Perjalanan Saal
Sabtu, 21 Januari 2017
Tambah Komentar
Telah beberapa hari Saal menjalankan kaki menuju tempat yang disembunyikan identitasnya. Ya, ketika sebagian orang bertanya kepada saal, ia menjawab dengan santainya, “berjalan-jalan,” sambil terus menyedetkan bibirnya. Selalu begitu jawaban yang terlontar dari Saal. Berbeda ketika ia bercerita, dengan gamblang ia mengatakan, “Bukannya ke masjid tidak harus selalu menggunakan peci dan sarung? Jauh lebih tepatnya, mereka yang bertanya akan mendapati makna tentang jalan-jalanku. Yakni, mereka akan penasaran dengan perjalananku dan mencari sendiri informasi tentang kebenaran makna ‘jalan-jalanku’. ” Saal juga mengatakan, “Dalam Quran tidak dijelaskan tentang bentuk pakaian yang dikenakan. Tidak dianjurkan mengenakan jubah, baju kokoh yang bersarung.”
Saal telah terkenal keunikannya. Termasuk pembuat kagum orang-orang disekitarnya. Tapi kali ini perjalanannya membuat kagum sendiri. Tiba-tiba ia mendapati dukungan dari pemikirannya sendiri, “Mengapa aku tidak menggunakan pakaian sebagaimana bisa kukenakan. Mengapa aku harus menyembunyikan identitas keimananku. Agaknya orang-orang membutuhkan hal yang realitas dan akan dipuji-puji.” Saal juga mendapat dukungan dari keponakannya yang kecil, dimana waktu asar tiba ia berkata, “Llohukbal-llohuakbal, Man” yang mengisyaratkan untuk solat. itulah pelajaran yang kerap diberikan ibu-bapaknya ketika hendak melaksanakan solat. yakni, “allahuakbar”.
Saal menambahakan, “Benar. Harusnya aku menggunakan pakaian sebgaimana aku memakai, toh aku menyukai sarung dan kokoh, toh adalah kebiasaan bila aku menggunakan peci. Mengapa harus rikuh kepda orang-orang? mengapa aku takut dihinakan orang-orang bila aku beriman. Agaknya, aku memang orang beriman. Tepatnya, lagi belajar beriman. Biarlah orang-orang yang menghinakan adalah pelajaran untuk pengukuhan iman. Bukannya hal kejadian semacam itu telah terjadi padamu, wahai saal yang beriman? Dan kamu semakin bertambah imannya.”
Ya. Selang beberapa hari saal menjalankan kaki mengunakan pakaian jens, kali ini menggunakan pakain yang menandakan ia akan pergi ke masjid. tepatnya di hari kamis, saal telah menyiapkan jawaban untuk orang-orang yang hendak bertanya. “Ke masjid” itulah jawabnya. Jika mereka bertanya lagi, telah disiapkan jawaban yang lain, yakni, “kamisan,” jika hari-hari lain, ia akan menggunakan dimana hari itu berada, “sabtuan, mingguan, seninan dst, toh orang-orang telah hafal dengan ungkapan “jumaatan” mengapa mereka terkagum dengan jawaban selain jumaat?”
“Benar, diera serba mesin ini, bahkan orang berjalan kaki dianggap aneh. padahal menurutku biasa saja. Ini malah termasuk penghematan, tapi tidak juga sih. Menurutku ini malah berkaitan dengan kedaan krisis ekonomiku sendiri, yakni keunganku. Tapi tidak juga, aku ingin kaya.”
“Ya, aku ingin kaya,” imbuhnya.
“Di rumah apa yang kucemaskan dalam keadaan seperti sekarang? Mengapa harus terusik soal keuangan. Tanpa mencari uang pun, masih bisa makan dan tidur. asalkan, manut kepada orang-tua, ikut saja kepada orang-tua. itu saja. Ya, mengapa sejauh ini aku terpikirkan tentang keuangan.”
Apabila tidak mengunakan kendaraan, maka aku tidak perlu membeli bensin, juga tidak penting mengurusi kendaraan. Yakni, membenahi. Mengantarkan kendaraan ke bengkel. Jadi, biarlah orang-tua yang mengurus tentang kendaraan. Toh, memang itu kendaraan miliknya. Bukan milikku.
Mengapa harus dimiskinkan dengan keadaan uang. Memang, uang sekarang adalah siklus perjalanan yang penting. Bahkan sangat penting. Tapi tidak bagiku. harus kukatakan, tidak bagiku.
Uang adalah memiskinkan kebahagian. Maksudnya, aku memang belum mengurusi tentang keuangan. Keuangan adalah pemilik orang-tua. Yakni, orang yang telah mempunyai istri dan anak. Wal-hasil, setiap siapa yang berkeingin mempunyai istri dan anak, maka ia harus siap mengurusi kedaua teresebut. Yakni, tertuntut mencari nafkah.
Ah, mengapa aku harus terpusingkan memikirkan hal-hal begitu.
Aku pikir, orang-orang yang kulihat adalah orang-orang yang ecek-ecek islamnya, ecek-ecek pengetahuan keislamanan, ecek-ecek pengetahuan hidupnya. Jidat mereka bagai berdesak-desakan tanda tanya untukku, mata mereka seperti memancarkan kekaguman dengan perjalananku. mata mereka seperti buta. Mengapa mereka terkagum memandangku, padahal setiap hari mereka kerap melihat orang berjalan dengan berpakaian muslim (kokoh, sarung, dan berpeci). Mereka seperti tidak melihat orang berpakaian muslim. Tepatnya, mereka bagai tidak pernah melihat orang ke masjid di siang hari.
Ya. Ya. Ya, mereka akan bosan sendiri dengan tanda-tanya bila kerap kulangkahkan kaki. Mereka akan mengetahui sendiri perjalananku.
“Berarti kamu masih dianggap sebagai manusia, Al. Untung masih ditanya dan diperhatikan,” Balas Pakde Rohmad yang berjalan dengan Saal.
Saal pun membalas, “Apabila disini sudah menjadi kota: tentu mereka tidak akan memperhatikan. Ya, kan?”
Pakde Rohmad hanya tersenyum dan tetap sambil melangkahkan kaki.
Dalam hati Saal meneruskan, “Bila desa telah menjadi kota. Siapa yang bakal memperhatikan langkahan kaki? Orang telah sibuk dengan pekerjaannya. Hanya orang-orang yang bekerja di emper jalan yang melihat seorang pejalan. Bahkan, mereka mungkin sudah mengaggap biasa seorang pejalan.
Tapi di sini adalah desa, yang bakal sebentar lagi adalah menjadi kota. ya, ini hampir-hampir mendekati syarat menjadi kota. menurutku, syarat kota adalah dimana penduduk itu banyak. Sebab, dengan menjadi penduduk banyak orang-orang mulai uprek dengan kebutuhannya. Orang-orang sudah jauh dari proses kezuhudan dunia. Ya, agaknya sangat sulit praktik zuhud dunia di era yang ramai manusia. Zuhud—mencintai akhirat dalam himpitan modern. Apa sih yang tidak mungkin bila Allah menghendaki.”
Saal tersentak, dan sampailah ia di kamarnya. Merenungkan kembali tentang zuhud di himpitan modern dan keramaian manusia.
Dengan cepat Saal berkata dalam hati, “Aku tidak harus uprek memikirkan zuhud dunia, yang pasti bagaimana aku menghadapi era modern ini, bersama cita-citaku yang tinggi, akan kupraktikkan icik-icik kezuhudan dunia. Seperti, mengunakan 3 baju, 3 celana dan 3 sarung. Itu, dulu. agaknya bila berjalan selama berhari-hari atau lebih dari sebulan adalah hebat. Ya, aku ingin memuji diri sendiri dengan melawan diri sendiri.
Ya, barulah kurasakan benar. Sesungguhnya perlawanan terberat adalah melawan diri sendiri. Jika ia dikatakan musuh, bagaimana aku bisa menojok diriku dengan tanganku? Bagaimana aku rela menghancurkan diriku dengan pikiranku? Ya, agaknya, aku benar-benar mencintai diriku sendiri. Bahkan sekarang, aku ragu, apakah aku mencintai selain diriku lebih dari diriku?
Pernah seorang bertanya kepada saal, “Konon, kamu sering dan setiap hari berada di kamar. Memang, aktifitas apa yang sering kamu lakukan di kamar, wahai Saal?”
Dengan tenang Saal menjawab, “Jalan-jalan,”
“Ha! Jalan-jalan,” kagumnya sambil tertawa.
“Iya,” Saal menjawab dengan entengnya.
Sambil tertawa, ia bertanya lagi, “Jalan-jalan bagaimana?”
“Banyak hal yang penting diperjalankan. Apakah kamu ingin mengetahui kebenarannya?” Saal kembali bertanya.
Ia memagut pelan. Dan saal kemudian mengajuhkan tangannya pada jidatnya. Mengetuk-ketuknya beberapa kali. Dan berkata,
“Berpikir termasuk perjalanan yang mampu melampaui jangkauan keberadaan atau kebendaan. Perjalanan itu bisa ditunaikan bila kita menggukan keindraan kita: bagaimana kita bisa melakukan perjalanan jika tidak berasal dari keindraan kita?”
**
Belum ada Komentar untuk "Perjalanan Saal"
Posting Komentar