Jangan Banyak Pikiran
Selasa, 24 Januari 2017
Tambah Komentar
“Jangan banyak pikiran.” Aku kini menyapamu terlebih dulu. Seperti udara yang menyapanya dari luar jendela. Kami melangkah bersama menuju tempat di mana orang-orang akan membicarakan-Nya, mengurai kebesaran-Nya. Mengurai tentang ayat-ayat-Nya. Karena mata pelajaran pertama pagi ini adalah Tafsir al-quran. Dan kami dalam perjalanan pun berkicau bagai burung di antara kami. Kukatakan padanya, “Kita mempunyai pikiran. Dan tidak akan mampu melepasnya. Tatala kita melapasnya, berati kita tertidur.” Kau pun menambahi, “Pokoknya, jangan banyak pikiran. Karena sesungguhnya setiap kita masih mempunyai pikiran.”
***
***
“Jangan banyak pikiran!” Perintahnya terus menerus. Ya, tak bosan-bosannya dia mengatakan itu setiap hari. Tidak pernah telat. Seperti gugur daun yang terus menurunkan. Aku tidak pernah tahu alasan dia mengatakanya selain menjawab, “Aku ingin mengatakannya padamu.”
Dia mengucapkannya takala mentari telah menyala. tepatnya, tatkala dia hendak melangkah ke mushola. Dengan nada yang lembut, agak tersenyum dia berkata lirih, “Jangan banyak pikiran.”
“Mengapa? Mengapa kamu terus-terusan mengatakan itu?”
“Sudah kubilang: aku ingin mengatakannya padamu.”
“Tapi aku membutuhkan kejelasan ucapanmu.”
Dia diam, dan dengan santainya melangkah ke mushola. Seperti tidak berdosa. Sementara aku bagai tersiksa dengan ucapannya, bosan dengan kata-katanya. Mending kalau meluncurnya kata-kata lain. Dia memang orangnya tertutup. Tidak banyak bicara kecuali tatkala ditanya. Dia memang pandai. Masuk universitas gratis. Prestasinya melimpah. Mulai dari TK sampai SMA, piala berjajar-jajar atas namanya. Para dosen terkagum-kagum dengan pemikiranya.
Tapi aku, biasa saja dengannya. Pikirku, “Dia memang hebat dengan prestasinya. Tapi aku mesti mementingkan pelajaranku. Mengepentingkan tujuanku. Aku mesti fokus pelajaranku. Bagiku, orang-orang pandai memang melimpah. Bila disiplin belajar, insyaallah bisa seperi orang-orang yang pandai. Bukannya disiplin temannya istiqomah? Maksudnya disiplin harus istiqomah supaya mendapatkan apa yang mesti kudapatkan.”
Salat jamaah telah usai. Pengajian pagi telah selesai. Pokoknya, acara pagi kami telah beres. Saatnya kembali ke kamar.
“Bagaimana?” tanyaku menyudutkan. “Alasan apa kamu mengatakan itu?”
Dia melongokkan wajahnya dari ranjangnya yang tepat diatasku, sembari bahunya diangkat, dan meneruskan kembali membaca bukunya. Dia memang kutu buku. Setiap hari selalu membaca buku. Kemana-mana tidak pernah telat membawa buku. Kecuali ke kamar mandi. Pokoknya, sejauh melihatnya, selalu ada buku yang dibawanya.
“Mudah-mudah kamu tidak terganggu dengan aktifitasku,” kataku sambil melangkah anak tangga menuju ranjangnya. Langsung membaringkan tubuh. Menarik satu buku yang ada. Agak tebal. Sabda Zarathustra: Freidrich Nietzsche.
Pikirku, “Jangan-jangan dia terpengaruhi Fredrich Nietzsche yang enggan berkata-kata. Nietzsche memang hebat. Kata-katanya blak-blakan: tapi memang begitulah kenyataanya. Kata-katanya bagai merdeka, tidak teratur ini-itu, tapi tetap bernada puitis.”
Aku tertawa. Dia melongok padaku. Aku tertawa lagi. Dia melongok lagi sambil berkata,
“Bisakah tidak mengganguku? Dan kembalilah ketempatmu.”
“Tidak bisa. Aku ingin menganggumu seperti kamu mengganguku.”
“Tapi kembalilah ke tempatmu.”
“Sekarang,” kataku dendam. “Bagaimana aku bisa mengusir kata-katamu yang telah berlalu lalang dalam otakku?”
“Ya sudah maaf jika itu mengganggumu.”
“Baik dimaafkan.” Kataku singkat. Tapi aku tetap saja di ranjangnya. Tetap saja memegang bukunya. Tidak pindah tempat. Dan melanjutkan, “Tapi berikanlah aku alasan mengapa kamu menerbangkan kalimat terus-terusan padaku? Sama pula.”
“Dasar!” jawabnya sembari tersenyum.
“Kenapa?”
“Seperti jalur keturuan Nabi Musa,” balasnya lirih, dan meneruskan, “Tidak sabaran.”
“Sudah tahu saya tidak sabaran. Mengapa kamu selalu mengajariku? Bukannya aku tidak memintamu untuk mengajarimu sebgaimana Nabi Khidir?”
“Memang repot,” batinnya. “Begini,” akhirnya dia mau juga menjelaskan.
“Bukannya kata-kata adalah mempengaruhi kejiwaan kita, semestinya kamu berterima kasih karena kusuport kamu seperti itu. Yang belum bosannya menasihatimu secara bijak!”
“Bijak! Support! Kau tahu, saya terganggu dengan kata-katamu. Agaknya kamu salah orang untuk dibijaki, untuk disupporti. Tapi alasan apa kamu memberitahuku? Jawablah. Tidak usah bertele-tele. Kenapa?”
“Sesungguhnya aku juga tidak tahu, mengapa selalu ingin mengatakan itu kepadamu.”
“Tidak tahu!”
“Ya.”
“Tidak tahu!”
“Iyya,” jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Aku pun tersenyum dan berkata, “Aneh!”
“Memang aku juga merasa aneh dengan kejadianku. Mengapa mendadak ingin kukatakan itu kepadamu. Tapi, setelah kucari-cari: rupanya aku teringat bahwa kata-kata tersebut adalah dari kakekku yang tidak bosan-bosannya mengatakan itu kepadaku. Dan tatkala aku melihatmu pertama kali, sepertinya aku melihat ada kakekku padamu.”
“Ada kakekmu,” balasku malu, “Jadi aku seperti kelihatan tua?”
“Bukan itu. Tapi sikapmu seperti kakekku.”
“Jadi, diam-diam kamu memperhatikanku,” tebakku kemudian.
Dia diam. Pelan sekali mengagukkan kepalanya. “Jujur. Aku terkagum denganmu.”
“Terkagum!”
“Iya.”
“Ah sudah biasa, orang-orang juga kerap mengagumi. Begitu juga denganmu: bukannya kamu banyak pengagum? Perempuan-perempuan, Dosen, serta Ustad: mengagumimu. Mengagumi kecerdasannmu.”
Lagi-lagi dia terdiam. Tersenyum. Menundukan tatapannya. Dan jarinya memukul-pukul telapak kakinya. Aku perhatikan dia baik-baik. Rupanya tampan. Hidungnya mancung. Matanya lentik. Tidak berjerawat: bagaimana dia tidak dikagumi. Dan kukatakan padanya, “Tapi aku tidak begitu mengagumimu.”
Dia hanya terdiam. Matanya sedikit bermain padaku. Tersenyum.
“Tepatnya tidak mengagumimu!” imbuhku kemudian.
Dia pun bertanya lirih sambil senyum bibirnya, “Memangnya mengapa?”
“Aku tidak sempat memperhatikanmu.”
Dia hanya terdiam. Tidak melepas dari senyumnya hingga tertawa kecil mendengar kata-kataku. “Jika boleh tahu,” kataku lirih menunggu jawabnya. Tapi ia segera menggoyahkan kepalanya. Maka kuteruskan, “Sebenarnya siapa yang banyak pikiran diantara kita?”
Dengan cepat dia memegang dadanya. Aku pun mengikutinya. Karena kutahu dia bagai bisu, atau tepatnya membisu maka kukatakan padanya.
“Kau tahu aku sedang memikirkan apa?”
“Apa,” ia menjawab singkat.
“Aku kerap memikirkan yang bisu bagi telingaku.”
“Maksudnya?”
“Jangan ge-er memikirkanmu yang membisu.”
“Ah... kamu...” balasnya malu.
Dengan lirih aku katakan di telinganya. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang apa yang kubisiki. Cuma dia yang tahu. Agak panjang. Kuberikan juga alasan dan penjabaran. Pokoknya, setiap orang mendengarnya pasti sepakat, tidak bisa tidak.
“Aku juga,” katamu membalas bisikanku.
**
“Jangan banyak pikiran.” Aku kini menyapamu terlebih dahulu. Seperti udara yang menyapanya dari luar jendela. Kami melangkah bersama menuju tempat di mana orang-orang akan membicarakan-Nya, mengurai kebesaran-Nya. Mengurai tentang ayat-ayat-Nya. Karena mata pelajaran pertama pagi ini adalah Tafsir al-quran. Dan kami dalam perjalanan pun berkicau bagai burung di antara kami. Kukatakan padanya, “Kita mempunyai pikiran. Dan tidak akan mampu melepasnya. Tatkala kita melapasnya, berati kita tertidur.” Kau pun menambahi, “Pokoknya, jangan banyak pikiran. Karena sesungguhnya setiap kita masih mempunyai pikiran.”
“Pokoknya lagi,” balasku, “Sepertinya kita banyak sekali pokok ya! Tapi ini benar,” imbuhku, sambil menarik napas dan membuangnya cepat-cepat. “Kita keluarkan apa yang ada dipikiran: kalau tidak ditulis, ya diungkapkan kepada yang pantas menerima pengaduan. Pokoknya kita bagikan, apa yang kita pikirkan.”
tercipta 2013 diedit tahun 2017
Belum ada Komentar untuk "Jangan Banyak Pikiran"
Posting Komentar