Si Pengarang Dengan Karangannya

‘Semestinya seorang pengarang tidak patut jalan-jalan ke toko buku. Jikalau demikian. Rasakan kesakitanmu. Kau pikir akan mengawasi secara diam-diam karanganmu—kau pikir menjadi pengarang itu mudah. Mungkin jalan-jalan mudah, tapi kalau aku menyobek bukumu dan kamu tahu. Bagaimana perasaanmu. Hahaha adakah undang-undang perbukuan bahwa si pemilik buku yang telah membeli dilarang menyobek dan meludahi karangan dan itu sekarang bukuku?’
**
Dahulu kala. Memang aku tidak menyangka bakal menjadi pengarang. Apalagi menyantumkan hobi: menulis dan membaca. Tapi sekarang, menjadi kebiasaan yang kunang ajar. Sial. Gara-gara menulis dan membaca. Tidurku selalu tidak nyaman. Lebih-lebih kalau tidak menulis dan membaca hidupku serasa ada yang kurang. Dan itu malah membuat semakin tambah tidak nyaman. Tidak ada pilihan kecuali menulis dan membaca titik.

“Tapi sekarang akulah pengarang sejati,” pamerku sambil mengebuk-gebuk dadaku. “Orang yang telah terkenal dengan karangannya telah selingkuh dengan karangannya. Mulut mereka seolah-olah pinter menggurui para pengarang yang baru. Malah sebagian mereka telah terjun ke dunia lain. Mereka bukan lagi kategori pengarang saja. Mereka telah menjadi pembicara karangan. Mereka telah menjadi motivator karangan. Sementara aku. Aku adalah pengarang sejati,” sambil menggebuk-gebuk dadanya. Dan melanjutkan, “Aku sangking berharap karangannya dibaca orang. Tapi itu…

Sial. Itu akan menjadikanku seperti orang-orang yang dikenal banyak orang. Dan orang-orang telah mendapati ide-ide dari karanganku. Oh karangan…” ratapku, “Aku telah mempasarkanmu dan orang telah siap mengejek dan meludahimu. Orang akan menginjak dan menyobekmu. Mereka bisa jadi kejam super kejam. Memisahkanmu dari kerabatmu. Bahkan mereka bisa membakarmu. Atau menempatkanmu di tong sampah yang bau bacin bersama belatung dan cacing yang akan menyerangmu.

Tapi itu. Tapi itu hak mereka. Bahkan aku yang menyayangi tidak bisa berbuat apa-apa ketika kau dihardik oleh pembaca. Sangking menyayangimu hingga menelan ludah pun susah.

Bayangkan. Kumpulan karanganku. Di banting di depan mataku. Kemudian di injak-injak sambil mulutnya mengkerut-kerut jelek sekali. Kayak moyet paling jelek. Super jelek. Lalu di ambil lagi, di ludahi, di remas-remas dan di dlusupkan ditong sampah. Apalagi gaya membawanya: ia memegang hidungnya dan mulutnya mengkerut jelek sekali. Seolah-olah jijik. Sangat jijik.

Tapi aku menyayangimu dan diam terpaku menyaksimu diperlakukan bejat orang itu. Tapi ia baru saja keluar dari toko buku. Ia baru saja membeli buku karanganku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, menyaksimu. Pernah sekali aku tanya orang yang memperlakukan bukuku sangat-sangat tidak manusiawi. Sambil merasa dongkol hati. kuberanikan menyuarakan dan bertanya, ‘Memang mengapa dengan buku itu?’ (Lihatlah. Aku pun tidak langsung menganggap bahwa ia adalah karanganku. Bagian dari ruh jiwaku.)

‘Aku berharap disekitar sini ada pengarangnya dan melihat aku sedang memperlakukan karanganya. Biar ia tahu bagaimana rasanya sebuah karya diperlakukan tidak manusiawi.’

‘Anda dendam?’

‘Tidak. Harapan saya si pengarang mengetahui rasa yang kualami.’

Si pengarang yang kesakitan dan agak gila memang harus ditinggalkan. Ia dendam. Tapi tidak mengaku dendam. Si pengarang edan itu memang sial. Si pengarang edan itu mengancam,

‘Semestinya seorang pengarang tidak patut jalan-jalan ke toko buku. Jikalau demikian. Rasakan kesakitanmu. Kau pikir akan mengawasi secara diam-diam karanganmu—kau pikir menjadi pengarang itu mudah. Mungkin jalan-jalan mudah, tapi kalau aku menyobek bukumu dan kamu tahu. Bagaimana perasaanmu. Hahaha adakah undang-undang perbukuan bahwa si pemilik buku yang telah membeli dilarang menyobek dan meludahi karangan dan itu sekarang bukuku?’

‘Kamu itu tidak baik. Sungguh kamu melecehkan pengarang yang lainnya?’

‘Ah jangan mengguruiku begitu…’

‘Kamu pernah sakit hati dan itu sakit buat kamu. Mengapa kamu ingin dendam kepada pengarang-pengarang yang lainnya?’

‘Aku tidak dendam. Aku membeli bukunya. Kebetulan seusai membeli aku menyobeknya. Dan aku kian lebih suka meludahi bukuku kalau di dekatku ada pengarang bukunya.’

Hati Si pengarang itu benar telah menjadi karangan. Ia mencintai sangat sebuah karangan. Tapi ia juga sangat benci dengan karangan. Tepatnya, ia suka mempermainkan perasaan Si pengarang.

Ia pernah di tegur oleh pengarang yang lain, yang karyanya di ludahi dan di injak-injak, sementara Si pengarang itu mengetahui, dengan tatapan khas ala pengarang. Ia berkata, ‘Kamu tidak menghargai karangan orang lain, Tuan.’

‘Saya membeli karanganmu sesuai dengan harga karanganmu. Ini sekarang bukuku, Mas.’

‘Tapi perlakuanmu tidak menyenangkan buatku,’ Si pengarang itu mulai terpancing emosi.

‘O begitu… tapi ini bukuku. Kebetulan aku ingin merobeknya,’ dengan cepat ia merobek halaman karangan. Dengan cepat pula Si pengarang melayangkan tangannya ke mukanya. Gelas kemepyar. Perempuan-perempuan menjerit. Suasana ramai mendadak. Si pengarang edan dielusi, ditanyai. Sementara Si pengarang, yang baru melauncingkan karangannya merah matanya. Masih mengepal tangannya. Keluar kata asunya. Babinya. Ibilisnya dan setannya. Sebagian orang bertanya-tanya,

“Apa-apaan ini?”

Si pengarang itu langsung menjawab, “Lihatlah. Bukuku di sobek, di ludahi dan di injak-injak.”

“Ini bukuku. Telah kubayar sesuai harga yang pasarkan,” balas Si pengarang yang terkapar.

Entah mengapa. seusai lancing buku, di adakan diskusi tentang karya. Entah mengapa si pengarang buku dan si pengarang yang edan. Mau saja mengikuti sidang karya. Dug. Dug. Dug. Palu buku telah mengetuk.

“Setidaknya kamu bisa menghormati karya dong!”

“Apakah membeli bukan menghormati karya?”

“Kalau kamu ingin menginjak dan meludahi karya saya. Setidaknya jangan diacara saya. di luar kek, atau dimana kek... Yang pasti saya tidak melihatnya.”

Kebetulan orang yang menghadiri sidang dadakan adalah para pengarang. Tercengang mendadak ketika dibahaskan antara karya dan penghinaan-karya. Ya. Mereka bubar tanpa alasan jelas. Si pengarang edan berjalan dengan santainya. Dengan mantel panjangnya gaya eropa, dan glang-gleng glang-gleng dengan topi tingginya. Sebelum melewati pintu keluar. Ia mengeluarkan dompetnya. Menyodorkan uang pada penjaga bukunya. Ia hendak membeli 2 bukunya. Si pelayan buku bimbang. Sebab Si pengarang buku mengisyaratkan geleng-geleng kepala. Sementara para pengarang lainnya, terpelongo dengan kejadian Si pengarang edan tersebut.

Malah Si penjaga buku merangkul buku-buku yang di jaganya. Menandakan tidak boleh dibeli. Dan berkata, “Kami curiga bahwa anda akan menghina karya kami.”


Desember 2012

Belum ada Komentar untuk " Si Pengarang Dengan Karangannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel