Musafir


Dalam kesendiranku, di tepi soko serambi Masjid. Tiba-tiba seorang mendatangiku. Dialah penjaga Masjid. Tapi dengan sangat renyah ia bercerita. Pada dasarnya. Aku tidak mengerti bahwa dia penjaga masjid. Pembicaraan dan gaya bicaranya tidak menunjukan bahwa dia adalah pengurus masjid ini. Pembicaraannya adalah tentang filosofi hidup. Tepatnya tentang bagaimana hidup. Dia menerangkan dengan bahasa yang lugas dan jelas. Dia berkata-kata,

“Bukannya hidup adalah abadi? Tatkala kita mengenal kehidupan maka kita akan selamanya hidup. Meski kita hidup di akhirat, Bukannya itu masih termasuk hidup?”

“Hidup adalah berusaha untuk hidup itu sendiri. Tatkala kita kelaparan, tidakkah kita berusaha untuk menghilangkan kelaparan? Entah itu dengan cara memohon pertolongan kepada Allah. Atau mulutmu meminta dan berkata, ‘Aku sangat lapar. dari kemarin aku belum makan.’”

“Cerita. Hidup adalah penuh dengan cerita. Kemana pun kita pergi. Kita akan selalu mendapati sebuah cerita. Entah itu cerita tentang ilahi rabbi, atau tentang keakhiratan, atau cerita orang demi orang, pekerjaan, kedudukan, profesi dan seterusnya. Sekarang, ingatkah bahwa kamu selalu berkaitan dengan cerita?”

Hingga akhirnya dia berakata,

“Hidup adalah jaga, dijaga, menjaga, penjagaan, terjaga. Kita menjaga diri kita serangan orang. Kita menjaga diri untuk berusaha sabar. Kita menjaga hati supaya tenang. Kita menjaga hati supaya tidak termakan nafsu. Dan kita dijaga malaikat. Dijaga Allah. Dan Allah menjaga kita, bila kita benar-benar beriman kepada Allah. Seperti aku menjaga masjid ini.”

“Hah! Menjaga masjid!” batinku terkejut mendengarnya.

“Mengapa kamu terkejut mendengarnya?”

“Ah biasa saja,” jawabku.

“Jika pun kamu berbohong, maka kamulah yang lebih mengetahui. Bukannya kebohongan hati yang lebih mengetahui adalah diri sendiri?”

“Malaikat dan Allah juga mengetahui,” balasku seketika.

Ia pun tersenyum mendengar jawabanku sembari kepalanya mengaguk pelan. Dan kemudian berkata, “Omong-omong, apakah kamu tahu nama masjid ini?”

“Bagiku, untuk apa sebuah nama? Pokoknya aku berada di masjid. Beres sudah persoalan.”

“Tentu belum beres. Bukannya nama adalah menjadi sebuah tujuan?”

Aku hanya membatin, “Aku tidak tahu mengapa pertanyaanya begitu memojokkanku untuk selalu kalah. Aku harus hati-hati dengannya. Ya, lebih baik aku diam daripada berkata-kata.”

“Kok diam?” tanyanya mengejar.

“Aku sedang menunggu.”

“Menunggu apa?”

“Menunggu kamu berkata, ‘kok diam’”

Dan kami pun tersenyum renyah. Hingga kemudian dia berkata, “Ini adalah Masjid Musaffir. Jika berkenan, maka dibelakang ada tempat untuk istirahat.”

“Bukannya telah kukatakan bahwa, ”

“Menunggu lama ya,” sambut yang lain selepas solat isya.

“Mari kuantar,” katanya sambil membuka jemarinya.

Kami pun berjalan menuju tempat untuk istirahat. Kami meliwati semacam gapura. Kami meliwati makam-makam. Hingga kami melewati gapura lagi. Dan terlihatlah rumah yang memanjang. Rumah berdiri seperti zaman dulu. Beratapkan alang-alang, dan berpagar sulaman bambu.

Dia pun berkata, “Inilah rumahmu, wahai musafir.”

Pemandangan semacam ini adalah pemandangan yang biasa. Orang-orang yang tidur. Tapi ini bukanlah orang-orang yang biasa. Kukira mereka adalah para musafir yang kebetulan singgah di sini. Tapi aku tidak melihat tampang lusuh dan kumuh, aku rasa para musafir tersebut adalah musafir yang taat akan keislaman. Buktinya wajahnya bersih-bersih. Mereka seperti gemar berwudu. Ya, telah kurasakan menjadi musafir adalah air (wudhu) begitu berarti. Kurasakan benar makna wudhu tatkala melakukan perjalanan. Berbagai fungsi kudapati, seperti untuk membersihkan diri. Terbukti seperti mereka. Karena juga, ini adalah waktu sehabis isya, jadi mereka, malam ini, mungkin masih belajar untuk tidur.

Mungkin.

“Dan untuk diketahui, wahai musafir: di tempat kami, setiap hari selalu diadakan sahur bersama, dan magrib juga buka bersama. Bagi siapa yang ingin berkumpul dan melakukan, diperkenankan,” kata sang penjaga hingga kemudian undur diri.

“Oh ya! Ya! Terima kasih,” kata yang lain.

Sementara aku, sekedar mengagukan kepala. Aku menduga ada sesuatu aneh dengan sang penjaga masjid. Entah. Aku menduga dia bukan sekedar penjaga masjid. Tapi aku tertarik dengan keindahan tempat ini.

Di sini begitu didekatkan dengan alam. Kulihat ditengah-tengah rumah yang membentuk huruf ‘U’ adalah kolam yang ditengah-tengahnya berisi batu besar yang diatasnya adalah tetesan air. Ya, tetesan air. Air itu menetes satu, satu, dan satu. Tetes demi tetes yang menjadikan batu melubang dari tetesan tersebut. Dan memang, kebetulan di sekitar kolam terdapat tempat duduk dari batu. Yang memang batu tersebut adalah batu dari kolam. Ya, batu-batu yang telah berlubang karena air. Aku melihatnya karena memang kolam tersebutlah yang disoroti cahaya. Yang disoroti lampu. Sekedar kolam itu. sehingga cahaya yang didapati rumah adalah bias-bias dari cahaya tersebut. Dan terlihat juga gelombang yang diciptakan dari tetesan air. Aku begitu menikmati pemendangan ini. Sementara kau telah terkapar di dalam rumah. Kau merasa lelah untuk hari. Tapi tidak bagiku. Tidak bagiku. Hingga kemudian ada yang memberiku salam.

“Waalaikum salam,” balasku.

Kami menikmati pembicaraan. Kami bercerita tentang perjalanan, tentang tujuan. Jawabnya, “Ke Mekkah. Dan kamu?”

“Aku kemana saja. Pokoknya terus berjalan.”

“Tidak mempunyai tujuan.”

“Punya.”

“Kemana?”

“Kemana saja.”

Kau tersenyum. Dan mempertanya, “Mengapa kamu tersenyum?”

“Aku tersenyum karena tujuanmu.”

“Adakah yang salah dengan tujuanku?”

“Lantas, adakah yang salah juga dengan tujuanku?”

“Ya! Ya! Ya!” jawanku dan meneruskan, “Bumi Allah itu luas. Mengapa aku terheran dengan tujuanmu.”

“Ya! Ya! Ya! Begitulah.”

“Tapi, berikan alasan mengapa kamu ingin melakukan begitu.”

“Aku ingin. Bagaimana dengan jawabanmu, apakah kamu juga akan ikut-ikutan jawabanku?”

Aku menjawab dengan senyuman sambil menganggukkan kepala. Hingga kemudian mereka sembari berjalan menuju rumah. Yang terlihat pemandangan begitu indah. Di langit terlihat cahaya bintang gemintang yang jumlahnya banyak. Begitu juga di bumi. Rumah ini memang terletak ditepi jurang yang tinggi. Aku pun berkata,

“Tidak kusangka berada di pegunungan. Bahkan sejauh perjalanan aku seperti tidak melewati jalanan yang naik. Rupanya aku berada didataran tinggi.”

Kau sekedar mengiyakan. Dan matamu tetap memandang cahaya-cahaya. Sesekali kau melihat langit, sesekali melihat bumi, dan sesekali memejamkan mata. Meresapi belaian angin. Meresapi semesta berkata-kata. Serta membayangkan begitu luasnya bumi. Batinmu, “Bumi luas. Padahal langit melebihi bumi. Bumi itu kecil bagi langit. Bila bumi itu kecil manusia jauh lebih kecil. Maka begitu tidak patutnya jika manusia mengaku-aku besar. Begitu bodohnya jika orang mengaku Tuhan, seperti Firaun. Padahal manusia seperti dalam cahaya yang bertebaran di bumi, di rumah itu: bahkan rumah lebih besar dari manusianya. Bahkan lampu lebih besar dari manusia. Kerangka-kerangka itu sangat besar buat penghuninya. Kalau begitu, apakah jiwa jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerangka manusia? Atau, pokok dari tubuh manusia adalah hati? Agaknya memang demikian. Atau pokok dari tubuh manusia adalah otak? Antara otak dan hati: manakah yang lebih pokok? Akan kucoba tanyakan kepadamu.”

Kataku, “Jadi, bagaimana menurutmu tentang hal ini: pokok mana antara otak dan hati bagi manusia? Maksudnya, manakah yang lebih pokok di antaranya.”

Lumayan lama kau tidak menjawab. Aku melengokmu. Ya, rupanya kau tertidur.

MEI 2013 di edit 2017

Belum ada Komentar untuk "Musafir"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel