Apakah ‘Santri’ Penting Merayakan Internet; Dengan cara Mencari Uang Dengan Menulis Blog?
Kamis, 26 Januari 2017
Tambah Komentar
Saya (santri) bakal ketinggalan kalau sekedar hafalan tanpa ada upaya mengikat hafalan, yakni dengan menulis—selintas saya teringat bahwa untuk mengikat hafalan dengan cara menulis—hafalan saya tidak karu-karuan, karena saya tidak ‘benar’ memahami apa yang saya hafalkan.
Pengetahuan hafalan saya perlahan-lahan, pudar, hilang, karena tidak adanya jalinan sesuatu yang benar-benar ‘mengikat’ saya, karena saya hafalan sekedar hafalan—mungkin ini memang saya tidak bersungguh-sungguh menelateni hafalan saya dengan cara bertangga-tangga keilmuan, tidak mempeng terhadap hafalan saya, tidak benar-benar mendetailkan hafalan saya. Pendek kata, saya santri mbeler. Hafalan sekedar hafalan saja. Hafalan sekedar tuntutan untuk hafalan. Akhirnya, ya hapal— selanjutnya, hafalan itu, kabur.
Cara untuk mengikat itu adalah dengan menulis.
Bagaimana kalau menulis itu dicurahkan dalam media blog? Sekali pun saya belum ngeblog lama, namun saya sering mendengar dan membaca informasi blog mampu mendapatkan uang. mempu menghasilkan uang: pikiran saya, apakah saya salah jika turut meramaikan tentang dunia-blog? Toh faktanya saya internetan, faktanya saya facebookan, dan twitteran—sekali pun di sini saya tidak aktif: namun saya berpikir bahwa kalangan santri juga menggunakan itu—bagaimana kalau ini diisukan secara menyeluruh, bahwa setiap santri harus mempunyai blog? Tujuannya supaya mendapatkan uang:
Tujuannya lagi, supaya hidupnya tercukupi. Tujuannya lagi, supaya ilmu islam menjadi penyeimbang bagi kalangan yang non-keislaman. Tujuannya lagi, supaya kaum muslim tidak kere.
Saya amati, bahwa saya adalah santri desa, berpemikiran desa, telat dengan dunia-blog, tapi tidak telat—walau agak telat—dengan dunia internetan: yang tidak mengetahui informasi blog, yang tidak mengetahui bahwa dengan menulis mampu menghasilkan uang. menulis apa? Banyak!
Bisa curhatan.
Keseharian.
Tentang ilmu.
Tentang-tentang yang lainnya.
Apakah ini membuat pola-pikir santri sarat dengan nilai-nilai keuangan? Saya berpikir, bahwa kita pada dasarnya membutuhkan uang. Membutuhkan sesuatu atas nama uang.
Saya mengamati bahwa kaum pelajar muslim, seringkali terpinggirkan, pondok-pesantren perlahan-lahan menurun, alasan utamanya: karena kalah dengan keformalan. Sekolah formal. Menang ijazah. Memang status. Sehingga orang-orang muslim, atau santri-santri, atau calon-calon santri, lebih memilih sekolah formal dibanding sekolah pondok pesantren. Berangkat dari itu, dan pengalaman santri, ternyata, karena saya kurang melek-terhadap zamannya. Makanya saya ketinggalan.
Sementara itu, orang-orang di luar sana, orang-orang yang tidak sibuk dengan dunia kesantrian, banyak yang sibuk menulis-blog, dia telah mendapatkan uang dengan menulis-blog. Pikirku mengapa santri tidak, bukankah banyak hal yang penting dibagikan santri, terlebih lagi islam di Indonesia adalah islam ‘beralaskan’ tasawuf, artinya, di dasari dengan hal-hal tasawuf, yakni ‘berkaitan hati’, ‘perasaan’, dan ‘individual atau personal’. Bagaimana kalau dituliskan pengalaman-pengalaman ibadahnya, pastilah menjadi marak dunia kemusliman? Dan menjadi tema-tema yang banyak: dan apa yang dituliskan:
Tentang nahwu
Tentang shorof
Tentang kajian fikih
Tentang koreksi diri
Dan saya pribadi, sejauh ini, mungkin begitu: menulis blog untuk mendapatkan uang, walau pada niatan selanjutnya adalah lebih meningkatkan keilmuan saya, lebih meningkatkan ‘pengetahuan’ saya, dan lebih memfokuskan ‘internetan’ saya. Sebab dengan menulis saya dapatkan:
Pengetahuan saya bertambah, karena saya harus konsentrasi menulis.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya memahami apa yang saya tulis.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya mengetahui kekurangan saya.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya harus membaca banyak, sebab saya mengetahui titik lemah saya.
Saya berpikir bahwa santri telah merayakan internet, hanya saja tidak ‘fokus’ untuk menulis, mengikat pengetahuannya dengan cara menulis. Dan saya berpikir, bahwa di zaman abasiah, keilmuan islam melejit, karena ‘pengetahuan’ islam menyesuaikan zamannya.
Begitulah, Pak, apa yang saya pikirkan.
Pengetahuan hafalan saya perlahan-lahan, pudar, hilang, karena tidak adanya jalinan sesuatu yang benar-benar ‘mengikat’ saya, karena saya hafalan sekedar hafalan—mungkin ini memang saya tidak bersungguh-sungguh menelateni hafalan saya dengan cara bertangga-tangga keilmuan, tidak mempeng terhadap hafalan saya, tidak benar-benar mendetailkan hafalan saya. Pendek kata, saya santri mbeler. Hafalan sekedar hafalan saja. Hafalan sekedar tuntutan untuk hafalan. Akhirnya, ya hapal— selanjutnya, hafalan itu, kabur.
Cara untuk mengikat itu adalah dengan menulis.
Bagaimana kalau menulis itu dicurahkan dalam media blog? Sekali pun saya belum ngeblog lama, namun saya sering mendengar dan membaca informasi blog mampu mendapatkan uang. mempu menghasilkan uang: pikiran saya, apakah saya salah jika turut meramaikan tentang dunia-blog? Toh faktanya saya internetan, faktanya saya facebookan, dan twitteran—sekali pun di sini saya tidak aktif: namun saya berpikir bahwa kalangan santri juga menggunakan itu—bagaimana kalau ini diisukan secara menyeluruh, bahwa setiap santri harus mempunyai blog? Tujuannya supaya mendapatkan uang:
Tujuannya lagi, supaya hidupnya tercukupi. Tujuannya lagi, supaya ilmu islam menjadi penyeimbang bagi kalangan yang non-keislaman. Tujuannya lagi, supaya kaum muslim tidak kere.
Saya amati, bahwa saya adalah santri desa, berpemikiran desa, telat dengan dunia-blog, tapi tidak telat—walau agak telat—dengan dunia internetan: yang tidak mengetahui informasi blog, yang tidak mengetahui bahwa dengan menulis mampu menghasilkan uang. menulis apa? Banyak!
Bisa curhatan.
Keseharian.
Tentang ilmu.
Tentang-tentang yang lainnya.
Apakah ini membuat pola-pikir santri sarat dengan nilai-nilai keuangan? Saya berpikir, bahwa kita pada dasarnya membutuhkan uang. Membutuhkan sesuatu atas nama uang.
Saya mengamati bahwa kaum pelajar muslim, seringkali terpinggirkan, pondok-pesantren perlahan-lahan menurun, alasan utamanya: karena kalah dengan keformalan. Sekolah formal. Menang ijazah. Memang status. Sehingga orang-orang muslim, atau santri-santri, atau calon-calon santri, lebih memilih sekolah formal dibanding sekolah pondok pesantren. Berangkat dari itu, dan pengalaman santri, ternyata, karena saya kurang melek-terhadap zamannya. Makanya saya ketinggalan.
Sementara itu, orang-orang di luar sana, orang-orang yang tidak sibuk dengan dunia kesantrian, banyak yang sibuk menulis-blog, dia telah mendapatkan uang dengan menulis-blog. Pikirku mengapa santri tidak, bukankah banyak hal yang penting dibagikan santri, terlebih lagi islam di Indonesia adalah islam ‘beralaskan’ tasawuf, artinya, di dasari dengan hal-hal tasawuf, yakni ‘berkaitan hati’, ‘perasaan’, dan ‘individual atau personal’. Bagaimana kalau dituliskan pengalaman-pengalaman ibadahnya, pastilah menjadi marak dunia kemusliman? Dan menjadi tema-tema yang banyak: dan apa yang dituliskan:
Tentang nahwu
Tentang shorof
Tentang kajian fikih
Tentang koreksi diri
Dan saya pribadi, sejauh ini, mungkin begitu: menulis blog untuk mendapatkan uang, walau pada niatan selanjutnya adalah lebih meningkatkan keilmuan saya, lebih meningkatkan ‘pengetahuan’ saya, dan lebih memfokuskan ‘internetan’ saya. Sebab dengan menulis saya dapatkan:
Pengetahuan saya bertambah, karena saya harus konsentrasi menulis.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya memahami apa yang saya tulis.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya mengetahui kekurangan saya.
Pengetahuan saya bertambah, karena saya harus membaca banyak, sebab saya mengetahui titik lemah saya.
Saya berpikir bahwa santri telah merayakan internet, hanya saja tidak ‘fokus’ untuk menulis, mengikat pengetahuannya dengan cara menulis. Dan saya berpikir, bahwa di zaman abasiah, keilmuan islam melejit, karena ‘pengetahuan’ islam menyesuaikan zamannya.
Begitulah, Pak, apa yang saya pikirkan.
Belum ada Komentar untuk "Apakah ‘Santri’ Penting Merayakan Internet; Dengan cara Mencari Uang Dengan Menulis Blog?"
Posting Komentar