriku? Tidakkah engkau perhatikan itu: sekali pun secara ‘dhohir’ saya tidak punya kitab, tapi saya pun ‘sebenar-benarnya’ masih mempunyai kitab? Laptop, buktinya. Al-quran itu, juga buktinya. Iqra’, juga buktinya. Akhir kata, setanpa-tanpa adanya kitab, saya masih punya kitab. Masih punya kitab. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Kiai ‘Tanpa’ Kitab di Rumahnya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel