Yang Mencari Sesuatu Di Dalam Dirinya

Aku mengeluh, mencurah, lewat kata-kata buat bola mataku.

Hal itu terjadi karena keraguanku memaparkan seluruh isi hatiku, seluruh diriku, yang tidak pasti. Aku katakan: ketidak pastian adalah bahwa diriku masih mencari sesuatu yang tersimpan di dalam diriku. Entah mengapa! Ya! Entah mengapa aku begitu ceria saat melalui tahap ini: mencari sesuatu yang tersimpan dalam diriku.

Apakah orang-orang juga seperti itu? Pikirku, iya.

Tapi saat aku bertanya kepada tetanggaku, kepada teman-temanku, aku selalu tidak puas dengan jawaban mereka, malah kadang aku dihardik seperti ini:

“Kenapa kamu mencari seperti itu? Tidak ada gunanya. Dasar! Tidak tahu diri.”

Aku jawab, “Benar. Aku tidak tahu diri. Maka ceritakanlah bagaimana kamu tahu diri.”

“Tutup saja mulutmu. Lihatlah dirimu! Persis orang bodoh. Tidak terpelajar. Bertanya! Yang telah jelas jawabannya apa. Berkacalah.”

Aku menjawab, di potong kibasan jarinya, “Alah, tidak rasional banget. Fokus saja kuliah. Kamu tahu sendiri nantinya.”

Aku mengerti bahwa kelak aku bakal memahami diriku yang sebenarnya. Tapi, yang terparah adalah kenapa aku dibaluti untuk memahami diriku dengan cepat. Ya! Pemahaman-diri.

Aku telah berjuang, membuangnya dalam kosa-kata pemikiranku. Tidak bisa. Aku telah berjuang, meyakini, saat aku berhadapan dengan cermin besar, dan kataku, ‘Inilah aku, ya beginilah aku, sudahlah jangan tanya lagi, oh diriku. Yakinlah bahwa aku adalah memang begini adanya.’

Selang beberapa saat kemudian, pertanyaan itu mencuat lagi. Aku tanyakan kepada orang-orang yang lebih tua dariku. Bertanya kepada guru-guruku. Selalu saja, jawabannya tidak pas. Selalu saja jawabannya tidak menyegel pemikiranku. Selalu saja, pemikiran itu datang menghampiriku secara tiba-tiba dari kecil kemudian menjadi besar. Pertumbuhannya setiap detik semakin cepat, semakin membuas, semakin samar.

Aku duga karena pembacaanku mulai tambah. Aku mulai rajin membaca karena hal sederhana, yang rumus masalahnya: apa sebenarnya yang saya cari!

“Bahkan kamu tidak tahu apa yang kamu cari, bagaimana aku mengerti?” kata salah seorang lelaki agak tua, pakdeku, Pak Aris, yang hari-harinya mengajar di sekolah menengah atas, pelajaran Geografi. “Tapi,” tambahnya, “Sebenarnya kamu tahu apa yang kamu cari kan?”

Aku menjawab, “Ya! Saya tahu. Saya mencari jiwaku. Saya mencari: sebenarnya bagaimana diriku.”

Ia memegang dagunya, lalu mengelus-elus janggutnya. “Kenapa harus kau cari jiwamu itu? Dan menurutmu, sebenarnya jiwa apa yang kau maksud?”

Aku menjawab, “Jiwa itu adalah sesuatu yang berusaha menggerakkan diriku, untuk diriku, untuk semangatnya diriku, yang itu aku menyukainya. Menjalani hidup dengan tenang dan santai. Tidak ambisi, tidak juga berkoar, tidak bertanya, tapi melaksanakan. Tidak pesimis tapi optimis. Tidak mengeluh tapi menjalankan. Tapi rupanya, pada akhirnya, saat saya meneliti, saya buka-buku tentang pencarian jati-diri, aku dapatkan kesimpulan seperti ini:

Proses pencarian adalah keniscayaan bagi manusia yang ingin memanusiakan kemanusiaan. Menurutmu bagaimana, Pakde?”

Jawabnya, “Aku pikir kamu sudah cukup mengerti. Kata-katamu telah tersirat bahwa kamu orang yang berpengalaman dengan kedirian. Telah kau dapati kebijaksaan menyikapi hidup. Kalimatmu telah mengindikasikan bahwa kamu memahami. Aku malah heran, alasan apa engkau berpikir seperti itu?”

Aku menjawab, “Alasan!” Aku mengerutkan dahi sejak. Lalu mengingat ulang apa yang barusan Pakde gelontarkan: alasan apa aku berpikir seperti itu. “Banyak orang yang memandangku kaya, padahal itu milik orang tua. Banyak orang menilaiku tenang, padahal jiwaku sangat gemuruh. Banyak orang menilaiku bijak, padahal penuh ragu dan berdesak tanya dalam diriku.”

Tanpa ada keraguan, Pakde berkata, mantep dan jelas, “Sudahkah kamu benar-benar memahami apa yang kau katakan?”

Aku terdiam. Aku yakin Pakde mau membagikannya untukku. Menambahkan rangkaian kalimat, walau sebenarnya aku sangat ingin mengatakan, aku agak paham. Yups! Agak paham.

Tambah Pakde, “Bahwa apa yang dianggap orang kepada dirimu, adalah sudat pandang mereka, sekedar bentuk lahiriah. Mereka tidak benar-benar memahami yang sesungguhnya. Mereka tidak perduli kaya dari mana, intinya kaya. Tidak memahami tenang dan gemuruh selanjutnya, tapi suduut pandang mereka adalah tentang realitasnya, kenyataan yang sesungguhnya, dinilai dari gerak-gerik tubuh dan gelontaran kata-katamu.

Kamu juga terlalu perduli dengan orang lain, tapi kurang perduli dengan dirimu. Saat kamu pahami, bahwa dirimu adalah kecil, sangat kecil, lalu pertanyaan dasar muncul kembali: apa yang sebenarnya aku cari? Padahal dalam sejarah waktumu, kau mengerti, tapi bagiku tidak papa, kelak kamu juga akan memahami,” katanya. Kemudian Pakde menyodorkan wajahnya, dekat dengan wajahku. “Apakah kamu belum puas dengan apa yang aku katakan?”

Aku mengangguk pelan. Mengangguk setuju, dan gembira tentang hal itu. Lalu Pakde meneruskan, “Kalau kamu masih penasaran, dan tidak kamu sudahi, sesuatu yang membelenggu akal dan hatimu. Kalau tidak, konsekuensinya, kamu akan lebih-dalam tenggelam dalam dunia ide dirimu, padahal kenyataan bukan sekedar itu. Kenyataan adalah semburan sosial terhadap lingkungannya, lalu membentuklah karakter kemanusiaan. Kenyataan adalah dimana orang-orang menjalani kehidupan yang terjadi, entah itu revolusi industri, atau sekedar meramaikan teknologi terkini. Orang hebat mungkin mengatakan, ini zamannya hipperrealitas, zamannya teknologi; kalau tidak mengikuti, maka terlambat. Kalau menghindar, kelak bakal didatangi revolusi industri itu. Terakhir, kalau kamu tidak puas dengan apa yang terjadi, sekali lagi, kamu bakal digulung-gulung oleh rimba-pemikiran.”

Aku menambahi, “Itu telah terjadi Pakde. Tapi ada batu ganjalan besar dalam diriku,” kataku, “Ternyata setelah saya telusuri, melalui buku demi buku, aku dapati kepayahan yang dahsyat. Aku melihat bahwa semuanya adalah biasa: baik-baik saja, tak ada yang salah. Kalaulah rusak, ada ahlinya masing-masing. Ada pembagiannya masing-masing. Sementara aku... aku,.. aku adalah pengarang puisi untuk diriku. Menulis catatan harian yang itu khusus untukku. Sampai-sampai aku laksana tidak bisa apa-apa kecuali curhat tentang diriku.”

“Apakah kamu menulis cerita lalu dikirimkan ke koran atau majalah atau situs-situs yang menyediakan?”

“Aku menulis, tapi belum ada yang masuk nominasi. Tidak terbit. Karena mungkin kurang nyastra, atau idenya kurang segar. Mungkin tema yang aku tawarkan tidak jelas dan buruk. Mungkin aku menulis karena menulis kenanganku. Sekedar hari-harianku. Lama-lama, akhirnya, aku mengakui tulisanku tidak buruk, kalau untuk diriku, tapi buruk saat membandingkan dengan cerita-cerita yang aku baca.

Terlebih lagi, seperti mengerem mendadak, aku tidak tergairahkan untuk membaca, menekuni detik demi detik untuk mengamati. Membaca. Aku kesal kepada diriku. Sayangnya aku senantiasa diingatkan, oleh diriku: perjalanan waktumu sudah seperti itu, apa yang penting disesalkan, tataplah gemilang masa depan, incarlah. Incarlah. Dan ternyata, Pakde, saya selalu gagal mengincar apa yang saya tetapkan, tidak ada pendirian yang matang. Ya! Pendirian itulah masalahnya Pakde,” kataku, pakde tertawa. Ekspresi wajahnya aneh. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam dirinya.

“Kamu sudah tahu masalahnya, kan?”

Aku mengangguk.

“Aku sudah memberi jawaban kan?”

Aku mengangguk.

“Intinya, jalanilah hidupmu. Ya. Jalani saja. Kalau lelah istirahat. Kalau masih terbit juga pertanyaanmu: jawablah. Kalau tenggelam, hidupkan lampu. Begitu ya...”

Aku tersenyum, dan akhirnya mentok juga pada ending yang tidak ada jalan solusi konkrit, atas masalahku, atas munculnya: apa yang sebenarnya aku cari atau hal apa yang menjadikanku bersemangat meraih, dan benar-benar ingin meraih. Tanpa diduga handphoneku berdering.

“Bagaimana kalau bulan depan kita muncak?”

“Oke! Lama aku tidak muncak.”

Aku tertawa. Lega. Terngiang jelas, saat mendaki: setelah sampai puncak, kita harus kembali, bersama dengan perasaan yang berbeda menapaki jalan yang sama. Lalu aku melihat adikku berjalan mondar-mandir di sekitarku. Aku berkata, “Ada apa Dik?”

“Aku mencari koin bergambar Garuda‘kan?”

“Koin!”

“Iya. Sejak semalam aku mencari tidak ketemu-ketemu.”

“Ini,” kataku sambil memberikannya.

“Terima kasih, kak. Terima kasih,” jawabnya, girang. Bahagia. Senang. Dan bergumam sambil memegangnya erat-erat, “Perjalanan baru siap dimulai, Koin.”

Aku terperanjat. Aku tersenyum, sekali lagi, lebih tenang, santai. Menikmati sesuatu yang ada di dalam diriku.

Belum ada Komentar untuk "Yang Mencari Sesuatu Di Dalam Dirinya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel