Musim Panas
Selasa, 24 Januari 2017
Tambah Komentar
“Kita mesti ingat nikmat Allah yang telah menghidupkan kita. Dan kita
mesti dua kali lipat untuk tetap sabar. Sungguh, orang-orang terdahulu
adalah selalu di uji dan itu untuk sabar. Namun, tetaplah kita harus
bersyukur kepada Allah karena masih menghidupkan kita—masih mengadakan
otak kita, sungguh kita adalah mahluk yang sempurna dibandingkan
mahluk-mahluk lain ciptaan Allah. Maka bersyukurlah. Ya, tetaplah
bersyukur kepada Allah. Sungguh kehidupan dunia penting di nikmati dan
disyukuri. maka dari itu, mari usahakan kita supaya tidak terperanjat
dari gebyarnya dunia. Sungguh Allah tidak akan membiarkan mahluknya. Dia
maha pengasang, dan pemegeng jiwa kita: maka, mari lebih dekatkan diri
kepada Allah,” katamu dalam khotbah, yang tetap sesekali menatap para
jamaah, yang sesekali kau dapati tatapan menuju cakwarala, terlihat
bahwa di luar sana—suasananya gelap gulita, dalam hati kau pun berkata,
“Ya allah ampunilah hamba-hambamu,”
“Ya allah ampunilah hamba-hambamu,”
**
Di musim panas yang nyengat, kering dan berdebu serta sumur-sumur mulai mengering, orang-orang berdoa dengan sangat meminta hujan diturunkan—segera diturunkan, walau kenyataannya sebagian dari mereka adalah seorang pembeli air—ya, apabila air telah membeli, kataku, “Sampai kapan mereka mampu membeli air?”
“Aku tidak tahu, yang pasti kebiasaan kita adalah membeli air?” jawabmu seketika.
“Kami,” imbuhmu kemudian, “Telah terbiasa membeli air, namun itu adalah air minum,”
“Memangnya,” aku berusaha mengejar, “Sumur kalian tidak layak untuk diminum?”
“Sebenarnya layak, tapi, kalau meminum ndadak memasak dulu: tentu, itu memboroskan kami. Apalagi sekarang jarang mempunyai kayu,” jawabmu menerangkan sambil mengatakan bahwa pohon-pohon kini telah diganti, rumah, tokoh, gedung dan gudang. Apalagi rumahnya kian hari kian merapat.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan tersebut, sambil membatin, “Air saja sudah membeli, padahal masih dilimpahkan air,”
Tapi sekarang, keadaan telah berubah drastis sebab tidak adanya turun hujan, yang semestinya adalah turun hujan, katamu, “Sudah semestinya bulan-bulan ini adalah musim hujan: tapi mengapa tidak turun hujan juga?”
Wal-hasil tanah-tanah kian gersang, jalan-jalan berdebu, dan tentu genting-geting rumah bagai ditaburi debu, yang kini menjadi warna kecoklatan. Katamu, “Tempat kita bagai daerah Timur Tengah, gersang yang sangat, tumbuhan kian hambis dan tidak ada tanaman yang menghijaukan tanaman—ini persis seperti di mekah,” katamu.
“Tapi ,” balas yang lain, dan mengatakan, “Kita bisa membeli air untuk keperluan sehari-hari ‘kan?”
“Memang benar, tapi…”
“Tapi apalagi,”
“Kita kekeringan,”
“Allah sedang menguji kita. Buktinya, simaklah pembicaraan orang-orang ketika berkumpul, ada yang menghardik panas ini ada pula yang merintih selalu berdoa kepada-Nya, seakan-akan kita didekatkan dengan-Nya: bukannya begitu?”
“Betul! Allah memang dekat dengan kita.”
“Kalau Allah telah murka, siapa yang bisa menentangnya? Tidak ada yang bisa ‘kan?” Kau seakan-akan hendak menyampaikan sesuatu, namun kau menjawab dengan mengaguk-agukan kepalanya.
Kau pun menambahi, “Sekali pun seluruh manusia di sini menggunakan AC, mereka bakal tetap tidak nyaman dengan keadaan panas begini. Sekali pun mereka mempunyai uang untuk membeli air, mereka bakal tidak nyaman. Bisa-bisa,” katanya sambil menyondongkan kepalanya. “Desa kita akan mati,” imbuhnya dengan nada serius.
“Mati!”
“Iya,”
“Bagiku, mati adalah biasa: aku telah melihat hamparan luas dan itu adalah tanah yang mati. Sewaktu musim haji buktiku. Di gunung Nur, itu panasnya bukan main. Seakan tenggorokan kering sekali. Kering sekali: ketika gerimis tiba disana: seakan-akan orang-orang adalah menyungkur karena bersyukur karena Allah telah menurunkan hujan—bukannya isyarat rezeki dalam Quran adalah Allah menurunkan hujan?”
Kau terdiam seraya memikirkan kata-kataku, “Isyarat rezeki dalam quran adalah Allah menurunkan hujan,” dan kemudian menjawab, “Benar sekali!”
“Tapi entah yang terjadi di sini. Bila mendadak ada hujan datang—merekakah hendak menyukurkan diri kepada Allah atau tidak, aku tidak tahu.”
“Mudah-mudahan disini bisa,” jawabmu lirih dan mengimbuhi, “Namun, melihat kelakuan orang-orang disekeliling kita,” suaramu kian melemah, “Agaknya berat kalau mereka sujud syukur!”
Itulah percakapan malam hari, yang sekarang mendadak jam 11 siang, langit digelapi oleh awan hitam dan mentari tetap mencorong dengan cerahnya. Hingga tidak lama kemudian, terbalutlah seluruh langit menjadi abu-abu dan turunlah satu persatu rinai ke bumi. Mereka bersorak-gembira hingga keluar dari rumahnya sembari berkata, “Alhamdulilah doaku terkabulkan.”
Ada pula yang berkata, “Alhamdulilah hujan juga,” sebab mendung, maka mati lampu, maka tidak ada isyarat mengaji dari masjid—padahal ini hari jumat. Sehingga orang-orang berangkat jumatan menggunakan payung, tapi malah sebagian mereka asik dengan kegembiraannya, lupa bahwa ini adalah hari jumat. Bahkan, pada ibu-ibu pun lupa bahwa ini adalah hari jumat. Mereka terlalu gembira dengan turunnya hujan. Mereka sibuk dengan keberadaan hujan yang terus menerus.
Tatkala jam menunjukan jam 12, Masjid telah ramai penghuninya. Tatkala kau berdiri khotbah, tidak lama kemudian, kau tersadar, bahwa semua orang yang dipandangnya adalah wajah-wajah asing yang baru dijumpai, kecuali sebagian saja. Oleh sebab itu, mendadak ceramahmu aneh, dan berkata, “Bisa jadi malaikatlah yang menemani kita tapi kita tidak memahami sebelumnya bahwa ia adalah malaikat,” sementara ketika matanya menatap langit luar sana, terlihatlah rinai yang mengagumkan, yakni, panah-panah bening, runcing menujah bumi.
Sementara halaman Masjid menjadi galian-galian dari panah tersebut. Sungguh mengeherankan bagi matamu yang menimbulkan gemetar di kaki, tapi kau berusaha menghiraukan tatapan matamu. Berusaha untuk fokus membacakan naskah yang telah kau siapkan,
“Kita mesti ingat nikmat Allah yang telah menghidupkan kita. Dan kita mesti dua kali lipat untuk tetap sabar. Sungguh, orang-orang terdahulu adalah selalu di uji dan itu untuk sabar. Namun, tetaplah kita harus bersyukur kepada Allah karena masih menghidupkan kita—masih mengadakan otak kita, sungguh kita adalah mahluk yang sempurna dibandingkan mahluk-mahluk lain ciptaan Allah. Maka bersyukurlah. Ya, tetaplah bersyukur kepada Allah. Sungguh kehidupan dunia penting di nikmati dan disyukuri. maka dari itu, mari usahakan kita supaya tidak terperanjat dari gebyarnya dunia. Sungguh Allah tidak akan membiarkan mahluknya. Dia maha pengasang, dan pemegeng jiwa kita: maka, mari lebih dekatkan diri kepada Allah,” katamu dalam khotbah, yang tetap sesekali menatap para jamaah, yang sesekali kau dapati tatapan menuju cakwarala, terlihat bahwa di luar sana—suasananya gelap gulita, dalam hati kau pun berkata,
“Ya allah ampunilah hamba-hambamu,”
Dan ketika kau menyelesaikan khotbah. Turun dari mimbarmu. Ambruklah tubuhmu. Didekaplah kepada yang lain, yang berada di shaf pertama. Mereka gusar, seketika berucap, “Apa yang kamu lihat?” katanya sembari mengucurkan air mata.
Ya, bukan hanya kau yang lemah, namun yang lain juga demikian—seakan-akan tidak berdaya, ketika diturunkan hujan, beginilah kejadiannya.
Maret 2013- direvisi 2-17
Belum ada Komentar untuk "Musim Panas"
Posting Komentar