Aku Orang Beriman (bagian 1)

Aku orang beriman, beriman kepada Dia yang maha tunggal. Yang menguasai seluruh keberadaan.orang-orang menganggap dia adalah Allah. Aku pun demikian. Aku beriman kepada Allah—sangat beriman. Kuat beriman. Aku ingin lebih dalam mencintai-Nya—aku ingin lebih memandang bahwa semua adalah Dia: Dia yang menguasai seluruh alam semesta. Aku harus lebih menekankan, ‘tatkala aku mencintai-Nya, maka aku akan mencintai setiap apa yang ada. Tidak ada terkecuali.’

Wahai, mata-mataku, ini pembahasan tentang Aqidah: pembahasan tentang keimanan, menepilah dulu wahai kefikihan.

Dia adalah yang tunggal, tentu maha besar (akbar) sebab telah mengadakan kejadian demi kejadian. Aku kaitakan dengan pembuatan novel, tatkala aku membuat novel, maka aku mengetahui letak-letak yang tentang alur kehidupan di dalam novel. Nah, Allah itulah laksana ‘aku’: yang menciptakan novel akbar tentang kehidupan.

Tentu, aku pun tatkala membuat novel, maka aku berikan dua lawan, artinya berpasangan. Pasangan itu adalah saling meneguhkan satu sama lain—sehingga terjadi perbedaan: padahal perbedaan itu pada dasarnya adalah satu. Sama-sama dengan tujuan memperindah alur-cerita.

Bayangkan sejenak—bila film adalah monoton tentang kebaikan? Tentu film itu tidak teramat seru. Oleh karenanya, membutuhkan keburukan. Sungguh keburukan diadakan untuk membenarkan adanya kebaikan. Walau pada dasarnya, kebaikan bakal menang.

“Benarkah demikian?”

Benar. Pasti. Karena setiap manusia membutuhkan hal itu.

Aku telah yakin bahwa ketika aku menulis novel, maka yang terjadi adalah pada dasarnya karena cinta. seperti aku ada, dari ayah dan bunda—tentu karena cinta. ya, bagaimana kita ada kalau tidak mencinta.

Cinta adalah kebutuhan manusia. Bukan kebutuhan, tapi persandingan hidup: cinta adalah hidup itu sendiri.

Dan kalau kita mendatangi taman-taman, mendatangi orang-orang, bukannya pada dasarnya adalah karena kita mencintai taman dan orang-orang. (Jangan tinggi alasan bahwa manusia adalah memang mahluk yang sosialis. Sungguh memang begitu adanya, karena manusia membutuhkan satu sama lain.)

Bisakah dibayangkan apabila Nabi adam sendirian, maka tidak adanya sebuah kehidupan. Oleh karenanya, memang, setiap apa yang ada, tentang hidup adalah layak dan patut untuk disyukuri dan dinikmati. Terima saja takdir-Nya, terima saja ketentuan-Nya.

Menerima bukan berarti kita melepas begitu adanya; tanpa melakukan apa-apa, tidur belaka, sekedar menunggu mati belaka—sungguh, orang-orang akan tersiksa dirinya. Sebab manusia mempunyai akal untuk menspekulasi-spekulasi kehidupan.

Seandainya manusia tidak bisa menspekulasi kehidupan; maka telah bagai dihapuskan tentang kemanusiaan—artinya, tubuhnya sekedar tubuh belaka dan hidup di antara manusia.

“Apakah Nabi dan Wali-Nya adalah begitu?”

Aku tidak yakin kalau mereka lepas dari kemanusiaan. Karena aku pernah membaca bahwa mereka adalah manusia biasa yang diberi Hidayah-Nya, diberi petunjuk oleh-Nya, tapi tetap mempunyai napsu tentang kemanusiaan. Allah masih menghendaki untuk tetap menjadi karakter manusia: yang mempunyai rasa sedih, rasa bahagia, gembira—walau datar belaka menanggapi. Tapi rasa adalah bumbu tentang keindahan hidup.

Sehingga tidak terlalu muluk-muluk menganggapi tentang rasa, karena mereka telah menyakini bahwa hidup memang selalu seperti itu—mereka mencoba untuk tenang laksana air dalam lautan. Dan kepada Allah aku mohon ampun. Kepada Allah aku serahkan kata-kataku.

Aku beriman kepada Dia yang tunggal, yang mengusai seluruh keberadaan, Dia menggunakan bahasa arab, yakni Allah, karena telah tertakdirkan untuk menyatukan perspektif nama ‘dia yang tunggal’: nah, dia yang tunggal adalah Allah—hal itu didasari dengan beberapa penguat seperti Quran yang terjaga. Yang diikat dengan ibadahnya, salat misalnya.

Salat adalah selalu menggunakan bahasa arab. kalau tidak! Para fikih menyatakan tidak sah.

Quran adalah selalu menggunakan bahasa arab: kalau tidak, maka bukan quran—tapi terjemahan quran. terjemah adalah untuk lebih membantu bahasa quran, karena cakupan quran adalah untuk seluruh manusia.

Dan pada dasarnya, Islam mengajurkan, tujuannya utamanya menjadi bumi yang islam. Bukan arab, tapi islam. Islam yang seperti apa? Islam yang berbahasa arab.

Sejauh diteliti, maka akan ketemu seperti ini:

Kita telah diikat dengan bahasa quran, yakni bahasa arab. dan untuk mendapatkan bacaan yang sempurna, maka penting untuk mengkaji tentang makna bahasa. Ketika orang telah dan semakin mengkaji tentang bahasa, dalam arti mengetahui tentang bahasa arab, maka dialeknya setiap hari adalah lanyah dengan bahasa arab.

Salat dilaksanakan 5 kali sehari. Hal itu adalah lebih merekatkan bahasa arab. artinya orang-orang disuruh untuk merubah bahasa menjadi bahasa arab, inilah makna yang tersembunyi: tapi, sayangnya, realitasnya tidak seperti itu. Tidak seperti itu. banyak juga yang salat tanpa memahami apa yang disalati—sesungguhnya ketika orang tegar dan mengertahui mana salat, dan menyatukan teks salat, semestinya dirinya selalu bahagia dan selalu bersyukur, karena setiap hari selalu melantunkan ‘alhamdulilah: segala puji untuk allah.

Mari kita dibahaskan tentang ‘pujian’: secara realita, apakah ada orang yang memuji tulus, hatinya bersedih?

“Wuih cantiknya?” kata seorang pemuda melihat perempuan.

Apakah pemuda tersebut hatinya berbunga atau hatinya layu karena melihat kecantikannya?

“Rajin sekali pemuda itu,”

Apakah dengan istilah tersebut orang yang berkata hatinya bersedih, atau hatinya bahagia, bangga, dan lain sebagainya—intinya gembira.

Sayangnya, tidak setiap kita memahami akan istilah ‘alhamdulilah.’

Begini lagi: secara teks adalah “Seluruh puji untuk Allah.”

Dapat dikatakan apa-pun pujian yang ada dibumi, yang terucap dari lidah-lidah manusia, yang menegger pada dada-dada manusia dikembalikan kepada Allah. Siapakah Allah? Dia adalah yang tunggal. Menggunakan istilah Allah adalah untuk menyamakan persepsi ‘dia yang tunggal’: tepatnya, menggunakan bahasa arab.

Dan aku adalah orang yang beriman kepada dia yang maha kaya—ya, kalau aku telah menyatakan bahwa aku beriman kepada allah, maka secara otomatis dadaku penting untuk menjadi kaya. Aku harus berusah menjadikan diriku kaya, karena aku milik-Nya. Seluruh apa adalah milik-Nya—seluruh apa adalah satu, yakni kehidupan dan itu adalah milik-Nya.

Batinku meneguh, “Aku milik-Mu. Kupasrahkan diri pada-Mu.”

Dan aku ingin menasihati jiwaku:

Biarlah orang-orang sibuk dengan harta bendanya, aku ingin sibukkan diri pada-Nya, dia yang menggenggam seluruh jiwa. Ketika orang-orang mengakui ‘ini milikku. Itu milikku. Ini hartaku. Ini punyaku.’ Sambutlah dalam hati, “Aku milik-Nya dan Dia memiliki dirimu.”

Sibukkanlah dirimu untuk senantiasa mencintai-Nya, jangan terpancing dengan napsu kemanusiaanmu yang menggelapkan hatimu selain kepada-Nya. Percayalah, kalau kamu benar-benar menyandarkan diri kepada-Nya, dan bergantung kepada-Nya belaka, maka kamu akan melalaikan apa-apa kecuali, apa-apa tersebut adalah menjadi-Nya. Dan kamu akan semakin paham, bahwa gerakmu adalah gerak-Nya.

Sungguh, ilmu tersebut membutuhkan perjuangan menunggu takdir. Maksudnya, kamu harus tabah menunggu waktunya tiba. karena semua telah ditentu oleh-Nya.

Ingatlah, wahai yang cerdas akalnya, tatkala kamu membuat novel, maka kamu mengetahui letak-letak tentang kematian dan kehidupan. Usaha dan apa-apa: bukannya kamu akan berkata kepada tokoh-tokohmu. “Sabarlah wahai si fulan, kamu belum sampai pada masa yang membahagiakan. Tungguhlah. Aku pun menunggu kamu sampai pada masa yang membahagiakan.”

Aku raupkan wajahku. Kuudarkan tahmid, malaikat saksiku. Kuusap kakiku, kucegah nyamuk mendekatiku.

“Oh nyamuk,” batinku. “Aku ingin khusuk terhadap cintaku. Sungguh, aku pun mencintaimu. Sayangnya, aku manusia yang diberi akal oleh-Nya. Aku memang berupaya mencegahmu, tapi lagi-lagi apa-apa telah ditakdir oleh-Nya.”

Sungguh siang tadi, mataku terbelalak akan kehendak-Nya tiada yang bisa mengubah. Ya, aku lebih suka mengistilahkan bahwa apa-apa telah tertakdirkan oleh-Nya, manusia tidak bisa mengubah takdir dari-Nya.

Sawah yang luas, digrogoti tikus, para manusia tidak berdaya. Ketika matanya menyorot ke sawah, menatapi padi-padi hijau yang mulai ludes digrogoti tikus. Hatinya benar-benar terpukul lesu. Bagai lemah tak berdaya. Aku pun mendadak terpukul lesu, andai kata sawah-sawah mereka adalah rakyatku, oh aku lesu: tapi tidak juga, aku beriman pada-Nya yang menguasai tanah dan binatang.

Konon manusia cerdas akalnya, tapi tidak bisa menjaga sawah-sawahnya dari serangan bintangan tikus yang larinya lebih lambat dibanding langkahan kaki manusia. Yang ukuran tubuhnya lebih kecil dibanding manusia. Tapi manusia, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggigit bibirnya dan diam mematung, ngenes hatinya.

Oh hati—lagi-lagi hati. Hati adalah yang menjadikan miskin dan kayanya manusia. Kalau hatinya kaya, manalah mungkin dia ngenes terhadap kejadian yang menimpa. Katanya, ‘sungguh demikianlah takdir-Nya. Manusia hanya bisa menerima. Sungguh banyak limpahan rahmat yang kerap didustakan.’

Dan aku udarkan La illa ha illallah: tiada tuhan selain Allah. Dia tidak bisa disamakan oleh makluk-Nya. Tidak bisa diangan-angankan. Tidak bisa digambar-gambarkan. Tidak bisa. Ketika manusia berusaha mencari Dia yang bagaimana: sungguh kalimat yang terbaik adalah la tidak ada tuhan selain Allah. Dia terus mencari: bukan, ini bukan Allah. Bukan ini bukan allah. Bukan, ini bukan allah. Sungguh, tidak ada tuhan selain allah. Tidak ada tuhan kecuali Allah.

Aku duduk diam tersenyum yang ingin menangis. Ingin menangis yang seperti tersenyum. hingga pada akhirnya aku datar-datar belaka dan condong kepada senyuman. Kerap mengudarkan senyum. Dan segala puji untuk Allah. Segala puji dikembalikan untuk-Nya.

Belum ada Komentar untuk " Aku Orang Beriman (bagian 1)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel