Jalan Buku




“Kukurimkan naskah buku ke percetakan,” aku membela.



Imbuhku, “Bila pada percetakan pertama di tolak, akan kupindah tempatkan ke percetakan yang lain. Bila ditolak lagi, akan kupindah-tempatkan ke percetakan yang lain lagi, begitulah seterusnya. Keinginanku—harapanku—aku akan selalu eksist dalam menyajikan karya, menyiapkan karya-karya lain yang tentu lebih berkembang dari pendahulu. Lebih memiliki kaki untuk melangkah, lebih terarah misi penulisku.



Adalah setiap penulis mempunyai misi di dalam kalbunya.



Ya, siapakah penulis yang tidak mempunyai tujuan dengan tulisannya? Sekali pun ia menulis tentang apa-pun ia mempunyai tujuan— “maaf,” aku menggalak, “hal tersebut bukan didedikasikan kepada pelajar—maksudnya, anak-anak yang sedang dalam tahap belajar, sebab biasanya, anak menulis adalah bahwa ia terpaksa untuk menulis, artinya bahwa kewajibannya menulis, walau pada akhirnya dan semestinya anak tersebut mempunyai tujuan, yakni, apa yang ditulisnya kelak akan menjadi bahan pengingat untuk masa ujian. Sesungguhnya begitulah tujuan anak (pelajar) menulis, namun terkadang ia tidak mengetahui. Maka kataku, ‘hai para pelajar— bagus-baguskanlah dalam menulis, sesungguhnya apa yang kalian tulis kelak akan berguna bagimu: dan percayalah,



Jika engkau berupaya keras meraih ilmu, maka dari apa yang akan dipelajari bisa dijadikan buku—artinya, apa-apa yang, misal, besok akan disampaikan gurumu—sebelumnya, karanglah kejadian tersebut. tulis apa-apa yang ada di dalam otak kepalamu terhadap pelajaran apa yang melekat di dalamnya. Sesungguhnya apa-apa adalah ilmu tentang daya ingat.



Perhatikanlah umpama yang kuuraikan,



Nabi muhammad: Beliau berupaya keras untuk mengingat apa-apa yang disampaikan Allah melalui malaikat yang utus-Nya. Bukannya sebelum beliau menyampaikan kepada seorang ia berusaha mengingat apa yang malaikat sampaikan padanya?



Selain itu,



Perhatikanlah kitab hadist, di sana adalah bukti nyata kuatnya ingatan manusia. Ya, tidakkah diperhatiakan bahwa kitab hadist adalah dari, dari, dari, yang menunjukan bahwa orang itu bertemu itu, itu, dan itu. dengan kata lain, orang itu harus kuat ingatannya, sehingga terciptalah sebuah hadist yang benar. Ini secara akal-akan akan ketemu. walau kualitas hadist sohih adalah mempertanyakan siapakah pencerita hadist tersebut? dan bagaimana dengan akhlaknya dahlukm? Dan bagaimanakah tentang kehidupannya?



Lebih dari itu,



Al-quran. Al-quran yang ada sampai sekarang ini adalah berkat orang-orang yang menghafalnya (ini diluar bahwa allah-lah yang menjaga al-quran di muka bumi). Bukannya di masa nabi al-quran tidak dibukukan? Dan bukannya di zaman Ustman bin Affan al-quran baru dibukukan? Dan itu adalah berkat orang-orang yang kuat hafalannya.



Dari ketiga umpama tersebut, sudahkah meresap dihatimu, wahai pelajar? Dan adalah penting bagikau mengimbuhi tentang umpama untuk lebih menguatkan wawasanmu, juga wawasanku:



Ya, tidak bakal habis orang membagi ilmunya kepada orang lain, yang ada adalah bakal bertambah tentang ilmunya bagi dirinya sendiri. itulah yang benar-benar kurasakan. Maka, janganlah sungkan membagi ilmumu kepada orang lain, sesungguhnya penyampaian ilmu bisa melalui beberapa cara, ya, tidak hanya dengan menulis saja. tapi tujuanku menulis adalah menguatkan diriku pada apa yang kutuju.”



“Memangnya,” seorang penasaran denganku, “Apa yang kamu tuju terhadap tulisanmu?”



“Mungkin sulit bagimu untuk percaya, tujuanku adalah ingin lebih mendekatkan diri pada-Nya,” jawabku.



“Bukannya Dia telah berfirman yang intinya, ia dekat sekali dengan kita?”



“Benar, tapi aku ingin lebih dekat dengan-Nya,”



“Haruskan dengan menulis?” desaknya begitu penasaran.



“Ya,”



“Alasan apa yang bisa kamu berikan padaku?”



“Tidak ada alasan,”



“Mengapa?”



“Benarkah cinta membutuhkan alasan?”



“Jadi kamu sedang jatuh cinta?”



“Mungkin,”



“Mengapa mungkin?”



“Karena aku,”



“Karena apa?”



“Karena aku ingin. Ya, ingin saja,”



“Jadi, kamu tidak mempunyai tujuan selain ingin saja?”



“Bukannya telah kukatakan bahwa tujuanku lebih dekat dengan-Nya?”



“Baiklah, aku terima tujuanmu. Jika boleh, berikan dasar-dasarmu dengan tujuanmu,”



“Tidak boleh,”



“Megapa tidak boleh?”



“Bukannya kamu mengatakan ‘jika boleh,’ maka kukatakan tidak boleh: apakah aku salah?”



“Baiklah. Ajari aku lebih dekat dengan-Nya melalui menulis?”



“Sepengetahuanku,” jawabku lirih sambil mengagukan kepala sekali, “Jika kata adalah doa, maka aku adalah seorang pendoa. jika kata adalah rangkaian yang akan dipertanggung jawabkan, maka aku mempersiapkan tentang tanggung jawabku. Jauh lebih tepatnya, aku ingin mengumpulkan catatan di dunia, bila kelak di akhirat telah kuketahui tentang sebagain catatanku—sehingga, aku tidak begitu terkejut terhadap apa-apa tentang catatan hidupku. Memang, tidak banyak—tapi, seenggaknya aku mengetahui sedikit tentang catatanku.”



“Lalu,” ia ketagian dengan jawabku, seakan-akan ia ingin mendapati jawaban yang lebih atau ingin mendapati jawaban yang lain.



“Ketahuilah (dalam hati pun aku berkata, “Orang ini ingin mengetahui tentang rezeki dari perbukuan, ya, orang ini bagai menguji mulutku untuk berbicara tentang pendadapatan finansial dari menulis), dengan membuat buku, beberapa buku, akan mengalirlah uang dengan sendirinya. Ya, artinya, buku belajarku pun bisa menjadi uang bila dijadikan buku. Bayangkan, bila harga satuan buku adalah adalah 100 ribu, maka biasanya penulis mendapatkan sekitar 10 % atau 15 % dari satuan buku. dan taruklah, ketika buku dicetak dalam jumlah 500 buah buku. bila laku semua, maka tambahkanlah sendiri berapa pendapatanku? Itu baru satu buku.



Bila aku mempunyai 10 buku dalam satu tahun, maka kalikanlah berapa jumlah pendapatan finansial yang kudapat?”



“Mungkinkah dalam 1 tahun menyiapkan 10 buku?”



“Jangankan 10, satu hari pun bila Allah menghendaki jadilah 1 buku.”



“Kurasanya, percakapan ini begitu apik—sebab apiknya, aku khwatir tidak bisa merangkum tentang percakapan ini: aku khawatir, percakapan ini, hilang begitu saja dalam otakku, maka aku pamit undur diri,” katanya menyimpulkan dan mengimbuhi, “Berilah kalimat penutup untukku?”



“Dengan menulis, membuat buku, kita akan mengetahui tentang ilmu yang luas, dan semakin mengakui bahwa kita termasuk orang yang diberi pengetahuan melainkan sedikit,” tutupku dan ia segera pergi meninggalkan tempat duduknya.



Ia keluar. Melangkahkan kaki, dan tepat di depan pintu: terpampanglah bias mentari yang indah memukau mata: adalah mega kuning menerangkan seluruh tatapan matanya, ia berusaha jalan pelan menuju matahari sambil memejamkan mata, bertasbih dan menyerah diri. Katanya, “Telah kukurimkan naskah pujian untuk-Mu, yang kapan akan dicetakkan untukku di surga-Mu, ya Tuhanku?”

Belum ada Komentar untuk "Jalan Buku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel