Abu Nurikhasf dan Kepemimpinannya
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Dalam suatu ketika, Abu Nurikhasf berkata kepada Rakyatnya, “Sesungguhnya menjadi pemimpin berat. Maka, ringankanlah diriku memimpin wahai rakyatku, wahai tuan-tuanku. Ketahuilah wahai rakyatku, sesungguhnya tatkala aku menjadi pemimpin, sebenarnya kalian adalah tuan-tuanku. Aku adalah pelayanmu. Memang, secara kasat mata aku adalah tuanmu. Sesungguhnya kamu adalah tuanku. Tanpamu, apalah aku. Dan ingatlah, pemimpin diantara kita sesungguhnya adalah Allah. Dialah yang mengenggam jiwa kita. Yang menyediakan mati untuk kita. Jadi, taatilah aku, mudah-mudahan Allah menujukan jalan yang terbaik untuk kita semua.”
Begitulah isi pidato Abu Nurikhasf dalam Masjid. Dalam khutbah jumatnya. Khutbah yang minim kata-kata. Setidaknya, dia telah menyebutkan ayat Quran. Hadist. Dan dilaksanakan dua kali. Maka, telah sah syarat khutbah. Terlebih lagi, Abu Nurikhasf telah mengumpulkan Para Khotib, cara-cara menyampaikan isi khutbah. Katanya, “Tidaklah perlu panjang-panjang berkhutbah, tapi kenalilah lingkungan, bacalah lingkungan. Sehingga, isi itu berkaitan dengan lingkungan. Ajaklah mereka selalu ingat akan anugerah ilahi. Tidak harus muluk-muluk dalam berkhutbah. Tidak harus menjelaskan bagai orang-orang kuliah, yang sibuk akan teori. Anggaplah, teori telah usai. Sekarang, kita praktek terhadap teori-teori tersebut. Ingat, islam telah ada sejak ribuan tahun yang lalu.”
Abu Nurikhasf, ketika berbicara sudah tidak ada yang menentangnya. Sebabnya, dia adalah Doktor Filsafat. Terlebih lagi, karakternya memang layak dicontoh. Para petinggi agama telah mengetahui backgrone-nya, telah jelas melihat bagaimana Abu Nurikhasf. Dia berjalan adalah selalu perhatian terhadap apa-apa. Menyapa siapa saja. Katanya, “Mudah-mudahan, beginilah islam yang sebenarnya. Jadi, tidak harus uprek terhadap agama. Dan agama adalah untuk siapa saja. Agama adalah berjalan seperti apa adanya. Tepatnya, kalau kita mencintai Allah, berarti kita mencintai seluruh apa yang ada. Sekali pun, menentang cara pikir kita. Sesungguhnya, dengan keberadaan cara pikir kita, itulah yang kurang benar, karena kita percaya semua adalah takdir-Nya. Semua adalah ketentuannya.”
Dilain kesempatan. Dia mengumpulkan, Bayan, penguasa pada tiap-tiap rukun tetangga (RT) atau rukun keluarga (RK) dan dengan rela berkata, “Aku adalah manusia, yang membutuhkan dukungan dari kalian semua. Aku mempercayakan kalian sebagai Bayan, jadi aku berharap kalian bisa dipercaya oleh rakyat-rakyatmu. Jadi, dengan mudah aku perlu mendengar keluhanmu. Maksudnya, kalau kamu mengeluh, itulah keluhan rakyat. Maksudnya, ketika aku mendatangimu, maka aku mendatangi seluruh rakyat yang itu ada pada kekuasaanmu. Sungguh, Allah maha tahu.”
Dia, Abu Nurikhaf, sering mengumpulkan para bayannya, tidak perpatok pada rumah kepemerintahan, tidak sering berkumpul di situ. Abu Nurikhasf, berkumpul berputar di rumah bayan-bayannya. Dikatakannya, “Ingatlah, kita adalah budak buat rakyat-rakyat kita, jadi jangan jadikan kumpulan ini bermegah-megahan dengan makanan, dan keberlimpahan harta. Setidaknya, kita perlu mencontohkan kepada rakyat dengan harta kita. Kita telah mengetahui, harta, tahta, adalah godaan dunia. Aku harap kita senantiasa dengan, ‘Kalau rakyat kita kelaparan, maka kita lebih lapar.’ Oleh karenanya, kita perlukan infak berjalan. dengan perpatok, tidak melulu terhadap dunia. Sungguh, dunia itu sebentar. Kalau orang masih ngeyel terhadap isitilah ‘dunia itu sebentar.’ Tanyakan kepda orang-orang tua, benarkah dunia adalah sementara saja?”
Orang-orang memang mengagumi gaya pemimpinan Abu Nurikhasf. Terlebih lagi, dengan Abu Nurikhasf. Dia dihormati secara dhohir maupun batin. Dihormati secara pemerintahan, juga agama. Maklum, dia Doktor ditambah lagi Hafal Quran. Ketika orang-orang yang mengaku beriman, terlebih lagi yang mengaku, Kiai. Maka, betapa sangat menghormati Abu Nurikhasf. Dia khawatir ketika melihat matanya. Khawatir dijedak tentang agamanya. Pernah ada salah seorang mendekati Abu Nurikhasf, dia menaruh sorban di pundaknya, menggenakan sarung serta peci.
“Sudahkah layak kamu menyandang itu semua, Pak?” kata Abu Nurikhasf teguh. Intonasinya standar, tapi sangat menusuk dalam dada. Sangat menusuk dalam hati. Mengubah cara pandangnya. Sang Kiai hanya terkejut bukan main. Memang secara dhohir Sang Kiai biasa saja. Tapi secara batin, Sang Kiai bagai disambar petir. Dia berkata, “Sebenarnya belum layak,” jawabnya terbata-bata.
Abu Nurikhasf diam menundukukan kepala. “Mengapa kamu mengunakan itu? Berikan alasan mengapa kamu menyandang itu?”
Dia kikuk bukan main. Menelan lidah dengan susah. Mengambil air minum seketika. Matanya berusaha diteguh-teguhkan. Kemudian, Abu Nurikhasf berkata, “Terkadang kita memang sering tertipu oleh mata-mata yang mengintai kita. Seakan-akan kita benar-benar beriman kepada Allah. Faktanya, kita masih belajar beriman. Kalau aku bertanya, ‘Apakah kamu beriman kepada Allah dan hari akhir,’ bukannya kamu lebih memilih diam, wahai saudaraku?”
Dia mengangguk dengan sungguh.
“Oleh karenanya, ajarilah tentang bagaimana menerima dengan sungguh takdir-Nya, orang-orang yang berada disekitarmu. Berusaha menerima takdir-Nya dengan sungguh. Jika kamu merasa berat menyampaikan lewat mulutmu. Maka, sampaikanlah lewat gerak-gerikmu. Tapi tetaplah kamu sampaikan tentang apa yang semestinya kamu sampaikan. Bukankah kamu mengetahui makna, ‘Ati’ullah wa ati’urrasul?’ Atau kamu berusaha menyimpan tentang hal itu.”
Dari kejadian itu. Jarang orang yang datang dengan terang-terangan kepada Abu Nurikhasf, kecuali orang-orang yang benar-benar bermental Zuhud. Ada yang berkata, “Kalau orang itu tidak bermental Zuhud, maka adalah suatu kemungkinan keluar dengan perasaan seperti mengabaikan tentang dunia. Seakan-akan dunia itu untuk apa. Apabila orang itu bermental Zuhud, maka mereka keluar dengan segera. Karena aku pernah dikatakan oleh Abu Nurikhasf, “Apabila orang yang beremental zuhud dan mereka datang sekedar menyambangi, malah bahkan menasihati. Isinya, mengajari tentang bagaimana belajar sabar menghadapi kehidupan. Kemudian, merangkul, juga menciumku.” Sayangnya, orang yang bermental Zuhud, adalah jarang mendatangi rumahnya. Sebabnya, tubuh Abu Nurikhasf adalah yang mendatangi mereka. Mengunjungi rakyatnya. Huff... membicarakan Abu Nurikhasf adalah membicarakan yang banyak untuk dijadikan cerita. Dia memang serat untuk diceritakan. Bahkan kelalaianya adalah patut diceritakan, maksudnya, kalau dia lalai maka akan dengan senang menerima teguran orang-orang. Apalagi dengan nadanya, yang luluh, seakan-akan malah bahagia bila ditegur, atau dinasihati. Inilah keunikan beliau. Tatkala beliau ditegur, dengan gembira, mereka berusaha menambahkan sang penegur untuk menegur. Sejauh ini, aku belum pernah melihat ada orang seperti dia—seorang pemimpin yang akrab dengan rakyatnya, walau kurasa ilmunya adalah tinggi. Juga tentang ilmu agamanya yang tinggi. Bayangkan, dia adalah Doktor Filsafat. Dia adalah Hafal Quran. Bisakah dibayangkan ilmu keduanya?”
Pencarian ilmu yang ambigu, antara dunia dan akhirat adalah memberikan gambaran karakter beliau yang sepadan diantaranya. Dikatakan, dia kedunian sangat. Maka banyak yang mengatakan iya. Dan kalau dikatakan tentang keakhiratan sangat, maka banyak juga yang mengatakan iya. Tapi, pada akhirnya adalah condong ke akhiratan. Sebab, tendesi utama, yang sering dia gemborkan adalah, “Dunia adalah alat. Kalau alat, maka berlakukanlah seperti alat.” Menandakan bahwa dunia adalah hal biasa. Tidak penting diunggulkan. Tapi dia adalah pemimpin. Tujuan pemimpin adalah mensejahterkan rakyatnya. Bila dikatakan, untuk apa kuliah? Maka jawabnya, untuk diriku sendiri. Ketika dikatakan, untuk apa mengaji? Maka jawabnya adalah untukku sendiri. Sebab, pada dasarnya, apa-apa yang dilakukan kita adalah untuk kita sendiri. Tidak lebih.
Sangkingnya berpengahuan luas dan demi mensejahterkan rakyat. Dia kumpulkan seluruh elemen rakyat. Sembari mengatakan, “Aku tidak mampu melakukan ini sendirian, masih tidak mampu melakukan ini dengan jajaranku, aku membutuhkan bantuan kalian.”
Bukannya betapa menarik menguraikan tentang Abu Nurikhasf?
Belum lagi tentang keahlian pada rakyatnya. Tidak hanya sekedar agama yang kuat. Tapi juga tentang kesenian kampung Abu Nurikhasf yang begitu memukau. Wajar kalau kampung Abu Nurikhasf kerap menjadi bahan perbincangan.
Belum ada Komentar untuk "Abu Nurikhasf dan Kepemimpinannya"
Posting Komentar