Cita-cita: Filosof

“Apa cita-citamu?”

Pertanyaan itu membuat perbicangan hangat kami menjadi ruwet dan membingungkan. Itu berawal dari jawaban aneh Zaid, “Filosof.”

Sebelum menjawab. Zaid yang pada dasarnya berbaringan dengan Badu di taman. Asyik menghitung bintang-gemintang. Ketika Zaid mendapati pertanyaan itu. Dengan cepat, duduk dan menatap Badu dengan tatapan yang khas. Seakan-akan marah atau emosi atau entah. Ekpresi Zaid yang aneh dengan tatatapan tentu membuat Badu terkejut. Dibalaslah seketika dengan mengangkat pundaknya dan kedua tangannya terbuka. Seakan-akan mengisyaratkan, “Ada apa?” Tapi mulut Badu diam. Dan ia berkata, “Memangnya, apa yang ingin kamu cita-citakan?”

Dengan cepat Zaid menjawab, “Filosof,” lalu membaringkan tubuhnya lagi. Mengambil nafas panjang dan mengeluarkan dengan cepat, “Fiuhh…!”

Sambil memiringkan tubuhnya. Sambil menyipitkan matanya. Badu bertanya, “Memang filosof yang seperti apa yang kamu citakan? Tepatnya seperti apa? Atau bagaimana? Atau, aneh sekali cita-cita menjadi filosof.”

Zaid mengambil nafas lagi. Mengeluarkan lagi. Dan berkata, “Entahlah. Aku pun bingung filosof yang seperti apa yang kucita-citakan. Namun aku ingin sekali menjadi filosof. Entahlah, filosof apa yang ada digambaranku. Menyukai saja istilah “Filosof” sebagai jawaban dari pertanyaan cita-cita.”

“Ah aku jadi bingung dengan cara pikirmu!”

Zaid pun kini menghadapkan kepala pada Badu. Dan berkata, “Jangankan kamu, Du, Badu. Aku sendiri pun bingung dengan kemauan cara pikirku. Aneh ‘kan?“

“Hahaha aku juga menjadi aneh. Mengapa terbingunkan dengan istilah “filosof” padahal itu kan sekedar kata-kata. Ya, ‘kan?”

“Benar!”

“Tunggu …, tunggu…” geregah Badu langsung duduk.

Terkejutlah Zaid menyaksikan geregah Badu dan berkat, “Ada apa?”

“Cita-cita itu sekedar kata-kata. Hanya sekedar …,”

Sssttt…! Suara dari arah segerombolan wanita mengisyaratnya diam. Mungkin untuk kami. Mungkin mereka risih mendengar perbincangan kami, atau, mungkin mereka risih melihat tingkah kami. Berduaan berdekat-dekat hampir rapat. Dengan lirih Badu berkata, “Mereka sedang membicarakan kita. Mungkin risih dengan kita. Bagaimana jika kita buat mereka lebih risih?” Zaid pun menjawab dengan goyangan alisnya. Dan dengan lirih berkata, “Rangkullah aku!” Kami saling merangkul. Menepuk-tepuk punggungnya. Terlihat dari mata kami. Segerombolan perempuan itu menggedekkan kepala dan betapa merot bibirnya. Seakan-akan berkata, “Ih jorok. Homo.”

Tidak lama berselang. Kami merencanakan bakal mendekati segerombolan perempuan itu. Mempertanyakan cita-citanya. Tapi ketika kedatangan kami. Ketika mereka mendengar pertanyaan kami yang spontan. Mereka diam. Dan ada yang terlihat seperti bingung. Ada yang menjawab, “Dokter!” Dan kami telah sepakat ketika ada orang yang menjawab suatu obyek, maka kami berikan pertanyaan penegasan, “Benarkah?” Lalu jika ia mantab maka kami sodori lagi dengan, “Coba dipertimbangkan.”

Tidak sampai di perempuan. Kami tanyakan juga kepada orang-orang yang kami temui. Rupanya hampir kebanyakan orang-orang bingung jika ditanya spontanitas tentang cita-cita. Dan bahkan ketika ditekankan lagi dengan istilah “Benarkah dan coba dipertimbangkan.” Mereka kendur dengan jawaban sebelumnya. Malah mereka memilih menjawab, “Bahagia.” Lalu kami telah sepakat, kalau kita mendapati jawaban “Bahagia,” maka dilontarkan lagi persoalanya, “Bahagia yang bagaimana, sih?” Jika mereka menjawab, “Bahagia, ya. bahagia,” Maka kami melontarkan pernyataan, “Bahagia itu memang misterius, ya. Jadi, cita-cita memang misterius, ya,” lalu kami pergi. Meninggalkannya.

***

Setahun telah berlalu. Pertemuan maya Zaid dan Badu masih tetap sama, membicarakan cita-cita. Badu menulis kata-kata pesan singkat, ya, kami bersahut-sahutan di Inbook lewat jejaring sosial:

“Agaknya cita-cita memang misterius dan sekedar kata-kata.”

“Memang. Tapi mengapa setiap orang berani sekali mengatakan cita-citanya padahal mereka bisa jadi dusta?”

“Jadi, sekarang, bagaimana dengan cita-citamu?”

“Aku tetap ingin menjadi filosof. Aku rasa kata-kata adalah doa. Begitu sajalah. Entah macam apa rupanya: aku menginkan itu. Namun, sekarang, ada alasan mengapa aku ingin menjadi filosof. Lantas, mengapa kita mesti persoalkan tentang cita-cita? Untuk siapa? Untukmu, atau kamu ingin mengetahui masa depanku?”

“Padahal, aku selalu tidak mengerti tentang masa depanku,” imbuhnya.

“Jadi, alasan apa ingin menjadi filosof padahal filsafat itu, konon, ilmu tidak baik. Tidak punya tujuan.”

“Mana mungkin sebuah keberadaan tidak mempunyai tujuan. Kenalilah bahwasanya baik dan buruk pun jadi pembahasan ke-filsafat-an.”

“Ya. Ya. Ya. Aku tahu itu, maksudnya mengapa ingin ke situ?”

“Simak baik-baik alasanku, satu, kriteria pikiranku terburu penasaran dengan alam semesta dan seluruh keisiannya. Membayangkan langit yang berlapis dengan pikiran. Tindakkah ini alasan aneh, membayangkan keluasan langit yang tinggi-tinggi itu?

Dua, dalam sejarah pengetahuanku, yang telah menyemplungi islam terlebih dulu: rupanya saya terpilih menjadi bagian kamu bijak. Ya. Kutegaskan bahwa saya menyerupai kaum bijak; yang tidak kukuh dengan agama, yang penuh toleransi dan lain sebagainya. Terlebih lagi, daya ingat saya kurang kuat untuk menghafal beberapa nama keislaman—kesejarahan islam, kebendaharaan islam. Terlebih lagi, soal bahasa: saya tidak mengerti bahasa dasar islam (arab). Menurutku, kalau orang mengaku sebagai petinggi agama islam tidak mengerti bahasa arab maka kurang sohih ajarannya. Sebab permaianan (tata-bahasa) Arab kompleks. Saya percaya dengan Ibnu Khaldun dalam Muqadimah-nya, yang intinya, bahwa syarat memasuki dunia islam kalau tidak mengerti alat (bahasa) maka bakal susah.

Tiga, kukategorikan bahwa ke-filsafat adalah telah dikamuskan Allah; bahwa saya mesti ke-filsafat. Berarti ini masuk pembicaraan takdir. Namun, jika takdir telah ditentukan, maka bagaimanapun itu telah direncanakan dengan apik dan baik. Allah-pun merencanakan segala sesuatu dengan rapi dan rajin. Sehingga jika ditelisik lagi, akan menemukan bagaimana Allah merencakan sesuatu tepat pada sasarannya.

Simaklah runtutan singkat sejarah keilmuanku: tipeku adalah pemikir. Artinya beride-ide di dalam pikiranku. Dan itu, segala ide di dalam pikiranku, jarang terlaksana secara realita padaku. Artinya, penakut menghadapai ideku, dengan dalil, ‘Aku telah mengetahui bahwa hidup selalu berpasangan: jika aku mendapati bahagia lebih, maka aku akan mendapati kesedihan lebih.’ Dengan kata lain, tipeku adalah perenung: manalah mungkin orang mendapati ide segar jika tanpa direnungi lagi tentang apa yang diidekan. Kemudian, ini merambat ke pengamat: jika saya perenung berarti saya pengamat. Sehingga saya menemukan ide dari yang saya amati. Sebagai pengamat, tentu hal-hal yang diamati tidak sekedar Tuhan dan langit alam semesta. Atau ketatanan semesta: ketatanan sosial itu yang komplek dan serba-wah. Namun beberapa hal yang kutemui bahwa menjadi pengamat adalah mengamati tentang apa yang didapati dari data-indra. Data-indra, hal ini berkaitan-erat dengan pikiran atau dugaan-dugaan—gaya menterengnya, spekulasi tentang data-indra: atau penyelusuran segala sesuatu yang dipikirkan.

Namun pada akhirnya, entahlah. Yang pasti, aku menyukai istilah “filosof” daripada yang lainnya. Selain itu ilmu yang mentereng jelaslah, saya terakui adalah kaum pemikir: tipe pemikir. Karena menulis adalah cara menjadi filosof, maka aku akan menulis. Yang pasti menulis, dan yang lebih khusus, mempublikasikan diri. Terlebih khusus lagi, mengembel-embelkan istilah “filosof.” Dan tentu membahas ke-filsafat-an. Sehingga dengan sendirinya saya akan menjadi “filosof.”

Jadi, ya…, tepat seperti pembicaraan kita setahun yang silam: cita-cita adalah sekedar kata-kata. Namun kata-kata bukanlah sekedar cita-cita. Dan untuk melaksanakan cita-cita kita perlu kata-kata. Jadi, bagaimana denganmu?”

“Aku malah masih penasaran dengan cita-citamu!”

Zaid tertawa kecil. Dan menulis, “Penasaran yang bagaimana?”

“Sudahkah kamu mempublikasikan diri?”

“Soal itu, tunggu sajalah. Namun perlahan-lahan saya telah mempublikasikan diri, dengan cara menulis puisi, cerita pendek, bahkan novel. Dan itu lebih mendekatkan saya pada istilah atau cita-cita yang disebut ‘filosof’. Dan itu lebih mendekatkan diri kepada Allah. Soal diterima atau tidak, atau kapan: saya percayakan kepada Allah, saya yakin Sang pencipta telah menentukan segala sesuatu yang tepat dan tidak bisa dihelak, dengan cara menguji umat-Nya, apakah saya tabah dan tetapkah saya mensyukuri.”

Tanpa terasa malam semakin larut. Pukul 23.00 Wib. Maka dengan cepat Badu menulis, “Sudah malam, besok masih kerja di kantor. Sudah dulu ya …, bay …, bay…” Dengan cepat pula, Zaid mengetik. Tapi kebetulan internet di laptopnya mendadak loyo: mendadak lama mengirim pesan. Padahal isi pesannya mengatakan:

“Jadi, bagaimana dengan kabar cita-citamu?”
 
Desember 2012

Belum ada Komentar untuk "Cita-cita: Filosof"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel