Tentang Guru: Suara Yang Menyusup Tubuh
Jumat, 20 Januari 2017
Tambah Komentar
Aku sangat yakin, tatkala mendengar Pak Guru berkata-kata secara biasa—bicara--, maka terdengar ‘biasa’ saja. Sangat biasa. Terdengar ringan. Sangat ringan. Ya, aku kerap mendengar (memperhatikan, mengamati dengan seksama) apa yang dikatakan. Tidak ada rasa getar sama sekali, tidak ada efek sama sekali. Tapi tatkala sedang mengaji, tepatnya malam ini. Aku hanya betapa terharu dengan suara yang keluar dari bibirnya.
Suara itu menyusup, nyelinap, laksana hujan panah, menyerang akal dan hatiku.
Tapi malam ini, lebih heboh, sangat heboh, dan itu tidak kusangka sebelumnya, sangat tidak kuduga sebelumnya. Merasakan kehebohan tersebut, seketika mengantarkanku (mengajakku berpikir, mengenang) pada Pak Haidar: kalimatnya, bagaimana kehebohan tatkala bersama dengannya (Haidar)? Bagaimana? Aku tidak pernah tahu, sepertikah mengaji malam ini, sangat mengejutkan hatiku?
Mengejutkan batinku. Katanya, “Kamu tercekik (laksana leher di cekik karena beliau membacakan kitab—tafsir jalalain), kawanku,” batinku terharu dengan kejadianku.
Dan aku hanya diam, sangat diam.
“Kamu merasa bahwa kamu begitu haus karena mendengar kata-katanya?” tambahnya kemudian.
Memang, malam ini, pengajianku, serasa tenggorokanku tercekik. Aku selalu berusaha menelan lidah. Aku dipaksa sangat kehausan. Pokoknya, ingin minum air.
Tubuhku memang tidak panas dingin, yang ada adalah gerah, panas, kemringat. Tapi ini sesuatu yang lain dibanding biasanya. Sampai-sampai aku bertanya, “Ilmu apa yang engkau gunakan sehingga membuatku, berperasaan entah.”
Pokoknya, malam ini, perasaaanku entah:
Sedih bukan karena senang.
Senang bukan karena terluka.
Terluka bukan karena sedang ngaji.
Gembira bukan karena laksana tercekik.
Tercekik bukan karena sedang ngaji.
Dapat dikatakan aku senang, tapi faktanya leherku bagai dicekik. Aku merasa kehausan. Sangat. Tenggorokanku laksana di sumbat, wal-hasil ‘udara’ atau napas sulit diolah.
Mengaksarai kitab sudah tidak penting.
“Ilmu apa yang engkau gunakan?” kejarku. Tapi aku selalu tidak bisa berkata-kata. Napasku tidak menentu. Hatiku terserang. Serangan suaranya, menyerang otakku. Aku lepas peci. Aku tidak tahan sikap ini: haus, sampai hati, sampai pikiran. Aku datangi kamar mandi. Aku haus. Aku kehausan.
“Ngaji apa ini?” kejarku sembari gembira bersamanya. Aku dehem-dehem di luar. Mengumpulkan air untuk kutelan. Aku tenggarkan dada, melapang-lapangkan, supaya mudah bernapas. Dari leher ke hidung—jalurnya napas, maka ke sampai ke dada. Atau mungkin, yang diserang ‘dada’ lalu ke leher hingga berefek ke ‘hidung’ selanjutnya: dipikirkan.
“Wahai kawanku, sesungguhnya rasa ini sulit kamu terima, karena ini dunia misteri, karena rasa adalah sebuah misteri, dan kamu akan mengetahui kalau kamu merasakan apa yang kusampaikan,” seruku dalam hati.
Aku mengaguk dengan pasti. Kuudarkan tasbih beberapa kali. Aku tak pernah aku mengaji sedahsyat ini, bagai tercekik leher dan kehausan karena mendengar ‘kata-kata’.
Aku datang kembali.
Masih juga leher bagai tecekik, aku tarik-tarik kulit leherku dengan harapan lebih mudah menelan lidah. Jalur perederan ludah, termuluskan. Di luar, aku telah mengantop-antopkan diriku, supaya lebih mudah menelan lidah.
Aku hanya terharu dengan apa yang terjadi, begitu sangat memuji Pak Guru dengan ilmunya, Pada-Nya, Allah segala puji diserahkan. Mendadak aku teringat, kitab yang kerap dia pengang, dia memegang kitab Qub al-qulub: karangan Abu Talib. Sektor hati, tentang sufi.
Kali ini aku begitu sangat memuji ilmu Pak Guru: pokoknya ilmu keislamanan. Aku sangat yakin, tatkala mendengar dia berkata-kata biasa (bicara, atau menerangkan), beliau tidak seganas mengaji (membacakan kitab).
Mengaji itu sangat sangar sekali, kataku.
“Benar, wahai kawanku, bagaimana aku menjelaskan sangarnya beliau?” kataku seketika, kecuali engkau mendengar sendiri pengajiannya. Tapi, mendadak aku curiga, bahwa tatkala engkau mengaji belum tentu merasakan apa-apa yang kurasakan. Maksudnya, aku tidak yakin 100 % , bahwa tatkala orang mengaji, merasakan apa yang kurasakan.
Bisa jadi, aku adalah santri spesialnya, sangat terspesialkan. Dan ilmunya adalah sangat spesial untukku, begitu sangat spesial untukku. Karena memang, aku juga begitu sangat menspesialkan dia dalam hatiku: entahlah bagaimana aku menspesialkan. Pokoknya, aku kerap merindukan beliau. Tapi entahalah.
Namun, bisa jadi orang-orang bakal mendekatinya dan merasakan tentang apa yang kurasakan karena kemarin aku pernah memimpikannya.
Inti cerita adalah tentang ular, bukan sekedar ular, tapi ular sanca. Kalau tidak salah, awalnya aku melakukan perjalanan ke tempatnya, aku melihat ular sanca bakal menyembur diriku. aku hanya mengusir. Mendadak aku pergi ke tempat lain, masjid, di halaman masjid aku melihat ular yang sama, ular yang mengicar diriku. Aku usir lagi ular tersebut. Sekedar mengusir. Seketika itu aku langkahkan kaki dengan cepat mendatangi rumah Pak Guru, aku telah melihat bahwa beliau sedang mengajari orang-orang (para-santri), mendadak, tanpa alasan yang tidak jelas, beliau menanggalkan dam masuk ke kamarnya sembari berkata,
“Usir mereka... Usir mereka...” katanya sembari membaringkan tubuhnya. Telungkup.
Isterinya mendekatinya. Terharu sendiri dengan apa yang terjadi. Heran. Aneh. Dan tanpa komprom aku masuk ke rumahnya, sembari mengusir ular-ular tersebut, sekedar mengusirnya, lalu dengan cepat menuju kamar. Lalu merangkul tubuh beliau, aku (agaknya) sembari melinangkan airmata.
Aku sangat yakin, sangat yakin bahwa aku dan beliau belaka yang mengetahui ular tersebut. Hanya aku belaka yang mengetahui ular-ular itu berada disini. Banyak sekali. Banyak sekali. Ular sanca yang sekali gigit katanya dapat mematikan. Mending kalau sedikit, banyak sekali. Banyak sekali.
Aku lupa, ending dari mimpi bagaimana kecuali aku berada dikamarnya, dan berusaha mengusir ularnya.
Karena sangking penasaran aku buka catatan tafsir mimpi: tidak sepenuhnya kuyakini, tapi kuyakini. Tapi aku akan menjelaskan tentang cara yang lain.
“Kamu berusaha menasfir mimpi, Nak?”
“Aku hanya berusaha menafsir apa yang kumimpikan,” jawabku tenang.
Aku teringat tentang ular sanca di India. Aku teringat tentang lambang kesehatan adalah gelas dan lilitan ular. Aku pernah mendengar bahwa racun paling mematikan adalah bisa ular, begitu juga sebaliknya, obat paling mujarab adalah bisa ular.
Tatkala perjalanan menuju Kampus, aku selalu terngiang-ngiang dan mengatakan, “Jika kamu berusaha meminta pertolonganku untuk mengusir mereka? Bagaimana mungkini ini terjadi: diriku sangat penakut. Sangat penakut.”
Memang terkadang aku terlihat bagai orang yang perkasa, apalagi jalanku sekarang terlihat orang yang gagah karena berjalan tegap. Tapi sesungguhnya aku sangat penakut, begitu sangat penakut. Jadi, bagaimana aku bisa mengusirnya.
Faktanya dalam mimpi, aku sekedar mengusirnya. Aku tidak teringat bahwa ular sanca pun mampu mendapatkan obat paling mujarab. Tapi dalam mimpi aku tidak teringat bahwa aku ingin memegang mereka dan menaruhkan bisanya.
“Hei... taufik,” batinku menegur. “Ada ada denganmu, mengapa kamu ingin mengabarkan tentang dirimu? Mengapa?”
“Sesungguhnya, wahai kawanku, aku tidak tahu kecuali kusebutkan ayat ini: tatkala aku semakin didekatkan dengan ya ayyuhaladhi na amanu wattaqullah wabtagu ilaihilwasilata wajihadu fi sabilillahi la’alakum tuflihun. Aku berusaha sangat membuka diri, apakah ini yang disebut nafsu wahai kawanku?”
Dia hanya tersenyum. Teringat apa yang dikatakan Pak Muhdi kemarin hari, yakni, ya ayyatuhannafsul mutmainnah: jiwa yang tenang. Aku belindung kepada Allah yang menguasai seluruh alam semesta. Aku berlindung mudah-mudahan diriku tidak bersifat sombong dan bangga hati.
Aku jadi teringat tatkala datang ke tempat Pak Mudhi, kataku ingin belajar ‘tawadhuk’: bisa jadi, inilah alasan mengapa malam ini kata Pak Guru begitu sangat mencekik diriku. Diriku yang sombong. Ditambahkan lagi dia membicarakan tentang miskin. Maka itulah ungkapan sreg buatku. Wal-hasil diriku benar-benar mencekik ‘leherku’. Dan Allah benar-benar rapi dalam ciptaannya. Ya, miskin yang dimaksud tentu bukan miskin harta, tapi miskin hati. Ya, entah mengapa Pak Guru yang sampai membacakan itu padaku kecuali ‘demikianlah’ takdir-Nya, yang diperantai Pak Guru untuk menyampaikan padaku. Sehingga yang terjadi adalah diriku semakin bisu bersamanya.
Tidak ada kata-kata yang keluar kecuali suara kecilku yang berusaha menelan lidah. Aku yakin Pak Guru mendengar itu. Diriku gelabekan mendengar kata-katanya.
Batinku betapa ingin sangat mengatakan, sudah cukup, cukup, aku tidak sanggup lagi. Diriku seakan-akan benar-benar ditikam sesuatu yang besar. Sangat besar. Aku sulit bernapas. Napasku seakan-akan bimpet mendadak. Tubuhku meriang mendadak. Tapi aku harus yakin sekali, bahwa tatkala belajar bersamanya, maka aku hanya bisa menerima, tidak bisa protes, cuma menima kapan dia berhenti.
Mungkin beliau mendengar bahwa aku merintih untuk dihentikan, tapi Allah lebih mengetahui. Ya, aku heran ilmu apa yang digunakan. Aku hanya terkagum saja padanya. Pokoknya, setiap kata yang diudarkan membuatku sangat males, tapi apalahdaya aku harus menerima. Wal-hasil, gresekan suara melan lidah kerap kulakui. Tidak sampai di situ, dadaku terdesak-desakkan ingin menegakan, tidak sampai disitu, akalku juga sampai diserang. Aku hanya terheran dengan pengajian malam ini: ya, tidak pernah terjadi sebelumnya tentang ngaji yang sedahsyat ini.
Memang di satu sisi aku betapa ‘males’, tapi di sisi lain aku betapa betah berada di sini, walau kenyataannya diriku begitu sangat tertekan. Seakan-akan waktunya lama sekali. Karena begitu sangat tertekannya. Bayangkan: leherku bagai dicekik? Dan aku tidak bisa melepas cekikannya, bagaimana aku bisa betah. Setiap kali aku protes, seakan-akan aku selalu diancam: untuk apa? Apa lagi? Diamlah. Selalu seperti itu. aku geram, tapi tatkala semakin kugerami, seakan-akan malah melihat matanya yang super galak. Sangat galak. Sembari berakta, “Apa lagi?” ingin kujawab, katanya begitu cepat memburu dengan pertanyaan yang sama. terus seperti itu. Sementara matanya galak sekali kupandang. Wal-hasil, aku hanya bisa merunduk. Dan kepada Allah segalanya kukembalikan.
Dan aku juga teringat, apakah karena hal ini, diriku begitu ngotot merindukannya? Walau kadang kesel karena beliau melulu yang kudatangi dan bagaimana dengan Pak Ali. Sayangnya, aku hanya tersenyum dan gembira dalam hati: sekalipun diriku bagai tercekik, aku begitu gembira. Bahkan mengaji pun, pikiranku mbelandang di akhirat. Apakah seperti kelak orang-orang yang begitu sangat terpaksa minum karena begitu sangat kehausan? Kepada Allah segala kata kuserahkan.
Sebelum ngaji usai, hadist-hadist penutup membuatku tenang, walau pada dasarnya lidahku masih sulit menelan. Seakan-akan hadist itu akrab dengan apa yang kulakukan. Ya, lagi-lagi kepada Allah segala puji dikembalikan. Karena selesai, karena aku telah menahan air-kecing. Ya, rasa itu membuatku ingin terkencing. Karena, tadi aku sempatkan untuk meminum air-kulah, karena memang tenggorakanku begitu sangat kehausan. Wal-hasil, penahanan air kencing itu sampai pada otakku; nah, serangan itu bertambah lagi. Setelah leher bagai dicekik, tubuh termeriangkan, dada tertegapkan, otak yang seakan-akan bertengkar, ditambah sakit:
“Waw, komplek sekali rasamu, kawan,” batinku terharu. Seperti biasa, selepas ngaji, Pak Guru salat qobliah isya. Di kesempatan itu aku ke kamar mandi. Kencing, itulah alasan utama. Jugaan, aku belajar menegakkan diriku, tubuhkku, berdehem, berusaha melapangkan tenggorokanku. Wudhu dan kembali, mengampiri kamar Atobik dan meminta minum air. Aku yakin Pak Guru mengetahui gelegatku, sangat membaca gelagatku. Aku tidak tahu, apakah hatinya tersenyum melihat tingkahku? Aku tidak tahu.
Sesungguhnya aku pun ingin tersenyum dengan apa yang terjadi padaku. Sayangnya, cekikan itu membautku jauh lebih terharu. Aku memang tersenyum, tapi cekikan itu, beratnya menelan lidahku: ini yang jauh lebih mengharukan diriku. Aku mencari-cari alasan, mengapa bisa? Jawabnya, aku terkagum dengan Pak Guru. Dan bertanya, “Ilmu apa yang engkau gunakan?” selalu seperti itu pada akhirnya, walau endingnya, Allahlah yang telah menganugerakan ilmu untukknya dan disampaikan kepadaku. Ya, kepada Allah semua dikembalikan.
**
2015
Suara itu menyusup, nyelinap, laksana hujan panah, menyerang akal dan hatiku.
Tapi malam ini, lebih heboh, sangat heboh, dan itu tidak kusangka sebelumnya, sangat tidak kuduga sebelumnya. Merasakan kehebohan tersebut, seketika mengantarkanku (mengajakku berpikir, mengenang) pada Pak Haidar: kalimatnya, bagaimana kehebohan tatkala bersama dengannya (Haidar)? Bagaimana? Aku tidak pernah tahu, sepertikah mengaji malam ini, sangat mengejutkan hatiku?
Mengejutkan batinku. Katanya, “Kamu tercekik (laksana leher di cekik karena beliau membacakan kitab—tafsir jalalain), kawanku,” batinku terharu dengan kejadianku.
Dan aku hanya diam, sangat diam.
“Kamu merasa bahwa kamu begitu haus karena mendengar kata-katanya?” tambahnya kemudian.
Memang, malam ini, pengajianku, serasa tenggorokanku tercekik. Aku selalu berusaha menelan lidah. Aku dipaksa sangat kehausan. Pokoknya, ingin minum air.
Tubuhku memang tidak panas dingin, yang ada adalah gerah, panas, kemringat. Tapi ini sesuatu yang lain dibanding biasanya. Sampai-sampai aku bertanya, “Ilmu apa yang engkau gunakan sehingga membuatku, berperasaan entah.”
Pokoknya, malam ini, perasaaanku entah:
Sedih bukan karena senang.
Senang bukan karena terluka.
Terluka bukan karena sedang ngaji.
Gembira bukan karena laksana tercekik.
Tercekik bukan karena sedang ngaji.
Dapat dikatakan aku senang, tapi faktanya leherku bagai dicekik. Aku merasa kehausan. Sangat. Tenggorokanku laksana di sumbat, wal-hasil ‘udara’ atau napas sulit diolah.
Mengaksarai kitab sudah tidak penting.
“Ilmu apa yang engkau gunakan?” kejarku. Tapi aku selalu tidak bisa berkata-kata. Napasku tidak menentu. Hatiku terserang. Serangan suaranya, menyerang otakku. Aku lepas peci. Aku tidak tahan sikap ini: haus, sampai hati, sampai pikiran. Aku datangi kamar mandi. Aku haus. Aku kehausan.
“Ngaji apa ini?” kejarku sembari gembira bersamanya. Aku dehem-dehem di luar. Mengumpulkan air untuk kutelan. Aku tenggarkan dada, melapang-lapangkan, supaya mudah bernapas. Dari leher ke hidung—jalurnya napas, maka ke sampai ke dada. Atau mungkin, yang diserang ‘dada’ lalu ke leher hingga berefek ke ‘hidung’ selanjutnya: dipikirkan.
“Wahai kawanku, sesungguhnya rasa ini sulit kamu terima, karena ini dunia misteri, karena rasa adalah sebuah misteri, dan kamu akan mengetahui kalau kamu merasakan apa yang kusampaikan,” seruku dalam hati.
Aku mengaguk dengan pasti. Kuudarkan tasbih beberapa kali. Aku tak pernah aku mengaji sedahsyat ini, bagai tercekik leher dan kehausan karena mendengar ‘kata-kata’.
Aku datang kembali.
Masih juga leher bagai tecekik, aku tarik-tarik kulit leherku dengan harapan lebih mudah menelan lidah. Jalur perederan ludah, termuluskan. Di luar, aku telah mengantop-antopkan diriku, supaya lebih mudah menelan lidah.
Aku hanya terharu dengan apa yang terjadi, begitu sangat memuji Pak Guru dengan ilmunya, Pada-Nya, Allah segala puji diserahkan. Mendadak aku teringat, kitab yang kerap dia pengang, dia memegang kitab Qub al-qulub: karangan Abu Talib. Sektor hati, tentang sufi.
Kali ini aku begitu sangat memuji ilmu Pak Guru: pokoknya ilmu keislamanan. Aku sangat yakin, tatkala mendengar dia berkata-kata biasa (bicara, atau menerangkan), beliau tidak seganas mengaji (membacakan kitab).
Mengaji itu sangat sangar sekali, kataku.
“Benar, wahai kawanku, bagaimana aku menjelaskan sangarnya beliau?” kataku seketika, kecuali engkau mendengar sendiri pengajiannya. Tapi, mendadak aku curiga, bahwa tatkala engkau mengaji belum tentu merasakan apa-apa yang kurasakan. Maksudnya, aku tidak yakin 100 % , bahwa tatkala orang mengaji, merasakan apa yang kurasakan.
Bisa jadi, aku adalah santri spesialnya, sangat terspesialkan. Dan ilmunya adalah sangat spesial untukku, begitu sangat spesial untukku. Karena memang, aku juga begitu sangat menspesialkan dia dalam hatiku: entahlah bagaimana aku menspesialkan. Pokoknya, aku kerap merindukan beliau. Tapi entahalah.
Namun, bisa jadi orang-orang bakal mendekatinya dan merasakan tentang apa yang kurasakan karena kemarin aku pernah memimpikannya.
Inti cerita adalah tentang ular, bukan sekedar ular, tapi ular sanca. Kalau tidak salah, awalnya aku melakukan perjalanan ke tempatnya, aku melihat ular sanca bakal menyembur diriku. aku hanya mengusir. Mendadak aku pergi ke tempat lain, masjid, di halaman masjid aku melihat ular yang sama, ular yang mengicar diriku. Aku usir lagi ular tersebut. Sekedar mengusir. Seketika itu aku langkahkan kaki dengan cepat mendatangi rumah Pak Guru, aku telah melihat bahwa beliau sedang mengajari orang-orang (para-santri), mendadak, tanpa alasan yang tidak jelas, beliau menanggalkan dam masuk ke kamarnya sembari berkata,
“Usir mereka... Usir mereka...” katanya sembari membaringkan tubuhnya. Telungkup.
Isterinya mendekatinya. Terharu sendiri dengan apa yang terjadi. Heran. Aneh. Dan tanpa komprom aku masuk ke rumahnya, sembari mengusir ular-ular tersebut, sekedar mengusirnya, lalu dengan cepat menuju kamar. Lalu merangkul tubuh beliau, aku (agaknya) sembari melinangkan airmata.
Aku sangat yakin, sangat yakin bahwa aku dan beliau belaka yang mengetahui ular tersebut. Hanya aku belaka yang mengetahui ular-ular itu berada disini. Banyak sekali. Banyak sekali. Ular sanca yang sekali gigit katanya dapat mematikan. Mending kalau sedikit, banyak sekali. Banyak sekali.
Aku lupa, ending dari mimpi bagaimana kecuali aku berada dikamarnya, dan berusaha mengusir ularnya.
Karena sangking penasaran aku buka catatan tafsir mimpi: tidak sepenuhnya kuyakini, tapi kuyakini. Tapi aku akan menjelaskan tentang cara yang lain.
“Kamu berusaha menasfir mimpi, Nak?”
“Aku hanya berusaha menafsir apa yang kumimpikan,” jawabku tenang.
Aku teringat tentang ular sanca di India. Aku teringat tentang lambang kesehatan adalah gelas dan lilitan ular. Aku pernah mendengar bahwa racun paling mematikan adalah bisa ular, begitu juga sebaliknya, obat paling mujarab adalah bisa ular.
Tatkala perjalanan menuju Kampus, aku selalu terngiang-ngiang dan mengatakan, “Jika kamu berusaha meminta pertolonganku untuk mengusir mereka? Bagaimana mungkini ini terjadi: diriku sangat penakut. Sangat penakut.”
Memang terkadang aku terlihat bagai orang yang perkasa, apalagi jalanku sekarang terlihat orang yang gagah karena berjalan tegap. Tapi sesungguhnya aku sangat penakut, begitu sangat penakut. Jadi, bagaimana aku bisa mengusirnya.
Faktanya dalam mimpi, aku sekedar mengusirnya. Aku tidak teringat bahwa ular sanca pun mampu mendapatkan obat paling mujarab. Tapi dalam mimpi aku tidak teringat bahwa aku ingin memegang mereka dan menaruhkan bisanya.
“Hei... taufik,” batinku menegur. “Ada ada denganmu, mengapa kamu ingin mengabarkan tentang dirimu? Mengapa?”
“Sesungguhnya, wahai kawanku, aku tidak tahu kecuali kusebutkan ayat ini: tatkala aku semakin didekatkan dengan ya ayyuhaladhi na amanu wattaqullah wabtagu ilaihilwasilata wajihadu fi sabilillahi la’alakum tuflihun. Aku berusaha sangat membuka diri, apakah ini yang disebut nafsu wahai kawanku?”
Dia hanya tersenyum. Teringat apa yang dikatakan Pak Muhdi kemarin hari, yakni, ya ayyatuhannafsul mutmainnah: jiwa yang tenang. Aku belindung kepada Allah yang menguasai seluruh alam semesta. Aku berlindung mudah-mudahan diriku tidak bersifat sombong dan bangga hati.
Aku jadi teringat tatkala datang ke tempat Pak Mudhi, kataku ingin belajar ‘tawadhuk’: bisa jadi, inilah alasan mengapa malam ini kata Pak Guru begitu sangat mencekik diriku. Diriku yang sombong. Ditambahkan lagi dia membicarakan tentang miskin. Maka itulah ungkapan sreg buatku. Wal-hasil diriku benar-benar mencekik ‘leherku’. Dan Allah benar-benar rapi dalam ciptaannya. Ya, miskin yang dimaksud tentu bukan miskin harta, tapi miskin hati. Ya, entah mengapa Pak Guru yang sampai membacakan itu padaku kecuali ‘demikianlah’ takdir-Nya, yang diperantai Pak Guru untuk menyampaikan padaku. Sehingga yang terjadi adalah diriku semakin bisu bersamanya.
Tidak ada kata-kata yang keluar kecuali suara kecilku yang berusaha menelan lidah. Aku yakin Pak Guru mendengar itu. Diriku gelabekan mendengar kata-katanya.
Batinku betapa ingin sangat mengatakan, sudah cukup, cukup, aku tidak sanggup lagi. Diriku seakan-akan benar-benar ditikam sesuatu yang besar. Sangat besar. Aku sulit bernapas. Napasku seakan-akan bimpet mendadak. Tubuhku meriang mendadak. Tapi aku harus yakin sekali, bahwa tatkala belajar bersamanya, maka aku hanya bisa menerima, tidak bisa protes, cuma menima kapan dia berhenti.
Mungkin beliau mendengar bahwa aku merintih untuk dihentikan, tapi Allah lebih mengetahui. Ya, aku heran ilmu apa yang digunakan. Aku hanya terkagum saja padanya. Pokoknya, setiap kata yang diudarkan membuatku sangat males, tapi apalahdaya aku harus menerima. Wal-hasil, gresekan suara melan lidah kerap kulakui. Tidak sampai di situ, dadaku terdesak-desakkan ingin menegakan, tidak sampai disitu, akalku juga sampai diserang. Aku hanya terheran dengan pengajian malam ini: ya, tidak pernah terjadi sebelumnya tentang ngaji yang sedahsyat ini.
Memang di satu sisi aku betapa ‘males’, tapi di sisi lain aku betapa betah berada di sini, walau kenyataannya diriku begitu sangat tertekan. Seakan-akan waktunya lama sekali. Karena begitu sangat tertekannya. Bayangkan: leherku bagai dicekik? Dan aku tidak bisa melepas cekikannya, bagaimana aku bisa betah. Setiap kali aku protes, seakan-akan aku selalu diancam: untuk apa? Apa lagi? Diamlah. Selalu seperti itu. aku geram, tapi tatkala semakin kugerami, seakan-akan malah melihat matanya yang super galak. Sangat galak. Sembari berakta, “Apa lagi?” ingin kujawab, katanya begitu cepat memburu dengan pertanyaan yang sama. terus seperti itu. Sementara matanya galak sekali kupandang. Wal-hasil, aku hanya bisa merunduk. Dan kepada Allah segalanya kukembalikan.
Dan aku juga teringat, apakah karena hal ini, diriku begitu ngotot merindukannya? Walau kadang kesel karena beliau melulu yang kudatangi dan bagaimana dengan Pak Ali. Sayangnya, aku hanya tersenyum dan gembira dalam hati: sekalipun diriku bagai tercekik, aku begitu gembira. Bahkan mengaji pun, pikiranku mbelandang di akhirat. Apakah seperti kelak orang-orang yang begitu sangat terpaksa minum karena begitu sangat kehausan? Kepada Allah segala kata kuserahkan.
Sebelum ngaji usai, hadist-hadist penutup membuatku tenang, walau pada dasarnya lidahku masih sulit menelan. Seakan-akan hadist itu akrab dengan apa yang kulakukan. Ya, lagi-lagi kepada Allah segala puji dikembalikan. Karena selesai, karena aku telah menahan air-kecing. Ya, rasa itu membuatku ingin terkencing. Karena, tadi aku sempatkan untuk meminum air-kulah, karena memang tenggorakanku begitu sangat kehausan. Wal-hasil, penahanan air kencing itu sampai pada otakku; nah, serangan itu bertambah lagi. Setelah leher bagai dicekik, tubuh termeriangkan, dada tertegapkan, otak yang seakan-akan bertengkar, ditambah sakit:
“Waw, komplek sekali rasamu, kawan,” batinku terharu. Seperti biasa, selepas ngaji, Pak Guru salat qobliah isya. Di kesempatan itu aku ke kamar mandi. Kencing, itulah alasan utama. Jugaan, aku belajar menegakkan diriku, tubuhkku, berdehem, berusaha melapangkan tenggorokanku. Wudhu dan kembali, mengampiri kamar Atobik dan meminta minum air. Aku yakin Pak Guru mengetahui gelegatku, sangat membaca gelagatku. Aku tidak tahu, apakah hatinya tersenyum melihat tingkahku? Aku tidak tahu.
Sesungguhnya aku pun ingin tersenyum dengan apa yang terjadi padaku. Sayangnya, cekikan itu membautku jauh lebih terharu. Aku memang tersenyum, tapi cekikan itu, beratnya menelan lidahku: ini yang jauh lebih mengharukan diriku. Aku mencari-cari alasan, mengapa bisa? Jawabnya, aku terkagum dengan Pak Guru. Dan bertanya, “Ilmu apa yang engkau gunakan?” selalu seperti itu pada akhirnya, walau endingnya, Allahlah yang telah menganugerakan ilmu untukknya dan disampaikan kepadaku. Ya, kepada Allah semua dikembalikan.
**
2015
*bacalah ini: tentang guru
Belum ada Komentar untuk "Tentang Guru: Suara Yang Menyusup Tubuh "
Posting Komentar