Kritik Tentang Subjektifitas Status Alim-Ulama
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Ini tulisan lama—sekali pun belum lama-lama amat—namun bagiku, menjadi sebuah pembelajaran, khususnya buat diriku, yang ternyata, tulisan lama adalah tulisan baru bagi yang belum pernah membaca. Karena sekarang bertambah pengalaman, maka saya bisa menulis kritik buat tulisanku sendiri:
Pertama, dedikasi alim-ulama, adalah dedikasi kepada mereka yang sibuk dengan keilmuan agama sekaligus mempraktekkan keimuan agama. Semakin manusia itu diikat oleh aktifitasnya tentang keislaman, maka semakin mendapatkan peluang bakal dijuluki alim atau pun ulama.
Kedua, julukan alim-ulama, adalah julukan yang disandarkan orang kepada pelaku tersebut, perakuan alim-ulama memang bisa diakukan, namun itu bisa terkesan sombong atau bisa jadi, ‘perakuan’ alim-ulama adalah memotivasi diri untuk menjadi hal seperti itu: artinya, alim-ulama adalah sandaran untuk peraihan. Wal-hasil, kestatusan ‘alim-ulama’ adalah pajangan, atau tempelan.
Ketiga, karena ini berbentuk curahan-pemikiran yang tertekskan, maka pembahasannya adalah acak: (1) tentang status subjektif, (2) tawaran kisah yang diserupakan subjektif (3) hubungan antara bahasa al-quran dan subjektif.
Untuk lebih terangnya, beginilah uraiannya:
Dialog: Tentang Subjektifitas Status Alim-Ulama
Aku tambah ragu dengan kepribadianku. Kutanya-tanyakan, “Benarkah aku pantas menjadi alim-ulama? Tidak benar! Tapi mungkin juga benar, karena secara penampakan aku selalu berusaha untuk menjaga akhlak, walau pada kenyataannya, di dalamnya masih buruk—yakni bertanya-tanya macam Nabi Ibrahim yang tak terpuaskan: malah hari ini, aku ingin sekali mendapati biografi Nabi Ibrahim—inginnya kutanyakan, ada kemungkinan bahwa Nabi Ibrahim bertanya tidak sekedar ciptaan, apakah dia termasuk mempertanyakan tentang dirinya sendiri? Al-Quran secara singkat menjelaskan tentang Nabi Ibrahim. Ah, aku betapa hausnya akan ilmu tafsir, aku ingin mengetahui tafsir-tafsir tentang kisah Nabi Ibrahim: adakah kisah Nabi Ibrahim tetang hatinya, tatkala sebelum dia mempertanyakan tentang tujuan Allah.
“Sial! Mengapa aku harus bertanya, yang itu jauh dari jangkauan pengetahuan.”
Aku seperti halnya kisah Nabi Musa dalam menuntut ilmu, kurang sabar dengan apa yang telah ditakdirkan Allah. Tapi, pernyataan ‘titisan alim-ulama’ adalah sangat meragukan diriku. Aku menyukai kesenian, aku menyukai lagu-lagu barat, bukankah itu menjauhkan dari keislaman, yang keislaman adalah berpatok pada kosa-kata arab. Aku pernah mendapati pertanyaan—apakah bahasa Tuhan? Apakah arab adalah basaha Tuhan? Jawabnya, Tidak. Tapi Al-Qur’an adalah bahasa arab. Sebab tujuannya adalah mempersatukan manusia dari segi persepktif, jadi, tatkala ingin menyatukan adalah menggunakan bahasa yang sama, sehingga tidak ada alasan untuk setiap muslim mengetahui bahasa Al-Qur’an, bukan bahasa arab. Tapi bahasa Al-Quran. Itulah yang mesti diketahui. Setiap Muslim disuruh untuk mengetahui bahasa arab tapi tidak untuk mengetahui bahasa arab—bahasa arab yang dimaksud adalah bahasa Al-Qur'an. Artinya, harus dibedakan antara bahasa arab dan bahasa al-quran.
Apakah ini, aku mencampur-adukan apa yang hak dan yang batil? Semoga tidak! Aku merasa begitulah kebenarannya. Begitulah yang harus dimengerti. Tapi, kecintaanku adalah tidak hanya bahasa al-Quran, tapi bahasa internasional, yakni barat. Oleh karenanya, apakah inilah yang membuat misteri terhadap mimpiku. Yakni, selalu serakah terhadap apa-apa yang tidak semestinya dikuasi oleh satu orang. Atau, oh aku masih menyukai dosa-dosa, sehingga aku mencintai bahasa yang tidak fokus. Tapi, bahasa ibuku bukan bahasa arab, lantas bagaimana aku bisa melebihkan bahasa ibu dibanding keduanya. Ya, rupanya, aku menyukai ketiga bahasa itu sekaligus di dalam hatiku, aku hanya berharap lewat pertolongan-Nya, dibuatkan keseimbangan buatku. Aku jadi teringat, mengapa keseimbangan diterapkan dalam Al-Quran, karena memang keseimbangan adalah sulit dijalani—ya, mendadak aku teringat, bahwa Al-Quran adalah perkataan-perkataan yang berat. Aku berlindung kepada-Nya, dan menyerahkan diri kepada-Nya, tetang apa-apa yang kulakukan, tentang apa-apa yang kukerjakan: bukannya pada akhirnya manusia hanya mampu menyerahkan apa-apa yang dikerjakan kepada atasanya? Soal kebenaran atau penilaian lebih jauh, Dialah yang menentukan. Bukankah nilai tidak bisa ditilik dari satu perspektif, tapi ada sayap-sayap lain yang menjadi bahan pertimbangan.
2014
Belum ada Komentar untuk "Kritik Tentang Subjektifitas Status Alim-Ulama"
Posting Komentar