Layaknya Jumat


Kampung Abu Nurikhasf telah terkenal dengan nuansa Islami. Setiap hari bagai hari jumat. Apabila ada musafir, maka hanya terharu tatkala berada di Kampung Abu Nurikhasf.

“Aku bertanya pada diri sendiri, apakah ini hari jumaat?” kata Musafir salat dhuhur di kampung Abu Nurikhasf.

Dia hanya terkagum. Hatinya berdesak-desak dengan apa yang terjadi.

“Semestinya setiap muslim, harus seperti ini! Semestinya,” tambahnya membatin.

Ketika jarum jam mulai berjalan menuju angka 12 belas. Maka rakyat Abu Nurikhasf, berbondong-bondong pergi ke masjid. Layaknya jumatan. Keberadaan para jamaah tidak mengacu pada azan.

Orang-orang telah datang sebelum muazin menyeru.

“Era modern telah memanjakan islam, lebih memenangkan tentang islam, sayangnya, sejauh dilihat: orang salat menunggu azan diserukan. Mereka tidak khawatir kalau azan belum diserukan disuruh mengazani.”

Tapi tidak di kampung Abu Nurikhasf. Sang Pemimpin, telah membagi-bagikan tugas kepada ketua Masjid.

“Tunjuklah yang menurutmu layak menjadi pengurusmu.”

Wal-hasil, peraturan Masjid sangat indah. Lantunan azan yang diserukan adalah indah. Maklum, dia yang terpilih menjadi muazin adalah orang yang berkarakter kuat mempunyai suara indah. Lebih ringkasnya, tatkala azan diserukan. Dengan cepat salat sunah lalu menunggu selesainya orang-orang salat, lalu iqomah.

Sang imam disiplin, makmum pun displin.

“Sebenarnya disini tidak bisa dikatakan disiplin.”

“Lho kok bisa,” balas Sam’un, sepupu dari kota seberang. “Aku melihat orang-orang disini sangat disiplin.”

“Itukan katamu. Kata kami, itulah kebiasaan kami.”

“Kebiasaan!”

“Iya.”

“Maksudnya?”

“Kalau orang terbiasa, maka menjalankannya dengan ringan.”

“Bisakah diterangkan lebih lanjut?”

“Begini,” kata Maful menggoyahkan tubuhnya. “Di tempat kami, pokoknya kebersamaan. Itulah acuan utama. Jamaah adalah kewajiban kami. Bukan, bukan kewajiban kami, tapi, kami sendiri yang berharap untuk jamaah.”

“Maksudnya?”

“Kami mengetahui fungsi jamaah adalah tentang kebaikan kami, tentang silaturahim, juga pembatas kegiatan kami,” terang Maful dengan gembira. Sam’un mendenganya pun dengan semangat dan gembira: berbunga hati, melihat islam-realitas di kampung ini.

Memang, kampung Abu Nurikhasf adalah kampung kontroversi, mulai dari agama, dan ragam kepemerintahannya. Tapi yang menjadi sorot adalah tetang agama. Seakan-akan agama di sini, adalah mudah. Mudah sekali. Seakan-akan mengabaikan tentang keduniaan sekali. Sekan-akan istilah neraka dan surga adalah angin lalu. Intinya, “Agama sebagai batas.” Itulah patokan utama disini.

Akan tetapi, apabila orang lebih jauh mengetahui kampung Abu Nurikhasf, maka mereka hanya terharu sendiri dengan bagaimana laju kampung ini. Intinya, disini adalah orang-orang sibuk. Dapat dikatakan, kampung yang senantiasa sibuk, dan menyempatkan waktu untuk ke Masjid.

Wal-hasil, ketika dhuhur tiba. Masjid penuh.

“Apakah kalau makmumnya banyak, Masjid kami terlihat jelek?” tanya Khobair kepada Sam’un.

“Tidak! Masjid ini terasa indah, karena makmumnya,” jawabnya yang masih terharu seusai salat dhuhur.

“Itulah tujuan kami. Kami memperindah masjid dengan tubuh kami. Jadi, tidak mementingkan bagaimana bangunan kami. Tepatnya, intinya isi bangunan tidak apek.”

“Tapi aku melihat, Masjid ini bersih ya...”

“Bagaimana tidak bersih, karena setiap hari dikunjungi. Adalah suatu tanda, Masjid yang ada sawangnya, adalah Masjid yang jarang dikunjungi,” balas Khobair sembari tertawa kecil, dalam hatinya, merantaikan istigfar karena menyindir Masjid yang lain. Tapi dengan cepat menambahi,

“Kalau Masjid sering dikunjungi oleh rakyat yang banyak. Akan terlihat bagaimana kekurangan Masjid tersebut. Karena setiap rakyat mempunyai mata untuk melihat. Tepatnya, mempunyai lidah untuk berbicara. Tapi, titik tekan kami adalah memperindah Masjid dengan keberadaan tubuh kami. Bukan sekedar memperindah Masjid dengan memperindah bangunan Masjid.”

“Jadi, kalau Masjid telah indah bangunannya dan sepi jamaah bagaimana?”

“Ya, tinggal di isi jamaahnya.”

“Tapi, rakyat sibuk dengan pekerjaannya.”

“Ah itu dugaanmu belaka, Un.”

“Maksudnya,”

“Bukannya kamu melihat di sini orang-orangnya super sibuk dengan aktifitasnya?”

Sam’un mengaggukan kepala.

“Mengapa di sini orang-orang ramai jamaah?”

“Aku tidak tahu.”

“Kamu itu manusia, Sam’un. Kamu pasti tahu alasannya.”

“Sungguh, aku tidak tahu alasannya. Maka beritahulah aku,” balas Sam’un benar-benar ingin mendengar penjelas Maful sepupunya tersebut.

“Sekarang, bagaimana tadi kamu ikut salat jamaah?”

“Kan tadi diajak,” balasnya ceria.

“Kenapa kamu mau?”

“Karena aku menghormatimu, toh aku juga kaum beragama.”

“Apakah kamu tidak males?”

“Tidak!”

“Nah, itulah persoalan utama, Un. Males adalah persoalan utama mengapa orang-orang tidak jamaah. Selain itu, ada yang mendorong untuk jamaah.”

“Mendorong untuk jamaah.”

“Iya.”

“Wah berat sekali.”

“Tidak harus diberat-beratkan. Diajak saja, hanya mengajak.”

“Tapi,”

“Itu juga persoalan lagi, Un. Terkadang orang berusaha untuk menjadi tuhan, yakni memaksa. Kamu tahu, agama itu tidak bisa dipaksakan kan? Itulah kendalanya, terkadang orang-orang berusaha memaksakan agama.”

“Jadi, harus bagaimana?”

“Ya, tidak gimana-gimana to: seperti hidup, jalani saja.”

“Maksudnya supaya rakyat mau untuk jamaah,”

“Agama jangan dibuat kaku. Agama itu untuk manusia. Jadi, jangan terlalu mengedepankan, tatkala orang melakukan ritus agama. Maka orang itu dapat pahala, jangan, bukannya pahala adalah terserah kepada-Nya?”

Agama memang kerap disalah artikan terhadap manusia. Terkadang sudut pandang penilaian adalah tentang pahala. Padahal, orang-orang pandai agama, telah mengetahui bahwa pahala adalah terserah kepada-Nya. Kadang kurang dimengerti, bahwa agama adalah teruntuk manusia. Yakni, membentuk moral tentang kemanusiaan. Ya, apabila orang-orang bersinggah di kampung Abu Nurikhasf, maka akan benar-benar mengerti tentang agama. Fungsi agama yang sebenarnya.

Intinya, hampir dipastikan setiap pengunjung berbunga hati berada di kampung Abu Nurikhasf. Bahkan, ada pula yang rela hati, tinggal di Pondok Zuhud. Pondok dekat Masjid, yang dibuat khusus buat orang-orang yang rajin ibadah. Yang hidupnya adalah senantiasa beribadah.

Mereka, penghuni Pondok Zuhud, adalah orang-orang yang kerap berdiri pada saf terdepan. Jadi, di sini, saf depan memang menjadi saf orang-orang alim. Tidak sekedar alim. Mereka juga ulama. Sehingga, Masjid selalu ramai. Sehingga di sini, seperti era nabi—sorban adalah biasa buat meraka. Pakaian mereka sedikit. Orang-orang menyebut yang bermacam-macam. Ada yang menyebut kami Islam-Modern. Ada juga yang menyebut Islam-Salafi. Tapi kami senang menyebut, menuju-islam, yakni, menuju-pasrah.

“Bukannya kamu senang, Un, kalau orang-orang rajin beribadah?”

“Ya, tentu.”

“Tapi di sini juga, orang-orang rajin bekerja.”

“Ya, aku melihat itu.”

“Kata pemimpin kami, “Agama sebagai batas kehidupan.””

“Nah itu dia, pemimpin, apa-apa itu tergantung pemimpinnya, Ul.”

“Ya, mungkin betapa beruntungnya kami, mempunyai pemimpin yang layak menjadi pemimpin.”

“Aku memang sudah menduga. Bahwa semua ini berkat pemimpinnya.”

“Hus... semua ini telah ditakdir Tuhan, Un. Ingat Dialah yang menentukan segalanya. Manusia sekedar menjalankan tugasnya,” balasnya ceria. Hatinya berkata, “Pemimpin kami memang orang yang layak memimpin. Karakternya karakter kuat sebagai pemimpin.”

Belum ada Komentar untuk "Layaknya Jumat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel