Nasihat: Apa itu Toriqot? Tentang Ilmu ‘Jalan’
Minggu, 29 Januari 2017
Tambah Komentar
Orang berjalan, itu harus tahu jalannya, begitulah ilmu toriqat, Taufik. Janganlah dipersulit tentang istilah itu dengan ‘jalan’ yang berkelok-kelok, berliku, dan aneh. Ringkaskanlah pengertian itu, menjadi:
Ilmu tentang perjalanan.
Itulah tariqat, Taufik. Semakin engkau selidiki tentang sistematika tariqat, maka engkau masuk dalam tataran ilmunya bagaimana berjalan.
Kenanglah, bagaimana engkau latihan ‘berjalan’, begitulah ilmu toriqat. Sebelum engkau berjalan, maka engkau telah melakukan proses sebelum berjalan, yakni tanda-tanda terang bahwasanya engkau sudah layak berjalan:
Sudahkah engkau melumah?
Sudahkah engkau mulai duduk?
Sudahkah engkau mberangkang?
Ketika engkau telah siap untuk berjalan, maka secara spontanitas ‘orang-orang’ yang mencintaimu, akan menggiringmu untuk berjalan: dan pola penggiringan itu berbeda-beda, Taufik:
Ada yang mengejek-ejekmu
Ada yang memaharimu
Ada yang menuntutmu
Begituah tariqat, Taufik. Jangan takut tersesat—memangnya, jika kau berpikir ‘tersesat’: kemanakah langkah-mungilmu akan tersesat? Bukankah lingkungan jangkahan kakimu masih teramat kecil? Apakah engkau akan tiba-tiba mampu berlari, dan hilang dari keluargamu?
Cinta bakal mencegahmu.
Cinta bakal melindungimu.
Cinta bakal mengengkangmu.
Cinta bakal menasihatimu.
Cinta bakal memberi arahan padamu.
Begitulah ilmu tentang perjalanan Taufik. Sayangnya, dalam dunia-toriqat tidak seperti itu, yakni sebuah perjalanan ada sebuah tujuan yang hendak di capai. Saran saya, nikmati saja ‘perjalanan’ tersebut. Nikmati saja setiap langkah-langkahnya, jangan sibuk tentang aturan demi aturan: jika hal ini digandengkan dengan ilmu-islam, maka engkau harus ingat.
Jalankanlah pengetahuan fikihmu, jalankanlah dzikir-dzikir selepas shalat, jalankanlah kehidupanmu sebagaimana ‘bagian’ atau watak-asli dari dirimu—dan engkau telah mengenal dengan baik tentang karakter dirimu—begitu saja, Taufik.
Mudahkanlah setiap perjalananmu.
Hidup itu tentang perjalanan.
Hidup itu tentang perlintasan.
Dan kepada-Nya semua kembali. Sungguh, segala sesuatu kembali kepada-Nya—sebenarnya ini adalah dalil dari al-quran, taufik, atau kalimat tarjih, kalimat yang sering dikumandangkan orang-orang tatkala ada berita musibah, artinya mengembalikan apa-pun kepada pemiliknya, yakni Allah. Karena kita percaya bahwa semua dalam kuasa-Nya—
Jika engkau mencari-cari tariqat apa yang cocok untukmu—di saat inilah engkau belum mampu berjalan.
Jika engkau meneliti tariqat demi tariqat yang disahkan—disaat inilah engkau belum berjalan.
Jika engkau berusaha menyesuaikan dengan dirimu, maka di saat ini, engkau telah mengklaim bahwasanya engkau telah ‘berjalan’ karena memang engkau telah mampu berjalan.
Sebenarnya, saat engkau mampu berjalan, disitulah engkau telah melakukan perjalanan. Berjalan ‘mengikuti’ apa-apa yang ada di lingkunganmu.
Jika sekarang engkau berusaha mencari tahu tentang kenangan perjalananmu—berarti engkau berusaha mengonfirmasi kenanganmu, di saat inilah engkau mulai berpikir.
Sebab engkau mulai berpikir, maka engkau mulai mengecek tentang ‘pola-polamu’, di saat inilah engkau masih mengoreksi tentang dirimu, yang berguna mengetahui dirimu.
Jalan keluarnya, tetaplah lakukan ‘perjalanan’ sebagaimana engkau ‘saat’ ini berjalan. Jangan pusing-repotkan tentang jalan-mana yang layak engkau tempuh. Jika hal ini digandengkan dengan islam, maka jangan lupa syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji kalau mampu. Jangan lupa, tentang rukun iman. Jangan lupa menjalankan kenyataanmu. Menjalankan beban-beban yang ada pada dirimu. Jangan lupakan tugas-tugasmu. Jangan lupakan hakmu sebagai manusia. Dan yang paling utam, jangan lupa ‘berjalan’. Jika engkau berpikir keras tanpa beraksi. Maka itu namanya masih berpikir, bukan berjalan.
Berjalan itu, adalah sebuah aktifitas yang dijalankan.
Jika engkau melihat orang-orang mengikatkan sesuatu dengan lafat-lafat tertentu, berupaya keras untuk mengingat-Nya, berusaha keras untuk mendekatkan diri kepada-Nya, berusaha untuk membiasakan ingat kepada-Nya: bukankah engkau bisa mengingat-Nya? Mendekatkan diri kepada-Nya?
Mengingat itu adalah proses ‘ingatan’, Taufik.
Mendekatkan itu adalah proses ‘dekat’, Taufik.
Jika engkau berjalan, berjalanlah: bukankah engkau mempunyai guru? Berjalanlah seperti engkau percaya kepada gurumu! Berjalanlah bersama ‘jalan’ yang ditempuh gurumu! Berjalanlah seperti apa yang dijalankan gurumu!
Pertanyaan dasarnya: sudahkah engkau mengerti apa yang dijalankan gurumu, itulah yang harus engkau ketahui, itulah yang harus engkau pahami. Begitu, Taufik.
Sekarang, apa itu toriqat? Ilmu tentang perjalanan. Dan engkau telah memasukinya, sekarang, berjalanlah.
Laksanakanlah…
Ilmu tentang perjalanan.
Itulah tariqat, Taufik. Semakin engkau selidiki tentang sistematika tariqat, maka engkau masuk dalam tataran ilmunya bagaimana berjalan.
Kenanglah, bagaimana engkau latihan ‘berjalan’, begitulah ilmu toriqat. Sebelum engkau berjalan, maka engkau telah melakukan proses sebelum berjalan, yakni tanda-tanda terang bahwasanya engkau sudah layak berjalan:
Sudahkah engkau melumah?
Sudahkah engkau mulai duduk?
Sudahkah engkau mberangkang?
Ketika engkau telah siap untuk berjalan, maka secara spontanitas ‘orang-orang’ yang mencintaimu, akan menggiringmu untuk berjalan: dan pola penggiringan itu berbeda-beda, Taufik:
Ada yang mengejek-ejekmu
Ada yang memaharimu
Ada yang menuntutmu
Begituah tariqat, Taufik. Jangan takut tersesat—memangnya, jika kau berpikir ‘tersesat’: kemanakah langkah-mungilmu akan tersesat? Bukankah lingkungan jangkahan kakimu masih teramat kecil? Apakah engkau akan tiba-tiba mampu berlari, dan hilang dari keluargamu?
Cinta bakal mencegahmu.
Cinta bakal melindungimu.
Cinta bakal mengengkangmu.
Cinta bakal menasihatimu.
Cinta bakal memberi arahan padamu.
Begitulah ilmu tentang perjalanan Taufik. Sayangnya, dalam dunia-toriqat tidak seperti itu, yakni sebuah perjalanan ada sebuah tujuan yang hendak di capai. Saran saya, nikmati saja ‘perjalanan’ tersebut. Nikmati saja setiap langkah-langkahnya, jangan sibuk tentang aturan demi aturan: jika hal ini digandengkan dengan ilmu-islam, maka engkau harus ingat.
Jalankanlah pengetahuan fikihmu, jalankanlah dzikir-dzikir selepas shalat, jalankanlah kehidupanmu sebagaimana ‘bagian’ atau watak-asli dari dirimu—dan engkau telah mengenal dengan baik tentang karakter dirimu—begitu saja, Taufik.
Mudahkanlah setiap perjalananmu.
Hidup itu tentang perjalanan.
Hidup itu tentang perlintasan.
Dan kepada-Nya semua kembali. Sungguh, segala sesuatu kembali kepada-Nya—sebenarnya ini adalah dalil dari al-quran, taufik, atau kalimat tarjih, kalimat yang sering dikumandangkan orang-orang tatkala ada berita musibah, artinya mengembalikan apa-pun kepada pemiliknya, yakni Allah. Karena kita percaya bahwa semua dalam kuasa-Nya—
Jika engkau mencari-cari tariqat apa yang cocok untukmu—di saat inilah engkau belum mampu berjalan.
Jika engkau meneliti tariqat demi tariqat yang disahkan—disaat inilah engkau belum berjalan.
Jika engkau berusaha menyesuaikan dengan dirimu, maka di saat ini, engkau telah mengklaim bahwasanya engkau telah ‘berjalan’ karena memang engkau telah mampu berjalan.
Sebenarnya, saat engkau mampu berjalan, disitulah engkau telah melakukan perjalanan. Berjalan ‘mengikuti’ apa-apa yang ada di lingkunganmu.
Jika sekarang engkau berusaha mencari tahu tentang kenangan perjalananmu—berarti engkau berusaha mengonfirmasi kenanganmu, di saat inilah engkau mulai berpikir.
Sebab engkau mulai berpikir, maka engkau mulai mengecek tentang ‘pola-polamu’, di saat inilah engkau masih mengoreksi tentang dirimu, yang berguna mengetahui dirimu.
Jalan keluarnya, tetaplah lakukan ‘perjalanan’ sebagaimana engkau ‘saat’ ini berjalan. Jangan pusing-repotkan tentang jalan-mana yang layak engkau tempuh. Jika hal ini digandengkan dengan islam, maka jangan lupa syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji kalau mampu. Jangan lupa, tentang rukun iman. Jangan lupa menjalankan kenyataanmu. Menjalankan beban-beban yang ada pada dirimu. Jangan lupakan tugas-tugasmu. Jangan lupakan hakmu sebagai manusia. Dan yang paling utam, jangan lupa ‘berjalan’. Jika engkau berpikir keras tanpa beraksi. Maka itu namanya masih berpikir, bukan berjalan.
Berjalan itu, adalah sebuah aktifitas yang dijalankan.
Jika engkau melihat orang-orang mengikatkan sesuatu dengan lafat-lafat tertentu, berupaya keras untuk mengingat-Nya, berusaha keras untuk mendekatkan diri kepada-Nya, berusaha untuk membiasakan ingat kepada-Nya: bukankah engkau bisa mengingat-Nya? Mendekatkan diri kepada-Nya?
Mengingat itu adalah proses ‘ingatan’, Taufik.
Mendekatkan itu adalah proses ‘dekat’, Taufik.
Jika engkau berjalan, berjalanlah: bukankah engkau mempunyai guru? Berjalanlah seperti engkau percaya kepada gurumu! Berjalanlah bersama ‘jalan’ yang ditempuh gurumu! Berjalanlah seperti apa yang dijalankan gurumu!
Pertanyaan dasarnya: sudahkah engkau mengerti apa yang dijalankan gurumu, itulah yang harus engkau ketahui, itulah yang harus engkau pahami. Begitu, Taufik.
Sekarang, apa itu toriqat? Ilmu tentang perjalanan. Dan engkau telah memasukinya, sekarang, berjalanlah.
Laksanakanlah…
Belum ada Komentar untuk " Nasihat: Apa itu Toriqot? Tentang Ilmu ‘Jalan’ "
Posting Komentar