Keadaan Religius






Di saat senja tiba, Kiekegaard datang kepada Gurunya, berkatalah, “Saya mau berkata, tentang gerakan islam di desaku,”

“Katakanlah,” kata gurunya, “Memangnya kenapa dengan agama islam di Wargomulyo?”

“Orang-orangnya…”

“Ada apa dengan orang-orangnya?” balas gurunya, cepat, “Kenapa dengan orang-orangnya?” tambahnya, “Dan apa yang hendak kamu bicarakan sesungguhnya?”

“Ah maaf, Aku tidak jadi membicarakannya,” mendadak Kiekegaard terhenti. Terhenti untuk membicarakan keagamaan yang ada di luar jangkauan dirinya, yakni sekelas desa. Sekelas desa, tentu saja besar. Besar sekali. Dan batasan apa untuk mencari solusi dari masalah yang ada di desa; apalagi berkaitan dengan orang-orangnya, yang tentu saja, saat berkaitan dengan personal orang yang beragama, tentu saja membicarakan tentang keadaan sosial dan individual personal. Kiekegaar khawatir bakal di tanyakan, memangnya kamu bagaimana? Bukankah kamu juga orang yang beragama? kamu juga bagian dari orang-orang tersebut? atau, kau akan mendeskripsikan keagamaan di desamu: sekedar mengabarkan perihal gerakan-gerakan umum yang ada di desa, semacam gerakan harian sampai mingguan, hingga tahunan acara-acara yang beratas namakan agama. itu wajar, Kiekegaard. Di Negeri yang sarat dengan religious, itu wajar. Wajar jika mempunyai acara harian, mingguan, bulanan dan tahunan, itu wajar.

Namun di dalam pemikiranmu, laksana mengharapkan bahwa orang-orang benar-benar memahami perihal kegamaan itu. benar-benar memahami terhadap kepentingan agama itu. benar-benar memahami arah dari keagamaan itu. dan tugasmu ialah mengopyak mereka untuk masuk ke arah: kepemahaman. Sekedar mengarahkan. Dan caranya, kau membuat issu terhadap kekurangan pengetahuan. Caranya, kau berusaha berdialog dengan orang-orang yang berkaitan dengan keagamaan. Padahal hidup, sebagaimana kau ketahui, tidak hanya berkaitan dengan keagamaan, melainkan ada system-sistem lain yang terikat pada individu-individu tersebut.

“Katakanlah,” kata gurunya. “Aku mendengar apa yang kau pikirkan?”

Kiekegaard membuang napasnya. Lalu menyentuh dadanya.

“Tidak! Pada akhirnya, aku sendiri adalah orang yang beragama. Aku sendiri yang tidak serealistis itu menjalani kehidupan yang itu sebagai orang yang beragama. Aku sendiri yang kurang luas cakupannya untuk menilai totalitas dari keagamaan, bahwasanya hidup itu tidak hanya berhubungan dengan agama; melainkan sosial dan mempertahankan individu. Ya! Pada akhirnya, akulah yang kurang-tepat pada kasus ini. akulah yang kurang tepat.”

“Ah aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan: mengapa juga kau merasa kurang tepat? Mengapa juga kau memikirkan tentang agama yang ada di desamu? Bolehkan aku mendengar alasannya?” tanya gurunya.
“Aku kurang cerdas terhadap keagamaan, sehingga pemikiranku menjadi seperti ini; aku kurang cerlang terhadap status keagamaan, sehingga aku tidak mempunyai kedudukan yang berkaitan dengan keagamaan, yang itu mempunyai kesempatan untuk membicarakan keagamaan. Sayangnya, aku senantiasa berlindung di atap keagamaan, dan kata orang, aku terkesan orang yang mampu terhadap keagamaan, dan ukuran mereka; karena aku menjalankan keagamaan. aku mendatangi ke masjid, setiap hari; aku mendatangi pengajian, hampir-hampir setiap hari dan aku mengikuti kegiataan yang ada di masjid, tiapan hari. Itulah yang menjadikan diriku berkesan orang yang mampu beragama. sayangnya, aku tidak secerdas itu, aku tidak mempunyai ‘kedudukan’ keagamaan, yang menyatakan aku harus berbicara berkaitan dengan keagamaan. dan itu berhubungan dengan masyarakat desa, sebabnya, keputusan masjid bakal bersinggungan dengan masyarakat desa; bakal mempengaruhi gelegat desa. Sebab dari Masjid ini, ada jalinan-jalinan yang berhubungan dengan desa.

Aku katakan, bahwa ketika panen tiba; orang-orang diwajibkan membayar iuran untuk masjid atau langgar. Mereka membayar itu. lalu di saat ada acara hari besar keagamaan, rakyat dikenai sesuatu untuk iuran, untuk mengikuti acara. Bersamaan dengan itu, aku melihat gelegat-gelegat orang ini sangat religious; tapi mereka ternyata tidak seakrab itu berkaitan dengan kekeluargaan… ah entalah, pemikiranku tidak jelas. Banyak manusia yang beragama tidak seakrab itu kepada manusia lainnya, anak-anak yang berstatuskan agama tapi tidak saling dukung mendukung perihal keilamuan… ah entahlah. Pemikiranku tidak jelas. Mohon maaf.”

Pak Guru itu mengangguk-anggukan kepala. Lalu berkata, “Kalau kau sudah tahu tentang kedudukanmu. Artinya, kedudukan siapa dirimu. Yang itu sekedar menjadi orang yang mengikuti. Orang yang berada dalam system. Orang yang pelajar. Maka mengapa kamu tidak tempatkan dirimu menjadi orang yang seperti kamu ketahui?”

“Ya! Itulah kurang-tepatnya diriku. Kurang tepatnya diriku menempatkan ‘keakuanku’,” jawab kiekegaard, yang diam-diam berupaya untuk menjawab soal-soal yang diketahuinya: titik tekan pada hal ini adalah tentang pengetahuan dan gerakan pengetahuan; bahasa mudahnya, kelemahan dari manusia zaman sekarang, terlebih lagi di desa ialah, ilmu dan amal. Digandeng. Ilmu dan amal. Ilmu yang itu sangat beragam: yakni ilmu yang menyentuh totalitas masyarakat, dan agama itu berperan aktif terhadap masyarakat, dan amal yang itu sangat-sangat menyentuh totalitas masyarakat. Amal yang murni. Amal yang bertujuan sama-sama pada prinsip yang sama. Amal yang bukan untuk membanggakan diri, amal yang bukan untuk pamer tentang ‘baju’, ‘keadaan’ dan lain-lainnya; melainkan amal yang murni bahwa mencari rindho Tuhan.

“Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?” kata Gurunya.

“Aku akan melakukan sebagaimana aku melakukan. Hanya saja, aku harus ‘waspada’ dengan pemikiranku sendiri. sebab aku sering mengerjakan ‘amal’, dan aku harus mewaspadai amalku itu; tidak harus dikumuhi tentang sesuatu yang itu bukan tujuan amalku. Artinya, tetap menjalankan sebagaimana biasa, hanya saja niatnya. Niatnya itu yang penting didadani. Setelah niat di dandani. Kedua, pemikiranku. Pemikiranku penting aku awasi. Supaya tidak terburu untuk untuk memikirkan sesuatu yang itu bukan menjadi tanggung jawabku, melainkan sekedar menjalankan yang itu tanggung jawabku. Artinya, aku membiarkan keadaan yang terjadi apa adanya; membiarkan orang-orang ‘pemegang hak’ menjalankan fungsinya. Bahasa lainnya, mungkin aku menghindar. Tapi lebih tepatnya, aku tidak menghindar, melainkan menjalankan tugas yang itu ialah tugasku. Hanya itu.”


“Baguslah kalau begitu. Jadilah dirimu sendiri sesuai kedudukanmu,” kata Gurunya. “Sekarang, kembalilah.”

“Baiklah,” kata Kiekegaard yang mengundurkan diri. Dan setibanya di rumah, ia langsung berperan selayaknya dirinya sendiri. Dengan mempertimbangkan dua hal: pelurusan niat dan mewaspadai pemikiran. 

Saat azan berkumandang, segeralah ia menjalankan kaki menuju Masjid. Kiekegaard tersenyum. Sebab di dalam pemikirannya berkata, “Ternyata dan agaknya, lama-lama niatan awalku yang sekedar menunaikan ibadah terganggu oleh kepentingan ‘penilaian manusia’ dan berharap untuk dinilai, yang kemudian membekas menjadi: kebutuhan untuk ada,” batinnya saat menjalankan kaki, sebab jaraknya tidak begitu dekat, maka ada kesempatan untuk berpikir lebih,

“Ternyata kebutuhan untuk ada itu. Menggangu pemikiranku. Tentu saja, itu terjadi tidak begitu saja. Awalnya memang biasa, niatannya murni dan hal itu terjadi, karena tidak ada yang mengetahuiku, tidak ada yang mengenalku lebih. Ketika aku semakin terbiasa di masjid, maka orang-orang yang terbiasa di masjid semakin mengenaliku. Hasilnya, kalau aku tidak ke masjid, aku ditanyakan. Begitu juga dengan dirinya, kalau tidak ke masjid: aku menanyakan. Bahkan aku mendatanginya, alasannya aku muda aku punya tenaga. Entahlah di dalam pemikiranku, mereka—orang yang terbiasa di masjid itu—menjadi semacam teman; selintas aku laksana tidak mengerti apa perbedaanku dengannya, seakan sama; yakni manusia yang beribadah, lebih-lebih ketidak-hadiran ia ke masjid menjadikan diriku bertanya-tanya dan menganggu pemikiranku, hasilnya: aku mendanginya. Dan keadaan itu, lama-lama, malah menggoda pemikiranku, yakni pemikiranku tergoda untuk ‘ada.’ bahkan ada yang lebih! Lebih untuk orang-orang untuk taat kepada Tuhan, taat yang itu dibuktikan untuk mendatangi masjid. Artinya, gerakanku menjadi kaku perihal praktek keagamaan. karena aku menahan itu, akhirnya aku mencari cara untuk orang mampu menuruti ideku. Itulah sebabnya, aku mencari cara. Namun, itu semua malah menjadikanku ‘ambisi’ atau berharap lebih untuk dikalim menjadi gayanya ‘pahlawan’ keislaman. Gayanya, menjadi orang yang ‘berjuang’ di jalan keagamana; tujuannya, supaya setiap individu merasakan ikatan. Seperti halnya diriku. Namun itu semua, sekarang, malah menganggu pemikiranku. Menganggu memurnikan tujuanku. Sudahlah!” Tutup Kiekegaard.


20 18

Belum ada Komentar untuk "Keadaan Religius"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel