Nyamuk


Sekarang. Aku sangat merindukan tidur di lindungi kelambu. Dimana nyamuk tidak dibunuhi. Malam ini. Aku agak kejam dengan nyamuk. Sebenarnya tidak juga. Nyamuklah yang sedikit goblok. Mengapa ia tidak pergi dari diriku. Padahal mereka telah menyedot darahku. Padahal mereka telah kenyang. Masih juga berkeliaran di kamarku. Mungkin karean ventilasi jendela terbuka. Sehingga mereka mengundang teman yang lainnya untuk menyedot darahku. Tapi malam ini. Mendadak aku ingin menjadi pesamurai. Walhasil sapu di kamarku, yang biasa menyapui spreiku. Kini bagi mataku, seolah-olah samurai. Dan nyamuk adalah lawanku. Ya. Aku enggan mengusir nyamuk dari obat-obatan. Aku ingin perlawanan yang seimbang.

Entah selama ini aku tidak melihat apakah nyamuk mati oleh tebasan samuraiku. Atau tubuhnya terbalur-balur sebab samuraiku mengenainya. Mungkin ia kesakitan di sana. Mengerang meminta pertolongan kepada temannya. Atau mereka sedang merencanakan sesuatu, yakni menyerangku.

Tepat sekali. Agaknya mereka benar-benar merencanakan menyerangku. Ngiang-ngiung bagi telingaku. Itu yang membuatku geram. Kamu sudah kuberi darah, masih juga menawarkan yang lainnya, yakni ingin mati. Khusus buatku: hilangkan ngiungmu—hisaplah darahku. Gratis untukmu. Aku menduga, zaman modern semacam ini, kamu kelabekan mencari mangsa. Kamu kelabekan mencari kehidupan. Tapi di kamarku. Kusediakan darahku. Dengan syarat, jangan membuatku gatal dan jangan ngiung di telingaku. Tapi selalu itu caramu. Sehingga dengan sendirinya aku ingin mengancammu bahkan kulaporkan pada samuraiku, yakni, hukuman mati buatmu. Rasakan.

Bagiku. Swang-swing swang-swing lebih puas daripada obat-nyamuk. Senjata itu lebih berani daripada obat-nyamuk. Lebih menandakan pejuang sejati menumpas lawan. Tak disangka-sangka, rumahku di gedor orang. Keras sekali bagai terburu-buru. Mereka bagai di kejar anjing atau ketakutan sangat. Maka dari itu, tubuhku geregap dari tempat tidur.

“Ada apa?” tanyaku bingung.

“Desa kita sedang bahaya. Bawalah samuraimu.”

“Bahaya kenapa? Samurai apa?”

“Sudah. Tidak usah banyak tanya. Mereka hendak mendekati rumahmu. Lekaslah.”

“Maksudnya apa-apaan ini?

“Kita diserang musuh. Bawalah samuraimu. Kutunggu di lapangan agung,” sahut yang lain.

Mereka pergi dengan segera sambil membawa sapu lidi yang bersih. Ia hanya terpelongo bukan main. Ia tertawa bisu yang bingung. Dan tetap mendengar dengung nyamuk di sekitarnya.

Ini hanya mimpi. Sekedar mimpi. Mengapa harus repot-repot, toh nanti bangun juga seperti biasa.

Ia tutup teliga dengan selimut. Sekarang, tidurnya tidak nyaman. Ia bergegas dari kamarnya. Memeriksa kamar ibunya. Ia baik-baik saja.

Dasar orang-orang itu. Pengedor pintu rumahku memang mengacaukan tidurku. Tapi apakah ini mimpi? Ya. Pasti ini mimpi. Dan di dalam mimpi posisiku seperti kehidupan yang benar-benar nyata. Ya. Mereka ingin menggoyah keyakinanku. Ya. Mereka ingin aku terperangkap dalam dunia mimpi. Tidak bisa. Tidak bisa. Sekali lagi: tidak bisa. Mimpi sekedar mimpi. Tidak pada dunia kenyataan.

Ia menidurkan diri. Entah bermimpi atau tidak. Entah.

Tak lama berselang. Ia mendengar teriakan. Sorak-sorak semangat orang hendak berperang. Mereka berkata, “Lawan. Lawan. Lawan.”

Sangking ramainya suara itu. Terbangunkanlah tidurnya. Bergegaslah ia ke kerumanan orang-orang itu, ya, orang-orang telah berkumpul di lapangan, bahkan sampai di lorong-lorong desa. Mereka serempak mengatakan, “Lawan. Lawan. Lawan.”

Terkejutlah ia bukan main. Orang-orang benar-benar hendak siap berperang. Sesekali ia mendengar bahwa lawannya adalah nyamuk. Dalam hati ia tertawa. Ia telah mempersiapkan kata-kata untuk disampaikan seluruh warga. Sambil berjalan menuju lapangan ia terus berkata, “Ini sekedar mimpi. Bukan kenyataan. Percayalah. Kita sekarang di negeri mimpi. Tidak semestinya kita berlaku seperti ini.”

“Katamu ini mimpi. Tapi orang-orang di desa sebelah telah mati. Apakah mati adalah mimpi. Apakah mereka adalah mimpi,” kemudian ini melanjutkan, “Lawan. Lawan. Lawan.”

Jalanan yang ramai membuat susah berjalan. Dalam tiap langkahnya ia berkata. “Ini mimpi. Sungguh ini mimpi. Bukan dunia kenyataan. Percayalah. Kita sekarang di negeri mimpi. Tidak semestinya kita berlaku seperti ini.” Tapi suaranya kalah dengan khutbah sang pemimpin desa. Suara sang pemimpin bagai Soekarno, Bung Tomo atau ala Zainudin MZ. Ya. Semangatnya berapi-api. Sang pemimpin berkata,

“Saudara-saudaraku sekalian. Sesungguhnya kita memperjuangkan diri sendiri untuk tetap hidup. Ya. Hidup itu untuk diri kita sendiri. Dengarlah. Jika kita sendiri melakukan perlawanan, maka yang terjadi adalah carut-marut gaya pertempuran. Oleh sebab itu, saudara-saudaraku. Kita bersama-sama melawannya. Hanya itu caranya.”

Lagi-lagi ia berteriak, “Ini sekedar mimpi. Sungguh. Ini sekedar mimpi.”

Tangkap orang yang melawan itu. Masukkan pemuda itu Balai Desa. Seret. Jangan sampai mengganggu pertempuran kita. Seret.

Pemuda itu di seret paksa. Ia tetap teriak, “Ini sekedar mimpi. Sungguh. Ini sekedar mimpi.” Ia di ikat bersama kursi. Di ikat tangannya, juga kakinya, juga mulutnya. Tak lama berselang sang pemimpin mendatanginya. Di bukalah buntal mulutnya. Dengan cepat ia bercerita. Lagi-lagi menjelaskan bahwa kejadian ini adalah mimpi. Bukan kenyataan. Dengan santai dan sabar sang pemimpin mendengar kronologi pemuda itu. Mendengar alasan-alasannya. Sang pemimpin setia mendengarkan bualan pemuda itu. Sambil silih berganti ia mendapati kabar dari panglima-panglimanya tentang kematian rakyatnya. Ya. Pertempuran telah berlangsung.

“Baiklah ini sekedar mimpi, Pemuda. Tapi kudengar orang tua telah mati. Ia diserang pasukan nyamuk. Dan pasukan nyamuk telah menyerang desa kita. Tapi inikah sekedar mimpi. Bahkan kematian orang tuamu itu, hanya sekedar mimpi,” balas sang pemimpin dengan tenang dan bergaya candaan.

Pemuda itu hanya terpelongo. Ia tidak bisa berkata-kata. Kabar yang didengar membuatnya bisu mendadak. Mendadak pula ia melinangkan airmata.

“Mimpi mungkin sekedar mimpi. Tapi mimpi masih mempunyai rasa bukan. Jika kamu menganggap ini adalah mimpi. Mengapa kamu mesti resah terhadap kabar yang kubagikan? Mengapa kamu geger bahwa ini mimpi? Mengapa kamu tidak tidur saja, dan menyegerakan mimpimu? Mengapa kamu tidak bunuh saja mimpimu? Apakah kamu tidak bisa membunuh mimpimu? Ya. Dengan cara apa kamu bisa membunuh mimpi?”

Mendengar rentetan pernyataan. Ia terdiam bukan main. Dalam hati ia berkata, “Mimpi memang tema lama untuk dibicarakan. Kebanyakan filsuf telah membahas panjang tentang mimpi. Orang-orang terdahulu telah lama membicarakan mimpi. Bahwa mimpi adalah kehendak sang pencipta. Bahwa orang tidak bisa membunuh mimpinya sendiri. Bisa jadi. Mimpi lebih kejam daripada kenyataan. Sebab, kenyataan: bisa bunuh diri. Bagaimana di alam mimpi: orang tidak bisa bunuh diri. Orang hanya pasrah kepada sang pemilik mimpi.”

Sang pemimpin bertanya, “Apakah kamu ingin kembali di dunia kenyataan?”

“Penting diketahui,” imbuhnya segera, “Bahwa di alam mimpi. Keluargamu telah mati diserang nyamuk. Dan rumah yang kamu tinggali, sekarang menjadi sarang nyamuk.”

“Iya,” jawabnya singkat.

“Prajurit. Lepaskan ikatan pemuda ini. Biarkan ia sesuka hati dengan kehendak-kehendaknya. Ia ingin jadi pahlawan dengan menyakin-yakin orang bahwa kehidupan yang kita alami sekarang adalah di alam mimpi. Dan pemuda: dengan cara apa kamu bisa kembali ke dunia nyata?”
 
Desember 2012

Belum ada Komentar untuk "Nyamuk"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel