Giliran Acara Islami

Abu Nurikhasf mengenang, tentang acara di kampungnya dulu, tentang tarikah, tentang pengajian islam. Dia tersenyum mengenang hal tersebut. Memang, Abu Nurikhasf adalah orang yang berkarakter kuat sebagai pemimpin. Yakni, orang yang tidak bisa diatur. Akibatnya, dia harus mengatur. “Aku memang menyukai tarikah, tapi aku bukanlah pemimpin tarikah, aku pemimpin kalian semua. Aku lurah. Posisiku tidak harus lebih cinta kepada orang-oran yang tarikah. Aku mencintai rakyatku sekalian. Aku berusaha adil. Aku memang gembira bisa berkumpul dengan kalian, tapi hatiku, hatiku malah tidak tenang kalau aku konsisten harus dzikir pada tempat yang sama. Aku ini pemimpin. Oh aduhai celakanya aku bila melihat rakyatku di lain tempat murung hati.”

Wal-hasil, dia, Abu Nurikhasf tidak pernah terjun menjadi sosok tarikah, tidak terikat dengan tarikah. Katanya, “Jika kamu katakan tarikah adalah jalan. Maka aku sedang berjalan, wahai saudara tarikah. Aku berjalan menujunya. Sungguh, aku memimpin karena telah ditakdirkan menjadi pemimpin. Ketahuilah, kalau dipilihakan, tentu aku tidak harus menjadi pemimpin. Pemimpin itu berat, tapi apalah daya, aku di sini, di dunia ini, adalah manusia yang telah ditokohkan Tuhan, Allah, pencipta seluruh alam semesta. Bagaimana aku bisa menolak tentang ketokohan tersebut? Tidak bukan.”

Ketika Abu Nurikhasf berjalan lagi. Dia dapati, perkumpulan mengaji, yakni yasinan. “Aku memang menyukai perkumpulan orang-orang muslim, tapi kalau aku dipatok di sini, di panjer di sini, tentu aku tidak bisa mengawasi rakyat-rakyatku. Jadi, wahai setiap lurah: jika di tempatmu ada 10 perkumpulan yasinan, maka bergilirlah semua. Yang mereka butuhkan adalah cinta dan penghormatan. Bukankah mereka akan bahagia kalau lurahnya tiba? Kedatangan yang tidak terduga. Jadi setiap lurah tidak harus mematok dimana dia akan duduk. Dia adalah sang petualang. Menelusuri dimana pun bisa diselusuri. Batas waktu penyelusuran adalah dimana dia sudah tidak kuat lagi melangkah lebih jauh. Hingga pada akhirnya seperti Nabi, yakni mendirikan Masjid di dekat rumahnya.

Nabi adalah suri taudalan yang baik. Tapi bukakah era-modern ini masih bisa dilebih baikkan? Atau bisakah lebih baik dilain sisi dibanding dengan era nabi?

Para pembahas tentang Nabi mengatakan, “Nabi adalah membuka peradaban baru.” Sejauh kita amati memang benar. Karena ajaran Nabi memasuki seluruh sektor kepemimpinan dan patut diteladani.

Jika Nabi dulu, rumahnya dekat Masjid. Dianjurkan setiap lurah rumahnya tidak dekat dengan masjid. Tapi harus tetap aktif dalam masjid. Memang, baiknya dekat Masjid. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik. Tapi, bila lurah tidak dekat dengan Masjid, maka perjalanan sang lurah adalah mengawasi setiap jalan menuju Masjid.

Terlebih lagi, Masjid yang di kunjungi bukan sekedar masjid itu belaka. Tapi masjid-masjid yang lain juga di kunjungi. Namun, harus tetap melangsungkan kunjungan yang terjadwal. Seperti mendarus Quran bersama.

Pendatangan suprise lurah adalah salat di mana pun lurah ingini. Tidak harus terpatok pada satu tempat. Tapi tempat lain yang harus dikunjungi.

Berat kiranya menjadi lurah? Memang.”

Abu Nurikhasf tersenyum tatkala mengenang dahulu dia bergembor tentang lurah yang perhatian terhadap rakyatnya. Sayangnya, sejauh didapati, dulu, tidak menemukan lurah semacam itu pada realitas. Lurah yang begitu perhatian terhadap rakyatnya. Yang berbaur terhadap rakyatnya. Belum pernah menemukan. Belum pernah.

Lurah yang ingin tahu bagaimana nasib rakyatnya. Yang ingin mengerti dan hafal terhadap rakyatnya. Sungguh hal seperti itu jarang terjadi.

Memang secara sistematis laju kepemimpinan adalah sebagai berikut. Lurah adalah penting mengetahui bayan demi bayan. Karena setiap Bayan membawa rakyatnya. Artinya bayan yang hapal rakyatnya. Akan tetapi, oh alangkah baiknya. Kalau Pak lurah hapal juga dengan rakyatnya.

Apakah hal itu mustahil terjadi? Di dunia ini apa yang tidak mustahil.

Sebab Pak Lurah datang dengan tiba-tiba. Maka bergembiralah rakyatnya. sangat gembira. Pak Lurah masuk berjabat tangan, tak lupa tetap mengembangkan senyumnya. Pakaiannya tidak seperti layaknya kiai, tapi rakyat telah mengetahui dia adalah sosok Kiai. Lurah yang cerdas. Maklum, dia kuliah sampai meraih doktor, dia juga hafal quran.

Pokoknya, rakyat hanya di buat kagum dengan kedatangan sang lurah. Kedatangan itu sampai ke dapur. Orang-orang sibuk membicarakan sang lurah.

“Apakah benar Pak Lurah datang?” tanya Surtini sembari melongok kepalanya mencari wajah pak lurah.

“Benar,” balas Maspupah adiknya.

“Mana-mana...” timbrung Umi selaku ibunya, juga melongok ke arah jendela.

Mereka geger sendiri. Berbisik-bisik dengan kedatangan Pak Lurah. Orang-orang pun terharu bangga melihat gaya elegan Pak Lurah. Ketika ada sambutan acara, maka Pak Lurah selalu dikedepankan. Seperti biasa, Sang lurah bersedia, tapi sekedar membacakan yasinnya. Semeski rakyat telah mengetahui bahwa lurah bakal sekedar membacakan Yasin, tapi tetap, unggah-ungguh selalu diserahkan penuh kepada Pak Lurah.

Pak lurah, memang sangat disayangi rakyatnya. Sebabnya, karena perhatian kepada rakyat. Sangat berbagi kepada rakyat.

“Beliau itu sifatnya komplek. Hafid, iya. Doktor, iya, yang membanggakan dia adalah rendah hati.”

Ada juga yang mengatakan,

“Subhanallah.”

Hanya kata itu yang terucap pada akhirnya. Karena sangking entah julukan apa yang layak untuk Pak lurah. Gerak-geriknya membuat orang takjub. Tatapnya membuat damai yang galak. Intinya, sorot matanya tajam. Kalau dilihat dari jauh, maka tatapan matanya adalah sangat serius. Tapi orang-orang tetap suka memandangnya, karena tatapanya sangat penuh-kasih sayang.

“Itulah yang semestinya pemimpin.”

“Hus, ingat, Pak Lurah pernah berkata. ‘tidaklah baik mengejek orang lain, belum tentu kita baik. Ingat...”

“Memang ada yang salah dengan ucapanku.”

“Tidak sih, memang sudah seharusnya kalau pemimpin seperti itu,” balasnya sembari tertawa kecil.

Pokoknya kalau Pak Lurah datang, maka keadaan akan berubah drastis. Hal itu kerap sekali terjadi. Pernah diadukan tentang perubahan, yakni, tentang kalau ada pak lurah, seakan-akan ibadah bertambah mempeng. Seakan-akan dunia adalah untuk apa. Seakan-akan mengeluarkan seluruh energi untuk ibadah. Intinya kuat sekali untuk ibadah. Sungguh, itu bukan pamer. Tapi kesungguhan mengeluarkan semaksimal mungkin. Tapi jawab Pak lurah enteng sekali sembari tersenyum, “Semua telah direncanakan Allah.” Atau, “semua adalah kehendak-Nya.”

Dalam hatinya Pak Lurah berkata, “Sebenarnya keberadaanku adalah tentang penyemangat, karena ketika aku berada aku pun mengeluarkan semampu dayaku. Sungguh, dari dulu pun, aku timbang-timbang, aku kenang-kenang, diriku adalah penyulut api kejiwaan. Karena posisiku berada ditengah-tengah. Dapat dikatakan aku tidak bodoh, aku juga tidak pintar. Tapi aku tengah-tengah. Itulah ukuranku. Hal itu terjadi pada seluruh elemen diriku: sehingga, hal itu dikatakan cerdas. Cerdas itu adalah orang yang berpengalaman banyak. Sehingga, kata-katanya menabur bagai hujan yang turun. Itulah aku. Itulah aku. Apakah aku membuat-buat? Sungguh, begitulah takdir-Nya. Begitulah kentuannya untuk diriku.”

Yasinan telah usai. Sajian telah dihidangkan. Ketika selesai. Yang biasanya diteruskan pengajian. Kali ini, Pak lurah dipersilahkan. Sayangnya, tangan Pak Lurah langsung mengulurkan jarinya kepada Kiai setempat. Kiai yang diharapkan untuk berbicara. Sang Kiai pun berwajah berseri-seri menatap Pak Lurah. Dengan lihai Pak Kiai berceramah singkat. Selepas itu. Pak Lurah pun masih duduk bersama rakyatnya. Rakyatnya pun benar-benar menikmati dengan keberadaan Lurahnya. Mereka belum ada yang berdiri, malah mengudarkan pertanyaan pada Pak Kiai dan Pak Lurah. Dengan lihai, Pak Lurah memecahkan persoalan ke semuanya.

“Lurah kami memang heboh. Ketika ada persoalan, maka dilemparkan ke publik masalahnya. Aku suka gayanya. Dia mengakui bahwa kami juga bisa memecahkan masalah. Tepatnya, kami mempunyai alasan untuk memecahkan masalah.”

Pembicaraan itu renyah. Seperti jaring yang menambal sulam. Ke sana kemari. Benar-benar menikmati tatkala keberadaan Pak Lurah.

“Wajar, kalau lurah semacam itu sering dinanti-nanti keberadaannya. Ya, beruntunglah apabila tempatnya didatangi Pak Lurah. Sayangnya, tidak ada yang bisa mengompromi pak lurah untuk mendangi tempat ini atau itu. Pak lurah berjalan adalah kalau dia ingin.”

Tidak hanya yasinan, Pak lurah mendatangi. Tapi juga tarikah. Kalau Pak Lurah mau, maka dia tinggal duduk di Masjid. Duduk belaka. Tidak ada respon. Paling mentok, nanti dijadikan imam salat. Begitulah Pak lurah, yang dicintai rakyatnya, selalu diharap kedatangnya.

Belum ada Komentar untuk "Giliran Acara Islami"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel