Hafid
Sabtu, 21 Januari 2017
Tambah Komentar
“Berani sekali kamu masukkan Al-Quran disini?”
Dengan keras al-quran itu rebut dari gengganam erat ditubuhnya. Terpelantinglah Hafid di lantai. Mengucurlah darah dari mulutnya. Dengan cepat Lahab mengambil obor yang terselip didinding dan membakar satu persatu yang di terbangkan dan sampai mukanya, ditiup kearah Hafid. Hafid yang meronta berlari mengejarnya. Berupaya keras menggapai quran yang digenggam ayahnya. Dengan kekuatan sang ayah, sekali hempas, terbanglah Hafid. Mukanya mencium dinding. Sementara sang ibu, berdiri sambil menggengam tangan di mulutya. tidak bisa bergerak. Telah disihir oleh sang suami. Air matanya melelah bagai lelehan lilin di panasi api. sambil merinding ia menyiratkan Hafid keluar.
“Sekali kamu gerak!” ancam sang ayah.
“Pergilah dari rumahku, wahai durhaka!”
“Mengapa ayah ingin membakar al-quran, bukannya dahulu ayah menyuruhku mengkaji al-quran? ada apa ayah?”
Sambil merintih hafid mendadak terpikirkan surat an-nash, yang berarti, “Aku berlindung dari manusia, raja manusia, sembahan manusia, dari golongna jin dan manusia.”tapi sang ayah sambil merobek, meniup dan menatap abu kertas dan berkata, “Aku begitu muak dengan orang-orang yang mengaku islam! tapi ternyata, mereka tidak juga sadar dengan al-quran. mereka tidak ada pengetahuan untuk Al-Quran. Lidahnya saja, mengaku islam. Matanya saja, berulang-ulang membaca Quran. Buktinya, masih saja sifat dan lidah mereka seperti iblis!”
“Meraka siapa?”
“Jangan sekali-kali bergerak, wahai anakku. Aku tahu gerakanmu. Telingaku telah hafal dengan rumahku. Dan mengapa, kamu membaca an-nas dalam hati saja? dikira ayah tidak mendengar kata-katamu? Ketahuilah—syaitan telah menyusupku, telah memberitahukan apa-apa yang kamu katakan!”
Hafid hanya bisa meratap dengan sakit tubuhnya. seakan-akan remek dibanting dengan kekuatan sang ayah. Yang telah mendapatkan ilham dari syaitan memeliki kekuatan hebat. Pandai bersihir. Padahal sang penjaga telah menasihati Hafid, masih juga ia memaksa masuk. Kata sang ayah:
“Tidakkah kamu mendengar sang penjaga yang melarangmu masuk dalam rumahku? Sekarang keluarlah!”
Sang ibu hanya mematung dengan keadaannya. Ia telah dibuat kaku. Hanya air matanya yang meleleh seraya melambaikan tangannya dengan rasa yang berat. Sakit yang sangat melihat anaknya disiksa oleh ayah. Apalagi al-quran yang dibakar. Di depan matanya. di depan kedua orang yang mencintai quran. seakan-akan hatinya rontok. Tercabik-cabik.
“Aku tidak mau pergi!” Hafid menantang.
Terbantinglah sekali lagi tubuhnya. Dengan gerakan tangan sang ayah yang menjatuhkan. Hafid merintih. Meradang, dan abu yang beterbangan kian mengoyak-koyak hatinya. tapi hafid menantang sekali, teriaknya: “Aku tidak mau pergi!”
Diseretlah dari jauh. Meluncur didepan pintu. dibukakan pintu. kedua tangannya masih berupa tetap di rumah. Katanya, “Biarkan ibu bersamaku,”pintanya. “Cukuplah dia melahirkanmu!”
Orang-orang yang menyaksikan tidak berdaya dengan keadaan hafid. Tidak ada yang perduli. Jika pun ada yang perduli. Mereka bakal ketakutan bila berhadapan dengan Lahab.
Sang penjaga berakta, “Bukannya telah kuperingatkan jangan masuk! Sungguh di dalam rumahmu bagai neraka yang nyata.”
“Mengapa kamu berada di sini?”
“Aku ditugaskan disini untuk menjagamu, tapi kamu lebih memilih iblis menasihatimu daripadaku.”
“Iblis?”
“Ya! Iblis adalah kembaranku, dan sifatnya jauh berbailik daripadaku. tingkat perwajahannya serupa denganku.”
“Jadi aku harus kemana?”
“Melangkahlah sambil meminta petunjuk kepada-Nya. lupakah kamu jika Dia menunjuki orang-orang yang meminta petunjuk? Dan sabarlah dalam segala apa pun. Segeralah.”
Perjalanan di halaman hafid menjadi perjalanan yang melelahkan. walau pun ia baru saja melangkahkan berapa kali langkah. Bunga-bunga yang mekar, hewan melata, burung terbang, seakan-akan hilang dari pandangan hafid. Tumbuhan dan seluruh awan hilang dari pandangannya. Anggapannya, ia sedang berjalan di tengah-tengah api yang memabara, tidak terasa sengaatan panasnya, tapi hatinya meledak ingin membenahi tingkah aneh ayahnya. Ia rencanakan untuk menghentikan kegilaan ayahnya. yang terjadi, selalu tidak ketemu ide yang pas. Berulang-ulang terhapus mendadak. Malah sesekali terselip kata-kata dari ayahnya. seakan-akan ayahnya menyusup di dalam pikirannya sambil berkata,
“Betapa engkau menjadi durhaka, berupaya merobohkan ayahnya sendiri. dasar anak tidak berterima kasih!”
Jawabnya, “Aku berlindung kepada Allah.”
“Kamu Hafid anak dari Lahab kan?” tanya Pak tua membuyarkan lamunannya.
“Iya.”
“Sungguh! dahulu ayahmu benar. tapi sekarang, ayahmu telah berbalik 180 %. Dia adalah setan yang nyata. Dia patut di adili. Tapi sayangnya, tidak ada yang bisa mengadili.”
“Benarkah?”
“Kamu dari pesantren, kami sangat memohon pertolonganmu!”
“Pertolongan apa?”
“Sadarkanlah ayahmu!”
“Aku!”
“Dia telah membuat kami ketakutan. Dia telah membunuh banyak orang. pernah orang-orang berlari, berupaya keras kabur dari pulau ini. tapi yang terjadi, mendadak ombak mengulingkan kapal dan menurunkan kami ke pantai. Siapa orang yang berusaha pergi, selalu tidak bisa. jauh lebih parahnya lagi—tidak ada pendidikan disini. Tidak ada agama di sini.
Segala anak yang dahulu di kirim ke pondok pesantren tidak ada yang pulang, kecuali kamu. Hanya kamulah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan kami, menjadi acuan kami. Ajarilah kami agama.”
“Ajari agama!”
“Iya!”
“Tapi,”
“Tapi apa? ajarilah kami agama: biar hati kami tenang, hidup kami damai.”
Hafid hendak berkata bahwasanya ilmu keagamaannya belum sempurna. Ia pulang karena dorongan sang kiai, karena kepatuhannya, maka ia pulang. Dan kebanyakan manusia memang tidak sabaran. Sehingga Allah berakata: “Bersabarlah, Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
**
Upaya pemuda yang dahulu pergi menuntut ilmu. Wal hasil selalu tersesat, ke tempat lain. selalu tidak menemukan pulau kembalinya. Mereka mecari informasi tentang pulau. Rupanya, dalam ilmu geografi, tidak terdeteksi pulau. Yang terbaca adalah sekedar lautan.
“Hah! Tidak terdeteksi,” kata Safarat. Yang mendadak tidak berada di warung interenet. Mendadak ia berada di hutan berteman tumbuh-tumbuhan liar dan ributnya hewan.
Ia menjumpai orang-orang dinas kehutanan. Ia menyambanginya. Tatkala perjalanan semakin dekat. Rupanya mereka acuh tak acuh. Semakin dekat, mereka tetap acuh tak acuh. Tatkala disapa, mereka juga masih acuh. Tatkala Safarat menyentuhnya. Kaget bukan kepalang, bahwa yunus tidak mampu menyentuh. Katanya, “Jadi aku ini apa?”
“Kamu adalah bayang-bayang. Dan orang-orang yang hidup, dan yang sepengetahuanmu adalah bayang-bayang peringatan.”
“Bayang-banyang peringatan!”
“Benar. peringatan buat hidup yang nyata.”
“Jadi… aku ini, apa!”
**
“Dengarkan! Dengarkan dulu penjelasanku!” kata Hafid memaksa. “Aku tidak pandai dalam agama: aku bukan orang hafal quran. adalah namaku saja ‘hafid’ itu nama, bukan gelar orang-orang penghafal quran.”
“Tapi kamu lebih mengetahui agama, daripada kami.” sahut yang lain.
“Mengapa kalian katakan kami, bukannya dahulu kalian adalah orang beragama dan giat membaca?”
“Ayahmu—si setan ayahmulah yang mencabut ilmu kami.”
“Mencabut ilmu kalian!”
“Iya,” jawab yang lain. dan meneruskan,“Dia mencabut ilmu kami—ingat-ingatan kami, tentang ilmu agama. kami tidak ingat sama sekali tentang agama. Tidak ingat.”
“Buku-buku semuanya dibakar,” kata yang lain, “Tidak ada yang tersisa sedikit pun. Hanya kata ‘agama’ yang melekat dan itu berarti kebaikan. Yang mengatar kebahagiaan.”
Katakanlah,“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”
Insyaallah—artinya Jika allah menghendaki: perlahan-lahan kuingat-ingat tentang pelajaran agama. Semoga Allah memberi petujuk. Amin.
**
Belum ada Komentar untuk "Hafid"
Posting Komentar