Jadwal





Hari ini aku memupuk.



Aku akan ke sawah. Aku berkemas. Tiba-tiba ibu mengampiriku.“Tunggu selepas azan. Supaya bekerjanya tenang.” Katanya mencegahku.



Tidak. Dia tidak mencegahku. Dia memperingatkanku. Dia sekedar memberi saran. Keputusan tetap ada pada diri sendiri. “Oke,” batinku menjawab. “Aku harus menuruti apa kata ibu. Untuk apa lagi membangkang kepadanya. Aku rasa telah banyak dosa yang kulakukan untuknya. Sekarang saatnya mematuhi apa katanya. Tidak perlu protes. Kecuali melarang ibadah pada-Nya.



Melarang ibadah?” tanyaku sembari tertawa. “Tidak! Ibu bukanlah orang yang melarang untuk beribadah. Dialah yang memberikan motifasi terus menerus untuk beribadah. Tidak pernah bosan mengajak beribadah. Bahkan sebelum ke sawah. Mengatakan, tunggulah azan.”



Aku menunggu. Sekali lagi menunggu azan. Hidup selalu menunggu. Dari menunggu azan menunggu iqomat. Itulah yang kini kujalani. Menunggu sang imam datang. Benar. Tatkala sore tiba, kudatangi masjid. pikirku, “aku belajar jamaah. Belajar solat jamaah.”



Tegasku, “Jangan sepelekan hal itu. Agaknya mudah, tapi juga susah untuk membiasakan diri.”



Terbukti. Tatkala dhuhur dan asar masjidnya sepi. Dan 5 orang yang terus menerus melakasanakan jamaah membuatku terkagum. Mereka tua. Menyandang gelar haji. Katanya saudara sepupuku, “mereka orang dekat mati.”



Aku protes. “Mengapa rajin ibadah haruslah menunggu tua-renta?”



“Mereka terbayang-bayang oleh surga dan neraka.”



Aku diam. Tidak membalas perkataannya. Agaknya dia benar-benar sok mengetahui bahwa mereka terbayang surga dan neraka melakukan ibadah. Batinku, apakah kamu tahu keinginan untuk mendatangi masjid? yakni, tercandui ingin solat berjamaah.



Itu kudapati dari H. Tumbali. Dialah salah satu orang yang rajin. Katanya, “Kalau tidak salat jamaah. Agaknya ada yang kurang.”



“Benar.” Balasku. “Aku mulai merasakan itu. Ada keingianan merindukan orang-orang yang jamaah. Bagaimana dengan pak Haji?”



“Ya. Kalau dia kerap jamaah dan tidak datang. Kadang dibatin kenapa dan mengapa.”



“Jadi, kadang saya kerap dibatin kalau tidak datang, pak Haji?” balasku sembari tersenyum kecil.



“Ya. Kadang kubatin. Tapi yang pasti. Terharu. Kagum. Ada pemuda yang sergep untuk jamaah. Berbeda dari yang lainnya.”



Pujiannya. Membuatku diam dan tersenyum. dan berkata, “aku masih belajar, Pak Haji. Masih belajar.”



“Aku juga belajar.” Balasnya polos.



Memang aku sering mendatangi rumah orang-orang yang taat. Sekedar menjenguk atau sekedar minum. Aku teringat istilah jawa, “hidup sekedar mampir minum.” Tapi aku minum kopi. Jadi lebih ada rasanya. Apalagi aromanya. Dan aroma itu akan berbeda tatkala sampai masjid. Di baris pertama, aroma jelas terasa wanginya. Mereka, para taat, telah menunggu. Mereka datang tatkala azan dikumandangkan. bahkan, malah ada yang datang sebelum azan tiba. Sementara aku, selalu dibelakang azan. Tatkala azan dikumandangkan disanalah aku mulai melangkahkan kaki.



Dari pakaian takwa menjadi sawah. Tetap mengunakan caping. Aku melongok jam. Setengah lima lebih. Aku teringat kata Mas Edi yang mengatakan, “Memupuk satu jam.”



“Pas,” Jawabku. “sebelum magrib sudah sampai di rumah.”



Di jalan. berpapasan orang-orang. Dia mau pulang. Ah memang manusia, selalu sulit untuk jamaah. Sulit melaksanakaan solat jamaah. Yang ada adalah kalau mentari hampir tenggelam, mereka baru pulang. Berulang kali, aku memanggutkan kepala. Menjawab sapaan meraka. Naik sepeda montor adalah cara tersendiri untuk diam. Tidak harus banyak kata yang keluar. Bahkan isyarat klakson sudah cukup. Tidak perlu banyak kata.



Aku memandang matahari. Hampir tenggelam. Menjadi senja. Aku saksikan senja.



“Aku harus tenang. Tenang. Senja tidak boleh mengalahkan untuk terburu-buru. Tenang.” Batinku sembari menabur pupuk.



“Jangan sampai waktu mengejarku. Jangan sampai. Tenanglah.” Batinku menegaskan. Mentari hampir tenggelam. Merah menyala.



“Undangan yasinan nanti malam jangan sampai memburu waktuku. Bukannya undangan tersebut telah kujawab dengan insyaallah. Tenanglah.” Imbuhku. Sembari menenangkan.



Kecepatan tangan. Degup jantung mulai memburu. aku sendiri. langit memburam hitam.



“Tenanglah. Undangan manusia. Sekedar undangan manusia. Itu acara, bila aku tidak datang tetap berjalan. Tenanglah.”



Mendadak aku terpikirkan. Bahkan undang manusia saja aku begitu terpikirkan. Terlalu terngiat dalam diriku. mengapa undangan dari tuhan tidak membuatkan seperti ketakukan atau resah dalam pikiran? Ah aku masih lemah iman.



Ya. Benar-benar lemah iman. Tingkatan imanku benar-benar sedikit. Bahkan tatkala azan terdengar, aku masih menabur pupuk. Dan bibirku mengikuti seruan azan. Allahuakbar. Alllahu akbar. Suara itu sahut menyahut kudengar. Langit, semua azan untuknya. Dari gunung-gunung yang mengitari sawah. Seakaan-akan suara takbir menyergapkul. Mengepung. Menerkam telingaku. Merontontokkan hatiku, “tiada tuhan selain Allah.” Mentari tenggelam. Telah terdengar iqomah. Alhamdulilah selesai memupuk. Menaburkan pupuk.



“Ada perjanjian antara Tuhan denganku.” batinku.



“Ada undangan nanti subuh, dari Allah di Masjid?”



“Apa! Undangan dari Allah?” Aku terkejut bukan main. Allah mengundangku dalam acaranya. “Aku malu,” imbuhku kemudian.



“Malu kenapa?”



“Aku belum bersuci.”



“Lekaslah bersuci. Azan magrib sudah didengarkan.”



Kubuka keran air. Dia menyeru, “Allah telah menuggumu. Dia menunggumu.”



“Tunggulah. Tunggu.” Balasku.



“Apakah begitu kamu bersuci?”



“Iya...” balasku terpatah-patah.



“Kurang sempurna.” Dia membalas cepat. “Bersuci saja tidak sah, bagaimana dengan yang lainnya kelak. Ingat, bersuci itu awal dari semua. Tubuhmu masih bau.”



Aku mempertimbangkan. Apabila mandi maka waktuku terpotong untuk solat subuh. Aku merasakan tubuhku bau.



“Tubuh bau hendak mengahadap-Nya?” balasnya. “keterlaluan.” Imbuhnya. “mendatangi manusia kamu pakai wewangian. Bercermin gagah-gagahan. Kepada-Nya kamu dalam keadaan bau.” Ceramahnya sembari menggelang-gelangkan kepala.



“Mentari hampir terbit. Waktu solat subuh bakal habis.”



“Tapi bersucimu, salah. Bagaimana diterima salatmu?”



“Sudahlah.” Aku kesal. “Aku tidak menghadiri undangan-Nya.” Tutupku.



“Terserah. Pokoknya, Dia telah mengundangmu. Titik.”



“Syaratnya terlalu ribet.”



“Tidak.” balasnya cepat. “Kamu sendiri yang membuat ribet.”



“Aku! Katamu aku? Aku yang bagaimana?”



Balasnya, “Siapa musuh terbesarmu?” tutupnya dan pergi. 
**

Belum ada Komentar untuk "Jadwal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel