Upaya ‘Pengaktifan’ Rasio Terhadap Pengetahuan Yang Telah Meresap: Yang di Hapalkan Santri Modern


Telah sering saya sebutkan bahwa zaman modern adalah zaman yang disebabi dengan maraknya: transportasi, telekomunikasi dan dunia layar (virtual), maka tekanan santri, sudah semestinya lebih kencang, karena tawaran pengetahuan pun semakin merebak:

Kitab-kitab bisa dikonsumsi dengan mudah

Kitab-kitab bisa didapatkan secara gratis, kalau punya kuota

Ceramah—entah yang model pengetahuan-praktis (alat) atau pun tentang keagaamaan—bisa diperoleh dengan mudah, kalau mau, kalau punya kuota, kalau punya uang untuk membeli.

Begitulah zaman postmodern. Namun ternyata, santri, perlajuan dunia santri, tetaplah menjadi perlajuan santri, bukan mengacu pada barat, tapi tetap mengacu pada timur, yakni jazirah arab—sebab ilmu islam lahir di sekitaran sana. Oleh karenanya, sekarang, santri penting menghapalkan data-data pengetahuan islam.

Jangan remehkan tentang hapalan ini. dan apa saja yang dihapalkan:

Pertama Tentang Fikih,

Agaknya hal ini sangat sederhana, namun tidak: ketahuilah, sebenarnya kita telah menjalankan rutinitas tentang kefikihan, hanya saja belum benar-benar dikonfirmasi lebih lanjut. Maksud dikonfirmasi, belum di sahkan secara daya-rasio kita. Sehingga menjalani fikih adalah tradisi yang biasa saja, padahal sejauh ini, kalau diamati dengan seksama, maka jalinan pengetahuan yang ada di dalam diri kita sungguh sangat memukau, yakni jalannya pengetahuan fikih:

Andaikata kita hafal apa-apa yang kita lakukan, dalam hal ini tentang fikih, maka kita, secara tidak-langsung, berjalan menggunakan ‘kitab’—sayangnya kita kurang ‘mengaktifkan’ rasio kita, sehingga data pengetahuan yang melekat dalam diri kita tidak terhapalkan.

Andaikata kita benar-benar memahami apa yang kita lakukan: tentu, hapal dengan kitab mabadi fikih, atau kitab-kitab fikih dasar lainnya. Oleh karenanya, pentingnya mengonfirmasi pengetahuan dalam ranah kefikihan. Tujuannya, supaya ilmu terjalankan. Supaya kita mempunyai alasan tatkala menjelaskan: kenalilah, bersamaan dengan itu, maka dengan mudah kita akan ceramah—tentu kalau hapal.

Kedua, Tentang Al-quran

Banyak pondok pesantren yang berbasik tentang hapalan, tujuannya, karena memang banyak kemudahan tatkala menghapal—walau juga banyak rintangannya. Pokoknya, tidak ada yang mudah dalam dunia ini, butuh perjuangan dan butuh kerja-keras, butuh disiplin, hapalan al-quran pun begitu. hapalan, jangan sekedar hapalan saja, hapalan perlu juga diketahui maknanya, diketahui tujuan dari hapalan: yakni menjadikan al-quran yang berjalan. Bukankah itu pada akhir tujuannya? Menjadikan al-quran sebagai pedoman hidup: supaya manusia-manusia lain mengerti bagaimana wujud dari al-quran:

Sarat dengan kasih sayang

Sarat dengan perhatian

Memperhatikan orang miskin

Anak-anak yatim

Memuliakan orang-orang berilmu

Sopan kepada orangtuanya

Dan lain sebagainya.

Ketiga, ilmu alat

Hal ini juga telah terbaisa diterapkan di pondok pesantren dengan cara menghapalkan tentang nadhom nahwu, imriti dan al-fiah. Namun kenalilah, ilmu alat adalah penting, tapi tetap kenanglah, bahwa ilmu itu adalah alat.

Sebenarnya, ketiga hal tersebut telah terjalankan dalam pondok pesantren, saya hanya mengulang sejenak. Yang sebenarnya, tujuan tulisan saya ini: menyatakan:

Bahwa sekarang telah masanya era-teknologi, telah masanya postmodern, orang-orang harus lebih giat, dan lebih memprioritaskan keilmuannya menjadi lejitan pengetahuan. Maksud dari lejitan pengetahuan adalah menambahkan rajin belajar, dan capailah puncak pengetahuan dengan belajar islam ke negeri asalnya: jazirah arab.

Supaya apa? Supaya terjalinnya kekayaaan secara ruhani, juga materi. Pikiran saya, kalau dirinya telah melejit sampai ke negeri asalnya islam, insyaallah materi mengikuti, namun kalau tidak serius mengkaji keislaman, maka yang terjadi adalah keislaman yang nanggung dan hidupnya ditekan dengan sesuatu yang sangat material, karena hidup di zaman sekarang adalah hidup serba material—sekali pun dulu telah material, namun zaman sekarang, lebih meroket tentang hal-hal material.

Apakah saya lulusan mesir? Bukan.

Apakah saya lulusan arab? Bukan.

Apakah saya lulusan sudan? Bukan.

Saya santri, yang mungkin setengah terhadap kesantriannya. Begitu. tidak di mesir, tidak di mekah, tidak di sudan. Melainkan di Indonesia, dan masih belajar tentang keislaman. Yang menyukai keilmuan, dan berdaya diri untuk benar-benar cinta terhadap keilmuan. Yang mulai tambah sibuk dengan dunia kata-kata. Yang berada di zaman postmodern: yakni jalinan ketiga masa, transportasi, telekomunikasi dan dunia layar (virtual)

Saran saya:

Gunakalanlah teknologi sebagai alat untuk penunjang hapalan, kalau tidak menggunakan, tentu itu sah-sah saja. Tidak ada kewajiban untuk menggunakan teknologi. Tidak ada. Sebab teknologi, mempunyai tawaran pengetahuan yang lain, maksudnya, godaan tentang pengetahuan yang lain, godaan yang lain maksudnya: karena sekarang zaman informasi, maka informasi bisa merebak dimana-mana dan kapan saja. dan kita tidak bisa menghindar dari itu. kita tidak bisa lepas dari cengkraman teknologi. Oleh karenanya: mari ‘berjuang’ meraih keilmuan yang lebih tinggi dengan cara perlahan-lahan.

Selamat berjuang.

Belum ada Komentar untuk " Upaya ‘Pengaktifan’ Rasio Terhadap Pengetahuan Yang Telah Meresap: Yang di Hapalkan Santri Modern "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel