Membuka Catatan Lama
Kamis, 19 Januari 2017
Tambah Komentar
Abu Nurikasf tersenyum datar melihat catatannya. Sembari memegang dadanya, dia melafadkan hamdalah.
“Kenalilah wahai rakyatku, kemuliaan itu adalah teruntuk manusia yang hidup. Manusia yang mampu membicarakan lewat lidahnya. Terlebih lagi, kemualian akan benar-benar ditunjukan bila kematian tiba. Aku menganjurkan kepada diriku: untuk memuliakanmu tatkala engkau hidup. Harus berkasih sayang tatkala hidup, perhatian tatkala napasnya masih berhembus.
Terkadang aku heran kepada manusia. Mengapa meraka begitu menghormati tatkala mati menghampiri? Mereka begitu mengudarkan ciuman rasa cinta-yang murni ketika lidah yang dicium tidak membalas sedikit pun. Bukankah hal seperti itu banyak yang terjadi! Mengapa seperti itu: aku harap rakyat-rakyatku bisa mengudarkan kasih sayangnya kepada setiap manusia tatkala masih hidup.
Sudi menjenguk orang-orang sakit. Mendengar apa yang dikatakan. Membenarkan apa yang diucapkan dengan lembut. Memijat-pijat tubuhnya, kakinya, atau tangannya setulus hati.
Menginfakkan sebagian hartanya. Untuk membantu yang ditimpa sakit. Aku harap kita tidak buta dengan ayat-ayat-Nya. Untuk terus menerus membagikan harta kita kepada yang tidak mampu.
Sungguh, sakit adalah musibah. Kenalilah, sakit itu misterius, tapi bagi orang-orang yang mengurus orang sakit. Mereka adalah bagian dari sakit. Aku harap kita bisa menjaga kebersamaan kita. Menjaga keislamanan kita. Sebab, sejauh kita tahu: banyak orang yang sekedar mengembelkan islamnya belaka. Sementara yang lain, menggembor-gembor tentang islam.
Aku berharap, kita tidak termasuk orang-orang yang mengemborkan tentang islam. Tapi kita sendirilah yang berusaha digemborkan. Hati kita sendiri yang penting untuk digemborkan.
Sebenarnya, aku tidak ingin memecah belah tentang keislaman. Enggan menguprek-uprek urusan islam yang mana. Enggan bercerita tentang islam yang benar apa. Sungguh, hal itu akan memicu orang-orang. Aku inginkan bahwa kita adalah sepadan islam.
Wahai rakyatku, kita harus sepadan islam. Aku berlindung kepada Allah atas apa yang kuudarkan. Aku inginkan kita aplikasikan islam yang sederhana. Tidak harus muluk-muluk tentang teori. Pikirku, cukuplah teori ditempatkan pada lembaga-lembaga pendidikan. Tapi kita berusaha melaksanakan islam. Menjalankan islam. Menyatakan islam. Merealisasikan islam. Contoh sederhana, adalah salat. Kenalilah, salat adalah tiang agama.
Dari salat, maka akan ketemu tentang bagaimana hablu-minallah dan hablu-minannas. Terlebih, adalah hablu-minannas. Bagiku, kualihkan sejenak tentang hablu-minallah, tapi lebih menekankan pada hablu-minanas. Bukankah sejauh ini, yang kerap terjadi adalah mencintai manusia? Bukan berarti tidak mencintai Allah, tetap, cintailah Allah.
Ingatlah, wahai rakyatku, kalau kita mencintai Allah yang maha merajai seluruh alam semesta, berarti kita harus mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Tapi aku ingin membatasi tentang cinta.
Tekankanlah cinta, kepada orang-orang disekitarmu. Orang-orang disekelilingmu. Cintailah mereka. Cintailah. Jika ada yang tertimpa musibah, baiknya kita menghiburnya, bukan malah menertawakan. Apalagi, membiarkan terpuruk.
Akan tetapi, senantiasa ingat, wahai rakyatku sekalian:
Dunia adalah gudangnya godaan. Hati-hati dengan kerukunan kasih-sayang. Banyak fakta yang membuktikan, tatkala banyak orang, maka yang terjadi adalah banyak melimpahkan harta. Senang berhuru-hara.
Hai para hartawan, yang orang disebut kaya dalam kedunian. Aku lurahku, aku berada dibalikmu. Janganlah kamu boros terhadap hartamu. Janganlah kamu bermegah-megah dengan hartamu. Infakkanlah sebagian hartamu kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Aku rasa, kamu mengetahui mana yang baik untuk diberi. Ingatlah, ayat-ayat-Nya, ada tabel tentang orang-orang yang layak diberi.
Dan kamu, hai orang-orang miskin, janganlah bangga kalau diberi, kalau bisa kamu harus mengkayakan dirimu sendiri. Artinya, supaya orang-orang tidak merasa memberimu, karena kamu fakir-miskin. Tidakkah kamu mengetahui, bahwa orang yang memberi itu lebih baik dibanding orang menerima?
Kalau bisa, kalian, wahai rakyatku, bisa menginfakan hartamu kepada lembaga infak, biarlah orang-orangku yang membagikan hartamu. Bukannya kalian percaya kepada kepemimpinanku? Serahkanlah kepada kami. Insyallah, kami membagikan harta kalian.
Kami tampung harta kalian demi kepentingan rakyat sekalian. Rakyat yang bakal dirundung musibah yang tidak terduga. Yakni, sakit.
Bukannya sejauh ini, sakit begitu manja dan harga menuju kesana begitu sangat menggoda? Merogoh kocek kita, dan takut akan kesakitan. Atau jika orang-orang miskin maka akan lebih memilih, ‘jangan sakitkan aku!’ selalu seperti itu teriakannya. Sayangnya, takdir berkata lain. keluarga berkata lain.
Keluarga, tentu akan berusaha keras menyembuhkan mereka. berusaha menyembuhkan mereka. Sebabnya apa, sebabnya karena cinta, wahai rakyatku sekalian.
Oleh karenanya, wahai rakyatku, kalau kalian infak, alangkah baiknya di tempat kami. Tidakkah kamu melihat orang-orang kami yang perhatian kepada rakyat sekalian? Ketika ada yang sakit. Kami berburu untuk menjenguk. Kami memberikan harta-harta yang sekira perlu diberikan. Kami menyarankan supaya berhemat. Kami menyarankan supaya para tamu dilayani sepenuh hati.
Dan wahai orang-orang yang mengurusi orang yang sakit, kalian juga harus berhemat terhadap apa-apanya. Jika kami memberi makanan, serta penyediaan air minum. Keluarkanlah untuk para tamu yang menjengukmu. Sediakanlah air-panas, supaya tamu merasa dimuliakan. Muliakanlah tamu, seperti kamu memuliakanku. Apa bedanya tamu itu denganku? Jika kamu memuliakanku, muliakanlah rakyatku. Bukankah kebanyakan yang menjenguk adalah rakyatku?
Ingatlah, wahai rakyaktu sekalian, sekali lagi, jangan sampai kita tertimpu dengan arus dunia yang begitu menggoda. Termasuk kasih-kita. Cinta kita. Oleh karenanya, pasrahkan semuanya kepada Allah yang maha segala. Jangan kemilik dunia. Jangan tergiur akan dunia.
Dunia itu barang sedikit yang sedikit. Tidakkah kita sadari, rupa-rupanya umur kita mendekati mati? Oleh karenanya, berkasih-sayanglah diantara kita. Rukunlah diantara kita. Ingatlah, tetangga yang baik adalah sungguh sangat beruntung. Oleh karenanya, kita penting menjaga kebaikan ini. Menjaga solidaritas keberasamaan. Dengan cara agama.
Ya, tetaplah kalian, salat jamaah di tempat-tempat salat. Kalau ada yang tidak datang, kunjungilah. dan aku berlindung kepada Allah atas kemanusiaan. Aku disini, hanya menyampaikan wahai rakyatku. Aku pun tak penah tahu, kapan ajal tejadi.
Mati adalah sesuatu yang misterius. Sekali pun buatku. Bukannya tidak ada yang menduga kalau kita bisa saja mati dengan cepat? Memang baiknya kita berharap, mati tatkala tua. Tapi bagaimana kalau kita mati muda? Bukannya banyak dilingkungan kita yang mati muda? Mengapa kita masih bebal, bahwa mati adalah kehendak-Nya?
Oleh karena itu, teruslah perbaiki diri kalian. Siapa yang menebak, kalau setelah detik ini, kita akan mati? Jika hari ini, kita mati, dan kebetulan, kemarin kita melakukan sesuatu tindakan yang dimata masyarakat tidak baik. Maka, dalam pembicaraan kita adalah tentang ketidak baikkan.
Jika kita, berbudi baik, sopan, dan mencintai orang-orang, perhatian terhadap orang-orang. Maka, dalam pembicaran kematian kita adalah tentang kebaikan kita, tentang perhatian kita.
Memang selalu seperti itu, wahai rakyatku, orang yang mati kerap dibicarakan, dan bahkan menjadi artis dadakan. Tepatnya, kemulian adalah dari orang yang hidup, untuk orang hidup yang lain. Selalu seperti wahai rakyatku. Terakhir, cintailah orang-orang disekitarmu. Mudah-mudahan tempat kita menjadi pembicaran orang-orang. Akan ditiru tentang kebaikan kita. Allah maha mengetahui. Allah maha mendengar. Dan kepada Allah aku mohon ampun. Ya Allah tunjukilah kami sebagaimana Engkau memberi petujuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Belum selesai catatan dibaca. Dia keburu pergi mengunjungi rakyatnya. Melihat sekali lagi. Tentang apa-apa yang dicatatkan, adalah kenyataan yang terjadi. Dalam perjalanannya. Dia terus menasbihkan diri pada rabbi. Yang memang seharusnya: era sekarang, harus seperti ini: mendapati kemenangan dan islam sebagai batas dari keahlian.
“Kenalilah wahai rakyatku, kemuliaan itu adalah teruntuk manusia yang hidup. Manusia yang mampu membicarakan lewat lidahnya. Terlebih lagi, kemualian akan benar-benar ditunjukan bila kematian tiba. Aku menganjurkan kepada diriku: untuk memuliakanmu tatkala engkau hidup. Harus berkasih sayang tatkala hidup, perhatian tatkala napasnya masih berhembus.
Terkadang aku heran kepada manusia. Mengapa meraka begitu menghormati tatkala mati menghampiri? Mereka begitu mengudarkan ciuman rasa cinta-yang murni ketika lidah yang dicium tidak membalas sedikit pun. Bukankah hal seperti itu banyak yang terjadi! Mengapa seperti itu: aku harap rakyat-rakyatku bisa mengudarkan kasih sayangnya kepada setiap manusia tatkala masih hidup.
Sudi menjenguk orang-orang sakit. Mendengar apa yang dikatakan. Membenarkan apa yang diucapkan dengan lembut. Memijat-pijat tubuhnya, kakinya, atau tangannya setulus hati.
Menginfakkan sebagian hartanya. Untuk membantu yang ditimpa sakit. Aku harap kita tidak buta dengan ayat-ayat-Nya. Untuk terus menerus membagikan harta kita kepada yang tidak mampu.
Sungguh, sakit adalah musibah. Kenalilah, sakit itu misterius, tapi bagi orang-orang yang mengurus orang sakit. Mereka adalah bagian dari sakit. Aku harap kita bisa menjaga kebersamaan kita. Menjaga keislamanan kita. Sebab, sejauh kita tahu: banyak orang yang sekedar mengembelkan islamnya belaka. Sementara yang lain, menggembor-gembor tentang islam.
Aku berharap, kita tidak termasuk orang-orang yang mengemborkan tentang islam. Tapi kita sendirilah yang berusaha digemborkan. Hati kita sendiri yang penting untuk digemborkan.
Sebenarnya, aku tidak ingin memecah belah tentang keislaman. Enggan menguprek-uprek urusan islam yang mana. Enggan bercerita tentang islam yang benar apa. Sungguh, hal itu akan memicu orang-orang. Aku inginkan bahwa kita adalah sepadan islam.
Wahai rakyatku, kita harus sepadan islam. Aku berlindung kepada Allah atas apa yang kuudarkan. Aku inginkan kita aplikasikan islam yang sederhana. Tidak harus muluk-muluk tentang teori. Pikirku, cukuplah teori ditempatkan pada lembaga-lembaga pendidikan. Tapi kita berusaha melaksanakan islam. Menjalankan islam. Menyatakan islam. Merealisasikan islam. Contoh sederhana, adalah salat. Kenalilah, salat adalah tiang agama.
Dari salat, maka akan ketemu tentang bagaimana hablu-minallah dan hablu-minannas. Terlebih, adalah hablu-minannas. Bagiku, kualihkan sejenak tentang hablu-minallah, tapi lebih menekankan pada hablu-minanas. Bukankah sejauh ini, yang kerap terjadi adalah mencintai manusia? Bukan berarti tidak mencintai Allah, tetap, cintailah Allah.
Ingatlah, wahai rakyatku, kalau kita mencintai Allah yang maha merajai seluruh alam semesta, berarti kita harus mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Tapi aku ingin membatasi tentang cinta.
Tekankanlah cinta, kepada orang-orang disekitarmu. Orang-orang disekelilingmu. Cintailah mereka. Cintailah. Jika ada yang tertimpa musibah, baiknya kita menghiburnya, bukan malah menertawakan. Apalagi, membiarkan terpuruk.
Akan tetapi, senantiasa ingat, wahai rakyatku sekalian:
Dunia adalah gudangnya godaan. Hati-hati dengan kerukunan kasih-sayang. Banyak fakta yang membuktikan, tatkala banyak orang, maka yang terjadi adalah banyak melimpahkan harta. Senang berhuru-hara.
Hai para hartawan, yang orang disebut kaya dalam kedunian. Aku lurahku, aku berada dibalikmu. Janganlah kamu boros terhadap hartamu. Janganlah kamu bermegah-megah dengan hartamu. Infakkanlah sebagian hartamu kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Aku rasa, kamu mengetahui mana yang baik untuk diberi. Ingatlah, ayat-ayat-Nya, ada tabel tentang orang-orang yang layak diberi.
Dan kamu, hai orang-orang miskin, janganlah bangga kalau diberi, kalau bisa kamu harus mengkayakan dirimu sendiri. Artinya, supaya orang-orang tidak merasa memberimu, karena kamu fakir-miskin. Tidakkah kamu mengetahui, bahwa orang yang memberi itu lebih baik dibanding orang menerima?
Kalau bisa, kalian, wahai rakyatku, bisa menginfakan hartamu kepada lembaga infak, biarlah orang-orangku yang membagikan hartamu. Bukannya kalian percaya kepada kepemimpinanku? Serahkanlah kepada kami. Insyallah, kami membagikan harta kalian.
Kami tampung harta kalian demi kepentingan rakyat sekalian. Rakyat yang bakal dirundung musibah yang tidak terduga. Yakni, sakit.
Bukannya sejauh ini, sakit begitu manja dan harga menuju kesana begitu sangat menggoda? Merogoh kocek kita, dan takut akan kesakitan. Atau jika orang-orang miskin maka akan lebih memilih, ‘jangan sakitkan aku!’ selalu seperti itu teriakannya. Sayangnya, takdir berkata lain. keluarga berkata lain.
Keluarga, tentu akan berusaha keras menyembuhkan mereka. berusaha menyembuhkan mereka. Sebabnya apa, sebabnya karena cinta, wahai rakyatku sekalian.
Oleh karenanya, wahai rakyatku, kalau kalian infak, alangkah baiknya di tempat kami. Tidakkah kamu melihat orang-orang kami yang perhatian kepada rakyat sekalian? Ketika ada yang sakit. Kami berburu untuk menjenguk. Kami memberikan harta-harta yang sekira perlu diberikan. Kami menyarankan supaya berhemat. Kami menyarankan supaya para tamu dilayani sepenuh hati.
Dan wahai orang-orang yang mengurusi orang yang sakit, kalian juga harus berhemat terhadap apa-apanya. Jika kami memberi makanan, serta penyediaan air minum. Keluarkanlah untuk para tamu yang menjengukmu. Sediakanlah air-panas, supaya tamu merasa dimuliakan. Muliakanlah tamu, seperti kamu memuliakanku. Apa bedanya tamu itu denganku? Jika kamu memuliakanku, muliakanlah rakyatku. Bukankah kebanyakan yang menjenguk adalah rakyatku?
Ingatlah, wahai rakyaktu sekalian, sekali lagi, jangan sampai kita tertimpu dengan arus dunia yang begitu menggoda. Termasuk kasih-kita. Cinta kita. Oleh karenanya, pasrahkan semuanya kepada Allah yang maha segala. Jangan kemilik dunia. Jangan tergiur akan dunia.
Dunia itu barang sedikit yang sedikit. Tidakkah kita sadari, rupa-rupanya umur kita mendekati mati? Oleh karenanya, berkasih-sayanglah diantara kita. Rukunlah diantara kita. Ingatlah, tetangga yang baik adalah sungguh sangat beruntung. Oleh karenanya, kita penting menjaga kebaikan ini. Menjaga solidaritas keberasamaan. Dengan cara agama.
Ya, tetaplah kalian, salat jamaah di tempat-tempat salat. Kalau ada yang tidak datang, kunjungilah. dan aku berlindung kepada Allah atas kemanusiaan. Aku disini, hanya menyampaikan wahai rakyatku. Aku pun tak penah tahu, kapan ajal tejadi.
Mati adalah sesuatu yang misterius. Sekali pun buatku. Bukannya tidak ada yang menduga kalau kita bisa saja mati dengan cepat? Memang baiknya kita berharap, mati tatkala tua. Tapi bagaimana kalau kita mati muda? Bukannya banyak dilingkungan kita yang mati muda? Mengapa kita masih bebal, bahwa mati adalah kehendak-Nya?
Oleh karena itu, teruslah perbaiki diri kalian. Siapa yang menebak, kalau setelah detik ini, kita akan mati? Jika hari ini, kita mati, dan kebetulan, kemarin kita melakukan sesuatu tindakan yang dimata masyarakat tidak baik. Maka, dalam pembicaraan kita adalah tentang ketidak baikkan.
Jika kita, berbudi baik, sopan, dan mencintai orang-orang, perhatian terhadap orang-orang. Maka, dalam pembicaran kematian kita adalah tentang kebaikan kita, tentang perhatian kita.
Memang selalu seperti itu, wahai rakyatku, orang yang mati kerap dibicarakan, dan bahkan menjadi artis dadakan. Tepatnya, kemulian adalah dari orang yang hidup, untuk orang hidup yang lain. Selalu seperti wahai rakyatku. Terakhir, cintailah orang-orang disekitarmu. Mudah-mudahan tempat kita menjadi pembicaran orang-orang. Akan ditiru tentang kebaikan kita. Allah maha mengetahui. Allah maha mendengar. Dan kepada Allah aku mohon ampun. Ya Allah tunjukilah kami sebagaimana Engkau memberi petujuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Belum selesai catatan dibaca. Dia keburu pergi mengunjungi rakyatnya. Melihat sekali lagi. Tentang apa-apa yang dicatatkan, adalah kenyataan yang terjadi. Dalam perjalanannya. Dia terus menasbihkan diri pada rabbi. Yang memang seharusnya: era sekarang, harus seperti ini: mendapati kemenangan dan islam sebagai batas dari keahlian.
Belum ada Komentar untuk "Membuka Catatan Lama"
Posting Komentar