Sang Pemimpin




Dalam hati kau berkata, “Syukur alhamduliah semua berjalan sesuai rencana, Allah menghendaki segala sesuatu, dan semua adalah berkat Allah. Allah-lah yang menjadikan semuanya. Tanaman-tanaman di halaman rumah, siapa yang bisa menghidupkan selain-Nya: ya, bila Allah menghendaki, maka ludeslah seluruh tanaman di perumahan ini: semoga kami terlindung dari ketamakan, semoga kami terlindung dari kejahatan,”


“Semestinya setiap Lurah sepertimu,” katamu.

**

“Assalamualaikum,” Kataku, sambil mendekatimu.

“Waalakumsalam,” jawabmu,“Rupanya memang benar, memandangi di sekitar perumahan terasa sejuk dan bikin damai hati. Lebih-lebih kita bagai di tempat lain, kita seperti di hutan atau bahkan di taman-taman.”

“Benar sekali,” balasku singkat, yang kemudian merapatkan jariku, sembari membungkukkan kepala menyapa dia yang sedang menyirami tanamannya tepat di teras rumahnya, yang terlihat dari disini adalah kehijauan-hijauan, dan kemudian dia menaruhkan ceret dan bergegas mendatangi kami. Sambil berkata salam, dan bersalaman. Kau mengatakan, “Bagaimana kabarmu?”

“Alhamdulilah baik?”

“Syukurlah kalau begitu,”

“Ohya, maaf saya tidak bisa turut menemani kalian: belum selesai,” katanya.

“Oh silahkan,” Hingga tidak lama kemudian, aku pamit undur diri, kataku, “Saya juga belum menyelesaikan pekerjaan,”

Kau berjalanan menyusuri berbagai macam tanaman yang melimpah di halaman rumah setiap rakyatnya, serta sesekali kau menatap langit, melihat biru langit dan melihat tanaman yang jemejer di atap-atap.

Dalam hati kau berkata, “Syukur alhamduliah semua berjalan sesuai rencana, Allah menghendaki segala sesuatau, dan semua adalah berkat Allah. Allah-lah yang menjadikan semuanya. Tanaman-tanaman di halaman rumah, siapa yang bisa menghidupkan selain-Nya: ya, bila Allah menghendaki, maka ludeslah seluruh tanaman di perumahan ini: semoga kami terlindung dari ketamakan, semoga kami terlindung dari kejahatan,”


“Semestinya setiap Lurah sepertimu,” katamu.

Aku tersenyum.

“Yang sudi jalan kaki mengunjungi rumah-rumah warganya,” katamu, “Yang mengamati taman demi taman setiap halaman rumahnya, yang berpakaian sederhana: tidak mentereng, tidak islami, sederhana sekali.” pujianmu terus-terusan. Bekal dari pengamatanmu melihatku celingak-celinguk ke kanan ke kiri, menatapai jalan air, jalanan, serta memunguti daun yang jatuh dan sesekali mencium bunga yang berada di dekat jalan raya.

“Amin, mudah-mudahan kita terlindung dari petunjuk-Nya,”

“Amin..”

Hingga tidak lama kemudian yang lain datang, ikut serta berjalan santai dengan sang pemimpin mereka, sambil memberi salam kepada yang lainnya. Ya, kepada siapa yang berada di luar rumah, sembari mengamati tiap-tiap tanaman yang berada di halaman rumah. Ia berkata, “Sungguh pantaslah bila tempat kita mendapati penghargaan,”

“Semoga kita senantiasa kompak,”

“Benar,” sambut yang lain. “Agaknya, tempat kita bagai pasar tradisional.”

Bagai taman bunga,”

“Sejuk dan berasa aroma damai,”.

“Kudengar,” katamu, “Perumahan-perumahan mulai meniru kampung kita: mereka meniru untuk menanami sayur-mayur di halaman rumah dan menanam bunga-bunga di sekitar jalananan. Hampir persis seperti kita.”

“Syukurlah kalau begitu. Bukannya selama ini kita mengharapkan begitu?”

“Benar,” sambut yang lain, “Agaknya, tempat kita bagai cermin yang nyata,”

“Apakah penting untuk kita mempromosikan tempat kita?”

“Untuk apa?”

“Ya, supaya orang-orang bisa meniru kita,”

“Yang pasti kita senantiasa berpegang teguh dengan pendirian kita: bukannya begitu?”.

“Benar,” sambut yang lain, “Agaknya, penting untuk menguatkan kekuatan kita.”

Dan perjalanan mereka bagai angin yang menyirap setiap orang yang mendengar pembicaraannya. Kami bagaikan anak muda yang berjalan-jalan di senja hari, sekumpulan manusia yang ingin selalu mensyukuri kehidupan yang terjadi. karena, telah kita ketahui, datangnya sedih hati karena kita enggan untuk keluar mencari beberapa banyak yang patut untuk disyukuri—kata motivasi: keluarlah, jangan mendekam di dalam rumah, sebab diluar banyak hal yang membuatmu bahagia.

Kami berjalan menuju gang demi gang yang pada akhirnya mengarah ke masjid. ya, masjid adalah tujuan perjalanan kami. Menikmati senja, Kami menciumi bunga-bunga yang terhampar di tepi jalan. Kami pun berjalan menuju tempat yang satu, yakni masjid. Dan demi Tuhanku, kami langkahkan kaki bersama—menikmati keberadaan angin, aroma wangi dan saling sapa satu sama lain.

Kami berjalan, kami mendapatkan teman. Itulah yang terjadi. Sebab, semakin kami berjalan, mentari pun turun tenggelam, hingga terpandanglah langit dengan kuningnya—sephia cahaya hari.

Kami melangkah dengan pasti. Walau pasang surut ada yang kembali, menyiapkan kopyah atau peci, sarung atau berganti celana. Begitulah yang terjadi.

Dahulu kala, ada seorang Nasrani berada di sini. Karena ketegasan sang lurah, sang nasrani tersebut, khususnya suami, dimestikan mendatangi masjid—untuk turut berdiri.

Sang lurah mengatakan, “Bukannya engkau menghormati Tuhan yang Maha Pengasih, Tuhannya alam semesta? Maka ikutlah bersama kami berdiri, rukuk, dan sujud bersama. Harapanku, engkau menghormati tetangga-tetanggamu: bukannya engkau percaya bahwa hidup tidak bisa sendirian? Selalu membutuhkan pasangan. Maka hormatilah aku sebagai lurahmu: turutlah ke masjid. Sungguh, masjid adalah tempat ibadah: maka, sesudah engkau berdiri, rukuk dan sujud, maka ibadahlah menurut pengetahuanmu. Menurut agamamu.

Perhatikanlah di tempat-tempat lain, di perumahan lain, apakah mereka rukun seperti kita? Apakah mereka saling kenal dengan tetangganya? Apakah mereka mengenal ini-itu dengan tetangganya?

Lebih-lebih, Bukannya kita adalah umat-Nya, Tuhan seluruh alam semesta. Tuhan kita satu, maka janganlah kita perdebatkan agama kita, Terlebih lagi—gontok menggontok untuk saling merendahkan.

Karena mayoritas di tempat ini adalah muslim, maka alangkah baiknya kita mengikuti orang muslim, terlebih lagi aku menyuruhmu untuk mengauli mereka: ini supaya tidak ada perbedaan di antara kita?”

Begitulah sang lurah menjelaskan secara langsung kepada David, yang kini menjadi Daud. Katanya, “Sungguh, aku tidak dipaksa, aku melakukannya karena kurasakan kelezatan menjadi muslim, dan itu sulit untuk dikata-katakan. Bila ingin mengetahui ‘rasaku’, maka berkujunglah ke tempatku,” jelas Daud waktu di tanya seorang Nasrani.

ditulis Maret 2013 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Sang Pemimpin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel