Menuju Kemenangan

Mendadak kudengar azan. Azan itu merayap dalam telingaku. Terdengar jelas rayapannya. Menyelusuri otakku, menusuk jiwaku. Kali ini kutanggakap sang muazin, “hayya ngala falah.” Artinya, marilah menuju kemenang.

Kataku, “Aku benar-benar belum menuju kemenangan. Karena aku belum juga bergegas untuk menghampirinya, untuk menujunya, menuju rumah-Nya.”
***

Kau memintaku membuat cerita di depanmu. Kau tahu? Tanganku mendadak kaku untuk merangkaikan kata-kata. Sebab sepasang bola matamu menjerat otakku, untuk dituliskan serta dipertanya, “Cerita apa yang kamu ingini. Atau, apakah kau menyukai cerita tentang dua sejoli yang saling tersenyum karena cinta.

Ah, cinta memang melupakan segalanya. Hanya dia (yang dicinta) segalanya. Cinta memang, ah aku bahkan ingin tertawa sendiri tatkala menuliskan tentang cinta. Cinta memang membuat orang bagai gila. Ya, bagai gila. Tapi, benarkah begitu kenyataanya? Bahwa cinta memang mengabaikan segalanya, karena dia adalah segalanya.

Apakah itu yang kau ingin, kawan? Jawablah. Katakanlah. Tak perlu sungkan. Katakanlah. Cerita apa yang ingin kau lihat atau yang kau inginkan. Ketahuilah, didekatmu adalah telah menjelma cerita dalam pikiranku. Cukuplah bagiku mengenyangkan otakku. Karena darimu aku telah dihadapkan dengan cerita yang benar-benar cerita. Cerita realitas, bukan sekedar fantasi yang pada akhirnya membuatku tertawa. Bukannya fantasi menjadikan kita untuk bahagia? Bila aku disampingmu telah bahagia: mengapa harus menulis cerita untuk memuaskan jiwaku. Toh, telah kau ketahui, aku menulis sekedar menulis. Yang berarti memuaskan hasrat jiwaku. Selain itu...

“Ya. Aku memang egois.” Tegasku.

Aku egois karena aku ingin merdeka terhadap catatanku, tidak ada yang menghalangi kata-kataku yang terangkai. Tidak ada ekonomi, atau kecantikan kata-kata yang tersusun.

“Aku memang egois. Ya, begitulah kenyataanya.” Imbuhku tegas. “Please! Jangan menganggaku terhadap apa yang kuinginkan. Bahkan aku menulis seperti terpaksa olehmu. Sial. Kau benar-benar... ah..”

Aku menggeram yang terpendam dalam hati. Suaranya tidak keluar.

“Aku ingin tidur. Tidak. Tidak bisa: tubuhnya menggeliat dalam otakku, seakan-akan merayap untuk diajak bicara. Matanya. Ah, matanya seakan-akan... ah. Otakku benar-benar terasuki akan senyumnya. Senyumnya telah menjadi manusia nyata buat otakku.” Geramku tetap diam. diam seribu bahasa. Tapi bahasanya telah tertata dalam lembar A4.

Kau terkagum. Menaikan kursor. Dan membatin, “Aku telah membuat cerita pendek. Ya, benarkah aku telah membuat cerita pendek, pada saat suasana begitu sangat menjerat atara ya dan tidak. Antara paksaan dan dorongan.”

Sial. Mereka memaksa tapi mendorong. Ya. Kata-kata yang terbang dari bibirnya mendadak berubah menjadi kupu-kupu dalam otakku.

“Sumpal saja telingamu. Sumpal saja.” Suara hatiku berkata begitu.

“Apakah seegois itu aku? Tatkala ada mereka malah kusumpal telingaku.”

“Bukannya kamu telah mengakui bahwa kamu egois?”

“Pergilah! Menjauhlah, hai bisikan otakku.”

Dia naikan arah kursor ke atas. Turun lagi. Ke atas. Turun lagi. Karena mendadak mereka benar-benar mengejutkanku dengan mengakatan, “Takbir.” Maka aku pun membalas dan berkata, “Allahu akbar.” Mereka tertawa. Dia tertawa. Kami tertawa.

“Sesungguhnya aku tertawa dalam serabutnya darah yang menjalar dalam otakku. Antara membuat cerita dan mempertanya, “cerita apa?”

“Aku pulang dulu.” Katanya, undur diri. Kuhantar mereka sampai pintu. Kukatakan, “hati-hati.” Begitulah pertemuan kami, yang katanya mereka selepas menjadi pembicara organisasi, “KAMMI.”

**

Tatkala mereka pergi. Ruang menjadi sunyi. Tak ada melayang yang mudah ditangkap telinga. Tapi kini, masih terdengar samar-samar kau bernyanyi. Entah kau menyanyi apa. Pokoknya, menyanyi demi kepuasan hati. Seperti aku menulis siang ini hari. Demi puas hati aku menulis, walau sesungguhnya telah terjadi kekacaun dalam pikiranku. Tapi, apakah mereka mengetahui itu terjadi padaku?

Mereka tidak bisa menerobos dalam otakku. Tidak bisa.

Telah kuyakini, adalah sesuatu yang misterius berada didalam otak. Yang disana terdapat miliaran kata-kata yang tersendat. Ingin rasanya keluar, tapi untuk apa. Atau nanti dikira, tidak waras.

Ah aku tidak perduli. Dan menyanyi adalah sebagai standarisasi pengeluaran hal yang bermacam-macam. Karena menyanyi bebas dari hukum-hukum, tidak ada tuntutan untuk bersuci. Pokoknya bebas merdeka. Tidak ada yang melarang orang bernyanyi. Sekali pun suaranya cempreng dan tidak patut untuk didengar. Kalau pelan tidak ada yang melarang. Itulah yang jun nyayikan. Memang dia menyanyi utnutk dirinya sendiri. tapi aku, aku adalah saksi bahwa dia bernyanyi. Ya, dia bernyayi untukku. Setidaknya aku bisa mengatakan, “Dia menyayikan lagu spesial untukku. Sayangnya, aku tidak tahu, dia menyayikan lagu apa. Pokoknya, dia menyeruakan dan suaranya sedikit dieggok-enggokan, berbeda dengan berkata-kata. Bukannya menyanyi adalah suara yang dipanjang-pendekkan dan itu dibentuk, tidak monoton?”

Dan kini, ia telah pergi. Katanya simpel, “Kutinggal dulu, ya.”

“Oke.” Balasku singkat.

Sekarang, ruang menjadi sunyi. Tak ada kata-kata yang datang menghampiri. Mendadak kudengar azan. Azan itu merayap dalam telingaku. Terdengar jelas rayapannya. Menyelusuri otakku, menusuk jiwaku. Kali ini kutanggakap sang muazin, “hayya ngala falah.” Artinya, marilah menuju kemenang.

Kataku, “Aku benar-benar belum menuju kemenangan. Karena aku belum juga bergegas untuk menghampirinya, untuk menujunya, menuju rumah-Nya.” Aku lebih mengepentingkan menutupkan cerita pendekku. Imbuhku, “Cerpenku belum sampai puncak. Belum sampai ending. Mana mungkin aku menujunya. Tapi, arti dari seruan yang kudengar adalah marilah menuju kemenangan. Sial, aku masih kalah.”

“Maka. Perangilah... itu baru menuju, belum menang. Maka perangilah... ” tutupku kemudian.

16 JUNI 2013

Belum ada Komentar untuk "Menuju Kemenangan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel