Keadaan Religius
Selasa, 28 Agustus 2018
Tambah Komentar
Di saat senja tiba, Kiekegaard datang kepada Gurunya,
berkatalah, “Saya mau berkata, tentang gerakan islam di desaku,”
“Katakanlah,” kata gurunya, “Memangnya kenapa dengan
agama islam di Wargomulyo?”
“Orang-orangnya…”
“Ada apa dengan orang-orangnya?” balas gurunya, cepat,
“Kenapa dengan orang-orangnya?” tambahnya, “Dan apa yang hendak kamu bicarakan
sesungguhnya?”
“Ah maaf, Aku tidak jadi membicarakannya,” mendadak
Kiekegaard terhenti. Terhenti untuk membicarakan keagamaan yang ada di luar
jangkauan dirinya, yakni sekelas desa. Sekelas desa, tentu saja besar. Besar
sekali. Dan batasan apa untuk mencari solusi dari masalah yang ada di desa;
apalagi berkaitan dengan orang-orangnya, yang tentu saja, saat berkaitan dengan
personal orang yang beragama, tentu saja membicarakan tentang keadaan sosial
dan individual personal. Kiekegaar khawatir bakal di tanyakan, memangnya kamu
bagaimana? Bukankah kamu juga orang yang beragama? kamu juga bagian dari
orang-orang tersebut? atau, kau akan mendeskripsikan keagamaan di desamu:
sekedar mengabarkan perihal gerakan-gerakan umum yang ada di desa, semacam
gerakan harian sampai mingguan, hingga tahunan acara-acara yang beratas namakan
agama. itu wajar, Kiekegaard. Di Negeri yang sarat dengan religious, itu wajar.
Wajar jika mempunyai acara harian, mingguan, bulanan dan tahunan, itu wajar.
Namun di dalam pemikiranmu, laksana mengharapkan bahwa
orang-orang benar-benar memahami perihal kegamaan itu. benar-benar memahami
terhadap kepentingan agama itu. benar-benar memahami arah dari keagamaan itu.
dan tugasmu ialah mengopyak mereka untuk masuk ke arah: kepemahaman. Sekedar
mengarahkan. Dan caranya, kau membuat issu terhadap kekurangan pengetahuan.
Caranya, kau berusaha berdialog dengan orang-orang yang berkaitan dengan
keagamaan. Padahal hidup, sebagaimana kau ketahui, tidak hanya berkaitan dengan
keagamaan, melainkan ada system-sistem lain yang terikat pada individu-individu
tersebut.
“Katakanlah,” kata gurunya. “Aku mendengar apa yang
kau pikirkan?”
Kiekegaard membuang napasnya. Lalu menyentuh dadanya.
“Tidak! Pada akhirnya, aku sendiri adalah orang yang
beragama. Aku sendiri yang tidak serealistis itu menjalani kehidupan yang itu
sebagai orang yang beragama. Aku sendiri yang kurang luas cakupannya untuk
menilai totalitas dari keagamaan, bahwasanya hidup itu tidak hanya berhubungan
dengan agama; melainkan sosial dan mempertahankan individu. Ya! Pada akhirnya,
akulah yang kurang-tepat pada kasus ini. akulah yang kurang tepat.”
“Ah aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan: mengapa
juga kau merasa kurang tepat? Mengapa juga kau memikirkan tentang agama yang
ada di desamu? Bolehkan aku mendengar alasannya?” tanya gurunya.
“Aku kurang cerdas terhadap keagamaan, sehingga
pemikiranku menjadi seperti ini; aku kurang cerlang terhadap status keagamaan,
sehingga aku tidak mempunyai kedudukan yang berkaitan dengan keagamaan, yang
itu mempunyai kesempatan untuk membicarakan keagamaan. Sayangnya, aku
senantiasa berlindung di atap keagamaan, dan kata orang, aku terkesan orang
yang mampu terhadap keagamaan, dan ukuran mereka; karena aku menjalankan
keagamaan. aku mendatangi ke masjid, setiap hari; aku mendatangi pengajian,
hampir-hampir setiap hari dan aku mengikuti kegiataan yang ada di masjid,
tiapan hari. Itulah yang menjadikan diriku berkesan orang yang mampu beragama.
sayangnya, aku tidak secerdas itu, aku tidak mempunyai ‘kedudukan’ keagamaan,
yang menyatakan aku harus berbicara berkaitan dengan keagamaan. dan itu
berhubungan dengan masyarakat desa, sebabnya, keputusan masjid bakal
bersinggungan dengan masyarakat desa; bakal mempengaruhi gelegat desa. Sebab
dari Masjid ini, ada jalinan-jalinan yang berhubungan dengan desa.
Aku katakan, bahwa ketika panen tiba; orang-orang
diwajibkan membayar iuran untuk masjid atau langgar. Mereka membayar itu. lalu
di saat ada acara hari besar keagamaan, rakyat dikenai sesuatu untuk iuran,
untuk mengikuti acara. Bersamaan dengan itu, aku melihat gelegat-gelegat orang
ini sangat religious; tapi mereka ternyata tidak seakrab itu berkaitan dengan
kekeluargaan… ah entalah, pemikiranku tidak jelas. Banyak manusia yang beragama
tidak seakrab itu kepada manusia lainnya, anak-anak yang berstatuskan agama
tapi tidak saling dukung mendukung perihal keilamuan… ah entahlah. Pemikiranku
tidak jelas. Mohon maaf.”
Pak Guru itu mengangguk-anggukan kepala. Lalu berkata, “Kalau kau sudah tahu tentang kedudukanmu. Artinya, kedudukan siapa dirimu. Yang itu sekedar menjadi orang yang mengikuti. Orang yang berada dalam system. Orang yang pelajar. Maka mengapa kamu tidak tempatkan dirimu menjadi orang yang seperti kamu ketahui?”
“Ya! Itulah kurang-tepatnya diriku. Kurang tepatnya
diriku menempatkan ‘keakuanku’,” jawab kiekegaard, yang diam-diam berupaya
untuk menjawab soal-soal yang diketahuinya: titik tekan pada hal ini adalah
tentang pengetahuan dan gerakan pengetahuan; bahasa mudahnya,
kelemahan dari manusia zaman sekarang, terlebih lagi di desa ialah, ilmu dan
amal. Digandeng. Ilmu dan amal. Ilmu yang itu sangat beragam: yakni ilmu yang
menyentuh totalitas masyarakat, dan agama itu berperan aktif terhadap
masyarakat, dan amal yang itu sangat-sangat menyentuh totalitas masyarakat.
Amal yang murni. Amal yang bertujuan sama-sama pada prinsip yang sama. Amal
yang bukan untuk membanggakan diri, amal yang bukan untuk pamer tentang ‘baju’,
‘keadaan’ dan lain-lainnya; melainkan amal yang murni bahwa mencari rindho
Tuhan.
“Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?” kata
Gurunya.
“Aku akan melakukan sebagaimana aku melakukan. Hanya
saja, aku harus ‘waspada’ dengan pemikiranku sendiri. sebab aku sering mengerjakan
‘amal’, dan aku harus mewaspadai amalku itu; tidak harus dikumuhi tentang
sesuatu yang itu bukan tujuan amalku. Artinya, tetap menjalankan sebagaimana
biasa, hanya saja niatnya. Niatnya itu yang penting didadani. Setelah niat di
dandani. Kedua, pemikiranku. Pemikiranku penting aku awasi. Supaya tidak
terburu untuk untuk memikirkan sesuatu yang itu bukan menjadi tanggung jawabku,
melainkan sekedar menjalankan yang itu tanggung jawabku. Artinya, aku
membiarkan keadaan yang terjadi apa adanya; membiarkan orang-orang ‘pemegang
hak’ menjalankan fungsinya. Bahasa lainnya, mungkin aku menghindar. Tapi lebih
tepatnya, aku tidak menghindar, melainkan menjalankan tugas yang itu ialah
tugasku. Hanya itu.”
“Baguslah kalau begitu. Jadilah dirimu sendiri sesuai
kedudukanmu,” kata Gurunya. “Sekarang, kembalilah.”
“Baiklah,” kata Kiekegaard yang mengundurkan diri. Dan
setibanya di rumah, ia langsung berperan selayaknya dirinya sendiri. Dengan
mempertimbangkan dua hal: pelurusan niat dan mewaspadai pemikiran.
Saat azan berkumandang, segeralah ia menjalankan kaki
menuju Masjid. Kiekegaard tersenyum. Sebab di dalam pemikirannya berkata,
“Ternyata dan agaknya, lama-lama niatan awalku yang sekedar menunaikan ibadah
terganggu oleh kepentingan ‘penilaian manusia’ dan berharap untuk dinilai, yang
kemudian membekas menjadi: kebutuhan untuk ada,” batinnya saat menjalankan
kaki, sebab jaraknya tidak begitu dekat, maka ada kesempatan untuk berpikir
lebih,
“Ternyata kebutuhan untuk ada itu. Menggangu
pemikiranku. Tentu saja, itu terjadi tidak begitu saja. Awalnya memang biasa,
niatannya murni dan hal itu terjadi, karena tidak ada yang mengetahuiku, tidak
ada yang mengenalku lebih. Ketika aku semakin terbiasa di masjid, maka
orang-orang yang terbiasa di masjid semakin mengenaliku. Hasilnya, kalau aku
tidak ke masjid, aku ditanyakan. Begitu juga dengan dirinya, kalau tidak ke
masjid: aku menanyakan. Bahkan aku mendatanginya, alasannya aku muda aku punya
tenaga. Entahlah di dalam pemikiranku, mereka—orang yang terbiasa di masjid
itu—menjadi semacam teman; selintas aku laksana tidak mengerti apa perbedaanku
dengannya, seakan sama; yakni manusia yang beribadah, lebih-lebih
ketidak-hadiran ia ke masjid menjadikan diriku bertanya-tanya dan menganggu
pemikiranku, hasilnya: aku mendanginya. Dan keadaan itu, lama-lama, malah
menggoda pemikiranku, yakni pemikiranku tergoda untuk ‘ada.’ bahkan ada yang
lebih! Lebih untuk orang-orang untuk taat kepada Tuhan, taat yang itu
dibuktikan untuk mendatangi masjid. Artinya, gerakanku menjadi kaku perihal
praktek keagamaan. karena aku menahan itu, akhirnya aku mencari cara untuk
orang mampu menuruti ideku. Itulah sebabnya, aku mencari cara. Namun, itu semua
malah menjadikanku ‘ambisi’ atau berharap lebih untuk dikalim menjadi gayanya
‘pahlawan’ keislaman. Gayanya, menjadi orang yang ‘berjuang’ di jalan
keagamana; tujuannya, supaya setiap individu merasakan ikatan. Seperti halnya
diriku. Namun itu semua, sekarang, malah menganggu pemikiranku. Menganggu
memurnikan tujuanku. Sudahlah!” Tutup Kiekegaard.
20 18
Belum ada Komentar untuk "Keadaan Religius"
Posting Komentar