Abu Nurikhasf dan Jiwanya


Orang-orang hanya takjub ketika melihat kampung Abu Nurikhasf yang serat akan keahlian dan dibatasi dengan islam. Kerap dikatakan, ‘agama sebagai batas.’ Hal itu pun yang kerap dikatakan Abu Nurikhasf kepada rakyatnya. Juga kepada jajarannya. Jajarannya memang terkenal dengan jajaran yang patut didedikasikan. Abu Nurikhasf menyandarkan kepada Hadist Nabi, bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin dipertangungg jawabkan atas kepemimpinannya. Begitulah kerap dibicarakan kepada jajarannya.

Jajarannya, adalah orang-orang yang terpercaya. Keberadaannya adalah sekedar lintasan belaka. Rakyat telah memaklumi keberadaannya. Sehingga yang terjadi, keberadaan jajaran adalah sekedar pengingat belaka. seakan-akan dijidat rakyat tertera.

“Kalau ada kepemerintahan yang datang, pasti kita ingatkan tentang: ingatlah. Ingatlah.”

Selalu itulah inti yang ingin disampaikan setiap pengawas yang datang. Sekarang, ketika Abu Nurikhasf menjadi pemimpin. Sungguh dia hanya sekedar berlalu lalang di jalan. Sembari tersenyum, yang kemudian sebagian rakyatnya membututi beliau. Selalu begitu yang terjadi. Dan kalau ada sekumpulan orang-orang yang duduk, maka Abu Nurikhasf menyambangi sekumpulan tersebut sembari menyedetkan bibirnya.

Dia, Abu Nurikhasf, memang telah dikokohkan menjadi pemimpin. Karakter yang datar adalah dedikasi kuat menjadi pemimpin. Pengalaman yang luas adalah syarat yang harus dipunyai pemimpin. Intinya, syarat menjadi pemimpin: cerdas, amanat, jujur, dan menyampaikan, adalah telah dimiliki beliau sejak muda.

Ketika dia muda. Beliau gemar belalu-lalang mendatangi orang-orang. Enjoy menikmati permainan demi permainan. Hampir-hampir, segala apa-pun permainan dia selalu bisa. Tak ada yang tak bisa. Namun, beliau tidak pernah mengikuti kompetisi sama sekali. Tidak pernah. Bahkan tidak pernah diajukan ikut lomba, tidak pernah. Karena kapasitasnya bukan untuk diperlombakan. Tapi rupanya, kapasitasnya adalah dijadikan pemimpin.

Sehingga ketika dia menjabat sebagai pemimpin. Membuat dirinya berubah drastis. Pergaulannya berubah drastis. Gaya hidupnya berubah drastis. Tapi karakter jiwanya tidak pernah berubah. Tidak pernah berubah. Selalu seperti itu.

Lidahnya berbicara kerap diarea pembicaraan jajarannya. Selalu seperti itu yang terjadi. Paling-paling, kalau dia mendapati suatu hal tanpa diduga, dia sekedar menegur. Kalau tidak, sejenak geraknya membenahi hal yang perlu dibenahi. Mulutnya tetap terkunci. Lalu mengarahkan tangannya sebagai tanda untuk dibersihkan.

Taruklah. Jalan air—parit. Kalau dia melihat, ada parit yang berisi banyak kotoran. Maka dia bersihkan dengan kayu, kemudian dia menegur orang yang tepat di halamannya. Sesimpel itu.

Rakyatnya bercerita tentang bagaimana dia sewaktu muda, “Dia benar-benar ditunjuk sebagai pemimpin. Segala apa-pun, pasti terbenarkan untuk dijadikan pemimpin. Ketika melihatnya, maka akan selalu terbesit. Oh wajahnya adalah karakter wajah pemimpin. Ketika melihatnya, maka selalu seakan-akan melihat dia selalu muda. Dia seperti awet muda. Dia selalu seperti itu. Ketika aku melihat dia usia 18 tahun, aku melihatnya seperti 27 tahun. Dia berjenggot, juga berkumis. Dia menyukai keduanya. Dan ketika, dia berusia 23 tahun, aku melihatnya dia masih seperti 18 tahun. Simaklah, wajahnya yang kecil dan imut-imut. Serta bibirnya yang kerap tersenyum. Ditambah dengan pergaulannya. Dia seakan-akan selalu dididik untuk menjadi awet muda.

Aku teringat, ketika dia masih muda. Dia suka berkunjung kepada orang-orang yang usianya tua. Dia berkumpul dengan orang-orang tua. Uniknya, dia juga berkumpul dengan anak-anak kecil, berkumpul juga dengan sebayanya, tapi perkumpulan dengan sebayanya adalah sekilas saja.

Faktanya, ketika aku amat-amati. Dulu, dia memang tidak suka seperti pemuda lainnya. Ketika yang lain, euforia dengan kepemudaannya. Dia malah gembira tatkala berada di rumahnya. Aku juga kerap mendengar tentangnya. Berita tentangnya. Yakni, dari ibunya, pernah dikatakan, di kamar dia ngapain. Yang ada hanyalah ketak-ketik dan dihadapkan laptop. Itulah kerjaannya.

Kabar tentang keunikan dirinya. Melambung di desa. Orang-orang heran sendiri dengan tingkah-lakunya.”

“Tunggu dulu,” potong Sahal seketika. “Mengapa kamu begitu mengerti tentang Abu Nurikhasf?”

“Aku menulis biografinya.”

“Oh...”

Maful pun menambahkan cerita dengan cepatnya, “Sampai pada tingkah lakunya, ya?”

Sahal mengaguk dengan cepat.

“Tingkah lakunya begitu disoroti kepada masyarakat. Maklum, dia berada pada suatu desa. Dimana desa tingkat sosialnya tinggi. Apalagi di tempatnya. Sangat tinggi. Sebabnya, hampir dalam lingkungannnya adalah saudaranya. Sehingga, rasa belas kasih sangat kental sekali.

Keunikannya adalah, dia kerap bermain ke tempat saudara-saudaranya. Tepatnya, saudara dari ayah dan ibunya. Hingga lama ke lamaan dia menyukai tentang sejarah dirinya. Maka semakin gencarlah dia mendatangi tempat-tempat yang diaku saudara. Dia menggali terus tentang sejarahnya. Dia juga penah menulis tentang sejarah orang-orang, maksudnya nasab keluarga. Sebabnya, karena dia suka berkunjung ke sana kemari. Dan beliau kerap menggelontarkan tanya. Atau tepatnya, kerap duduk bersama.

Dari duduk bersama itulah, yang kemudian terjadi sebuah dialog yang tidak disengaja. Mendapati ilmu yang tidak disengaja. Apalagi, tradisi di desanya, adalah kalau bertamu kerap dibuatkan air minum. Yang kualitasnya, air-minum adalah air-panas. Sehingga, sembari menunggu air mendingin, maka jarak waktu pembicaraan adalah sekitar 15 menit. Dari itu, maka terjadi pembicaraan yang mengalir,” terang Maful gembira.

Sementara Sahal hanya terkagum dengan tokoh yang dibicarakan. Juga kagum dengan gaya Maful menerangkan.

“Sebenarnya, ketika kuorek-orek tentang dirinya. Dia adalah penyair. Dari dulu adalah penyair. Adalah kebenarannya, tatkala beliau sibuk di kamar. Dan betah di kamarnya, dia adalah sibuk belajar. Mulai dari membaca, hingga menulis. Selalu seperti itu yang kerap terjadi. Selalu seperti itu.

Dia adalah orang yang giat. Adalah salah kalau mengatakan dia adalah orang pemalas. Sebab, tak ada tanda bahwa dia adalah pemalas. Dia adalah orang yang giat. Super giat. Karena sangking giatnya, sehingga terkadang beliau lupa terhadap segala apa kecuali yang digiati. Seakan-akan kalau melihatnya adalah api yang membara. Selalu berkobar nyala-nyala. Tapi, persoalanya, dahulu, adalah waktu.

Waktu menjadi persoalan besar dirinya. Selalu seperti itu. Sebab, waktu yang kerap dibutuhkan adalah malam. Baginya, malam adalah waktu yang sangat penting. Apabila ia tertidur dalam malam, maka batinnya akan terasa tersiksa. Katanya seperti itu.

Aku mengetahui dia banyak, karena dia menulis tentang dirinya. Dia adalah seorang pencari tentang kebenaran. Dapat dikatakan, sang pencari. Sebab, dalam catatannya, dia selalu sibuk mencari dirinya sendiri. Terkadang, hal itu adalah aneh bagi dunia realita. Tapi kebenarannya, beliau selalu sibuk mencari dirinya sendiri, ketimbang orang lain.

Intinya, kalau kamu mencari-tahu tentang dirinya. Maka akan terkagum-kagum kepada dirinya, dan akan menemukan bagaimana dengan orang-orang terdahulu. Karakternya adalah karakter yang mengarah ke orang-orang terdahulu.”

“Maksudnya?”

“Tidakkah kamu mendapati bahwa disini diterapakan tentang kaidah islam. Tentang Quran dan hadis?”

Sahal terkejut bukan main. Sahal mengenang-kenang, kejadian yang pernah dia datangi. Dia bertanya-tanya, tentang Quran dan Hadist. Dia diam lumayan lama. Akhirnya, terkatakan secara lisan juga. “Tentang Quran dan Hadist!”

“Ya,” balas Maful seketika. “Berjalannya Quran dan Hadist, realisasinya Quran dan Hadist.”

“Benarkah?”

“Tapi ya tidak 100 %,” balas Maful seketika.

“Maksudnya? Bisakah dijelaskan tidak 100 %.”

“Kita percaya Quran itu turun tidak sekaligus. Itulah persoalannya, Nak.”

“Persoalan!” balas Sahal terkejut.

“Sekarang, Quran telah ada. Posisinya quran telah 30 juz. Jadi, perbedaannya seperti itu.”

“Konon, Quran itu selalu baru? Selalu berjalan sesuai dengan zamannya.”

“Memang, tapi pembicaraan Quran adalah secara umum. Hanya orang-orang yang berpengetahuan luaslah yang mengetahui tentang Quran secara detail. Terlebih lagi, disini bahasanya bukan bahasa quran. Tentu hal itu juga termasuk kendala.”

“Maksudnya,” balas Sahal ingin mendapati jawaban lebih.

“Orang-orang disini, apabila ingin mengetahui Quran, maka penting pengetahuan bahasa, sementara mereka terdidik tidak sesuai dengan bahasa. Tapi terlepas dari itu, Abu Nurikhasf, memang lihai menerangkan Quran. Wajar, beliau adalah Al-hafid.”

“Al-Hafid! Maksudnya orang yang hapal Quran.”

Maful mengagukkan kepala.

“Dari dulu dia memang mencintai quran. Baginya quran selalu ditenteng kemana pun dia pergi. Maksudnya, kalau dia sedang jalan-jalan dan itu membawa tas, membawa baju, maka quran adalah temannya. Baginya, quran adalah seperti kekasih. Sekali pun,” kata Maful melemah.

“Sekali pun apa?” kejar sahal.

“Sekali pun beliau berat membaca quran.”

“Berat membaca quran,” serobot Sahal begitu penasaran.

“Dia menuliskan, bahwa dirinya berat membaca Quran. Tapi beliau juga menuliskan, mengapa berat membaca quran, kalau ringan bagai kapas, maka oh betapa kecewanya dia, mengetahui tapi tidak dipraktikkan. Ya, beliau perlahan-lahan mempraktikan Quran. Tidak hanya Quran, Hadis yang diketahui, perlahan-lahan dipraktikan juga.”

“Jadi, pada mulanya, beliaulah yang praktik Quran dan Hadist?”

Sekali lagi Maful mengagukan kepala. Menambahkan lagi, “Dia berkhutbah melalui gerak-geriknya. Gerak-geriknya adalah tamparan pedas buat orang-orang yang mengaku alim. Apalagi, didorong dia gemar berlalu lalang mengunjungi orang-orang. Itulah yang menambah takjub beliau.”

“Apakah dia tidak mengingkan menjadi pemimpin besar?”

“Jangan salah, anak muda. Beliau adalah pemimpin besar. Faktanya, sekali pun dia memimpin di kalangan desa. Banyak orang yang takjub dengannya. Termasuk kamu ‘kan? Tidakkah itu termasuk menjadi pemimpin besar?”

“Maksud saya, apakah dia tidak ingin menjabat sebagai bupati atau lain sebagainya? Bukankah itu memuluskan cara supaya rakyat sejahtera, bukannya sawah di sekitar, barang-barang dan lain sebagainya, tentang sekolah adalah berbeda desa?”

Mendengar pertanyaan Sahal tersenyum.

“Tunggulah, aku pun menunggu tentang pertanyaan tersebut.”

**

Belum ada Komentar untuk "Abu Nurikhasf dan Jiwanya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel